Oleh: Shafayasmin Salsabila*
(Pegiat Literasi Islam, Founder MCQ)
MuslimahTimes– Pelangi akan kehilangan daya pikat jika tersisa satu warna. Begitulah keberagaman dipandang dalam kacamata Islam. Karena keberagaman adalah sunnatullah, saling mengisi dan melengkapi. Seperti kutipan satu ayat Alquran: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal….” (TQS. Al Hujurat: 13)
Namun isu keberagaman ini justru diputar balik, lalu dijadikan senjata untuk menikam Islam. Sangkaan bahwa sistem Islam akan memberangus keberagaman. Mengapa hal tersebut bisa terjadi?
Pengecohan Masal
Keberagaman (Pluralitas) amat berbeda maknanya dengan pluralisme. Pluralitas bermakna kemajemukan suatu bangsa, merupakan sebuah keniscayaan. Sangat berbeda dengan ide pluralisme yang menganggap semua agama adalah benar. Gagasan pluralisme juga tidak menghendaki syariat Islam mendominasi kepengaturan dalam berbangsa dan bernegara.
Di atas pluralisme, ajaran Islam tercemar. Muslim dipaksa berpikir bahwa semua agama esensinya sama, hanya berbeda dalam sedikit hal. Pemahaman tersebut bertentangan dengan Alquran. “Sesungguhnya agama yang diridhai Allah adalah Islam.” (Ali Imran/19)
Dipertegas lagi di ayat 85, “Barangsiapa yang mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima atasnya…”
Islam pun menjadi tertuduh dan terfitnah. Ayat ke 208 dari surat Al Baqarah, terancam dipeti-eskan dengan dalih pluralisme. Perintah Allah untuk mengadakan kehidupan dengan totalitas aturan Islam, disalah-artikan sebagai ancaman bagi keberagaman.
Bayangan keliru ditempel paksa ke dalam benak manusia. Bahwa jika Islam digunakan untuk mengatur kehidupan suatu bangsa, maka non Muslim akan sengsara. Gambaran menakutkan, telah tertanam. Rumah ibadah selain masjid diratakan, diskriminasi, intimidasi bahkan kesewenang-wenangan akan menimpa non Muslim. Seakan Islam anti keberagaman, otoriter dan menindas.
Patut digarisbawahi, bahwasanya sudah sedari 14 abad lalu, Alquran berbicara bahwa tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam (Al Baqarah/226). Hanya berbekal kesadaran dan kemauan sajalah seseorang mengikrarkan dua kalimat syahadat.
Menangkal Hembusan Propaganda
Banyak diantara manusia, bahkan kalangan kaum Muslim sendiri, keliru dalam memahami Islam. Dimana, generalisasi mendominasi pola pikir mereka. Anggapan bahwa Islam hanyalah salah satu agama seperti agama lainnya di dunia. Jangkauannya sebatas perkara spiritual semata. Sehingga, menjadi mustahil bagi Islam untuk dijadikan standar hukum negara.
Padahal, Islam bukan sekadar agama ritual, melainkan sebuah ideologi langit yang berasal dari Sang Pencipta Manusia. Ideologi Islam mencakup perkara peribadatan seorang hamba, juga memiliki sisi politisnya. Ajaran Islam dalam Alquran, melingkupi seluruh aspek kehidupan manusia. Dari bangun tidur hingga bangun negara. Sempurna dan paripurna.
Allah berfirman: “Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri….” (An Nahl/89). Juga dalam ayat terakhirNya: “…. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu….” (Al Maidah/3).
Tiadalah risalah Islam diturunkan, melainkan agar menjadi rahmat bagi semesta alam. Tujuan mulia itu diemban oleh Rasulullah Saw. Setelah beliau wafat, para Khalifah melanjutkan estafet perjuangannya. Dengan berpegang teguh kepada platform ideologi Islam, dunia mencapai titik kegemilangan. Selama lebih dari 13 abad kesejahteraan memayungi umat manusia. Baik yang berkulit merah, putih, kuning atau hitam. Muslim maupun non Muslim. Tanpa lagi melihat, latar belakan, suku dan bahasanya. Semua menjadi satu dalam naungan Kekhilafan.
Cara Merawat Keberagaman
Dalam kitab Nidham Al-Islam karangan Syaikh Taqiyyudin An Nabhani bab 3, disebutkan bahwa salah satu pencapaian tertinggi dari kiyadah fikriyah Islamiyah (kepemimpinan berpikir Islam) yakni bersatunya bangsa Arab. Siapa saja yang mempelajari sejarah Arab, pasti mengetahui kebiasaan bentrok antar suku. Perang sudah menjadi tradisi. Diwarnai ashobiyah (fanatisme golongan). Tapi setelah cahaya Islam benderang, permusuhan antar kabilah tinggal sejarah. Madinah yang dihuni oleh beragam corak masyarakat, melebur dalam ukhuwah.
Maka kunci terawatnya keberagaman, adalah dengan syariah. Aturan Islam, buatan Allah Ta’ala, tidaklah memihak, keadilannya merata, dirasakan oleh seluruh warga. Dan Khilafah, sebagai institusi penerapan hukum syariah, akan memberikan jaminan keamanan, pendidikan, kesehatan, tanpa membeda-bedakan status agama warganya. Siapapun yang menjadi bagian dari warga negara, maka haram harta dan darahnya direnggut paksa. Keberagaman bukan lagi menjadi batu sandungan, justru berbuah keberkahan. Tersebab ketika Islam tegak dengan sistem Khilafah, masyarakat yang plural dengan berbagai agama, suku bangsa, dan mahzab dapat hidup berdampingan secara damai.
Sejarah mencatat, selama ratusan tahun, pemeluk agama Islam, Yahudi dan Nasrani hidup rukun ketika Kekhilafan Islam tegak di Andalusia (Spanyol). T.W. Arnold, menuliskan dalam bukunya, The Preaching of Islam, terkait perlakuan pemerintahan Kekhilafan Turki Utsmaniyah terhadap non Muslim, “Sekalipun jumlah orang Yunani lebih banyak dari jumlah orang Turki di berbagai provinsi Khilafah yang ada di bagian Eropa, toleransi keagamaan diberikan kepada mereka, dan perlindungan jiwa dan harta yang mereka dapatkan membuat mereka mengakui kepemimpinan Sultan atas seluruh umat Kristen.”
Saatnya membalik keadaan. Keberagaman tak layak dipermasalahkan. Selagi diatur dengan syariah Islam, buahnya adalah keberkahan. Wallahu a’lam bish-shawab.