oleh : Aisyah Al Farisi
Staf Pengajar, Sumedang
#MuslimahTimes — Demokrasi berasal dari kata Yunani yaitu Demos yang berarti rakyat, dan Cratos yang berarti kekuasaan. Di Indonesia sendiri, sistem demokrasi dikenal dengan slogannya yang berbunyi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Bentuk pemerintahan demokrasi mengemuka pada Revolusi Perancis. Bentuk pemerintahan ini adalah kritik terhadap kekuasaan absolut para raja (monarki/ mono archi) dan kekuasaan para bangsawan (aristokrasi). Saat itu puncak absolutisme Prancis terjadi pada pemerintahan Raja Louis XIV (1643-1715) dengan semboyan l’etat cest moi (negara adalah saya). Penyerbuan Penjara Bastille pada 14 Juli 1789 menjadi tonggak dari Revolusi Prancis untuk mengakhiri absolutisme kerajaan. Roberpierre kemudian mencetuskan semboyan Liberte (kebebasan), Egalite (persamaan), dan Fraternite (persaudaraan) sebagai prinsip dari demokrasi yang kemudian diabadikan dalam warna-warna bendera nasional Prancis (merah, putih, biru).
Ternyata demokrasi lahir sebagai bentuk ketidakpuasaan/kekecewaan pada sistem pemerintahan monarki yang absolut. Yang mana pada saat itu setiap keputusan diambil oleh seorang raja yang sewenang-wenang dan kerap menindas rakyatnya. Karena itulah rakyat menginginkan kedaulatan berada di tangan mereka dengan harapan mereka bisa hidup lebih baik.
Untuk mewadahi aspirasi rakyat, maka dibentuklah badan perwakilan rakyat atau legislatif sebagai penyalur aspirasi rakyat dan badan yang mengawasi jalannya pemerintahan yang dijalankan eksekutif. Pelaksanaan pemilu pun dipandang menjadi salah satu keberhasilan demokrasi karena rakyat bisa memilih pemimpinnya sendiri. Namun, apakah hal ini membawa perubahan bagi rakyat Indonesia?
Kegagalan Demokrasi
Tertangkapnya Bowo Sidik Pangarso dalam dugaan kasus suap kerjasama pangangkutan bidang pelayaran untuk kebutuhan distribusi pupuk yang menggunakan kapal PT. Humpuss Transportasi Kimia (PT. HTK), menjadi alarm bagi pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Pasalnya, dari tangan Bowo, KPK mengamankan uang 8 Milyar rupiah yang sudah dimasukkan ke dalam amplop-amplop dalam pecahan Rp. 20000 dan Rp. 50000. Di duga uang tersebut akan digunakan untuk serangan fajar tanggal 17 April nanti.
Dengan melihat kasus ini, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa demokrasi sebenarnya telah gagal untuk melahirkan pemimpin atau pejabat-pejabat yang berkualitas. Demokrasi malah banyak melahirkan pemimpin dan pejabat yang korup.
Bagaimana tidak, biaya yang dikeluarkan seseorang yang ingin menduduki kursi pemerintahan sangatlah besar. Jadi tidak heran, jika kemudian para pejabat melakukan berbagai cara untuk memperoleh dana tersebut. Wakil ketua KPK, Basaria Panjaitan, pernah mengatakan bahwa mencari modal awal untuk mencalonkan diri dan mengembalikan modal kampanye adalah motif yang kerap melatarbelakangi tindakan korup para elite.
Selain dari mahalnya biaya politik, penyebab lain dari maraknya kasus korupsi di Indonesia adalah tidak tegasnya hukuman yang dijatuhkan bagi para koruptor. Koruptor yang telah merugikan negara sekian triliun, rata-rata hanya diganjar hukuman 2 tahun belum dikurangi dengan remisi. Tentu hal ini tidak membuat jera para pelaku korupsi.
Korupsi adalah sebuah tindakan yang merugikan rakyat dan negara. Tindakan ini yang membuat pelayan pemerintah kepada rakyat terhambat. Uang yang seharusnya untuk pelayanan kesehatan, pemberantasan kemiskinan, pendidikan rakyat, habis oleh segelintir orang.
Agar suatu permasalahan bisa selesai, kita harus menghilangkan penyebab dari masalah tersebut dan menyediakan sanksi yang tegas agar membuat para pelaku jera. Jika biaya politik yang tinggi menjadi penyebab dari banyaknya kasus korupsi di Indonesia, maka hal inilah yang sejatinya harus diusahakan bersama. Bagaimana caranya agar biaya polItik tidak tinggi? Hal ini tentu mustahil diwujudkan dalam sistem demokrasi yang meniscayakan tingginya biaya politik. Karena dari itu, kita semua memerlukan sebuah sistem yang baru agar dalam setiap pergantian pemimpin tak memerlukan biaya yang tinggi. Dengan begitu, pemimpin yang terpilih bukanlah pemimpin yang memanfaatkan kekuasaanya tapi pemimpin yang bertanggungjawab penuh atas kekuasaanya.