by Kanti Rahmillah, M.Si
MuslimahTimes— “Paman, ucapkanlah laa ilaaha illallaah. Sebuah kalimat yang nanti akan kubela engkau di hadapan Allah.”
Kala itu, sakaratul maut sedang menghampiri paman kesayangan Rasul, Abu Thalib. Dengan setumpuk harapan, Rasul berusaha men-talqinkan pamannya. Pria terkasih itu telah merawat Muhammad muda. Telah melindungi dakwah Rasul. Rasul hanya ingin di sisa usianya. Abu Thalib mengucapkan syahadat. Sehingga seluruh pembelaannya menjadi hujah di Yaumul hisab.
Namun, di samping tubuh tak berdaya Abu Thalib, bukan hanya ada seorang Nabi yang suci. Ada pula bersamanya, Abu Jahal yang hina. Sebagai pemuka quraisy yang musyrik, Abu Jahal terus menyanggah dakwah Rasulullah kepada Abu Thalib. Saat Rasul terus berusaha untuk mengislamkan paman nya. Begitu pun Abu Jahal, terus meneguhkan agar Abu Thalib tetap dalam keyakinan nenek moyang nya.
Manusia hanya bisa berusaha, Namun Allah lah yang menentukan. Paman kesayangan Rasul, menjemput ajal nya dengan tetap pada kemusrikannya. Enggan mengucapkan laa ilaah illallah.
Kesedihan Rasul, sungguh tak terperi. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Demi Allah, sungguh aku akan memohonkan ampunan untukmu selama aku tidak dilarang.”
Kemudian Allah menurunkan firman-Nya,
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik.” [Quran At:Taubah:113]
Inilah pelajaran pertama, yang dapat diambil dari kematian Abu Thalib. Bahwa sekalipun seorang Rasul, maka dia tak mempunyai kuasa atas diri seseorang. Seorang manusia hanya bisa berusaha, Allah lah yang menentukan, apakah seseorang mampu tertunjuki atau tidak.
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya.” [Quran 28:56].
Kedua, pelajaran yang dapat diambil dari peristiwa kematian Abu Thalib yaitu, sesungguhnya, kebaikan Abu Thalib kepada Rasul dan Dakwah Islam, hanyalah sebatas hubungan nasab. Bukan atas dasar keimanan nya kepada Allah. Rasul adalah keponakan kesayangan Abu Thalib. Dan rasul juga lah yang merawat salah satu anaknya, yaitu Ali bi Abi Thalib.
Abu Thalib tak memihak Rasul, juga tak memihak Abu Jahal. Di hadapan Abu Jahal, Abu Thalib mengatakan akan menjaga agama nenek moyang. Di hadapan Rasul, Abu Thalib berjanji akan melindungi Rasul dan agama yang dibawanya.
Jika kita refleksikan pada sikap umat saat ini. Sesungguhnya, sikap Abu Thalib adalah cerminan sikap muslim yang mengaku dirinya netral. Mereka diam saat kezaliman yang dilakukan penguasa begitu tampak. Mereka tak menolak, saat kebijakan yang diberlakukan tak berlandaskan syariat Islam.
Begitupun, ketika ada ormas atau ulama yang lantang menyuarakan kebenaran. Dan bertentangan dengan penguasa. Mereka lagi-lagi hanya diam, memilih untuk netral. Tak ada keberpihakan. Apalagi membela mati-matian.
Mereka khusyuk beribadah. Menundukan pandangan pada kondisi di sekitarnya. Menjadi bisu saat melihat tumpukan harta hanya dinikmati oleh segelintir orang.
Padahal, Allah telah jelas meminta pada kita untuk menolong agamanya, sekaligus menampakan keberpihakan.
Hai orang-orang mu’min, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (Q.S Muhammad, ayat 7).
Begitupun kisah terbakarnya Nabi Ibrohim, yang menjadikan semut diabadikan secara khusus dalam hadîts. Para semut itu membawakan setetes air untuk memadamkan api, sehingga Allah muliakan semut selamanya. Sementara tokek dan cicak, mereka menjadi penghembus-hembus api agar semakin besar, sehingga Allah mehinakan mereka selamanya.
Maka dari itu, bersikap netral bukanlah sikap kaum mu’minin. Berpeganglah pada tali agama Allah. Tunjukkanlah keberpihakanmu pada agama Allah. Dan tolonglah agama Allah. Apapun resikonya. Niscaya kau akan dimuliakan oleh Nya.
[Mnh]