Oleh: Ummu Naira (Aktivis Forum Muslimah Indonesia / ForMind)
MuslimahTimes-Pemilu di Indonesia tahun 2019 menjadi pemilu terburuk sepanjang sejarah perpolitikan nasional. Bagaimana tidak? Dalam pemilu yang menghabiskan uang APBN sebesar 25 triliyun itu “diduga” banyak sekali kecurangan yang terjadi. Input data salah pemilu 2019 di website KPU terbanyak sepanjang pemilu digelar di Indonesia. Pemilu 2019 juga menjatuhkan “korban” begitu banyak. Sebagaimana diberitakan dalam situs rmol.co (5/5/2019) sebanyak 554 petugas pemilu meninggal dunia dan menimbulkan banyak spekulasi apa yang sebenarnya terjadi.
Pemilu dalam sistem demokrasi memang sarat dengan masalah. Kecurangan, politik uang dan politik transaksional sudah lazim mengiringi.
Ajaran demokrasi yang berisi kebebasan berserikat, kebebasan berpendapat, kebebasan berperilaku dan kebebasan beragama menjadi sesuatu yang absurd dan sekadar jargon belaka. Fakta di lapangan tidaklah seindah teorinya. Mana yang disebut kebebasan berserikat dan berpendapat jika kemudian masih saja terjadi persekusi terhadap ormas dan tokoh yang berseberangan pandangan politiknya dengan penguasa. Mana yang disebut kebebasan beragama jika kemudian warga negara muslim dilarang menerapkan Islam secara kafah. Dan pada saat yang sama kran kebebasan berperilaku dibuka seluas-luasnya hingga LGBT dibela, pergaulan bebas dibiarkan, nilai-nilai keislaman dalam keluarga muslim berusaha di’liberal’kan dengan penggodokan rancangan undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual, misalnya.
Kita bisa lihat saat ini kesemua ajaran demokrasi tersebut menghasilkan ketidakadilan karena yang “menang” dalam prinsip demokrasi adalah yang memiliki kekuasaan dan uang. Berapa banyak dana kampanye yang harus digelontorkan oleh para caleg dan calon pimpinan eksekutif (parpol) pada momen pemilu 2019. Setidaknya ada empat parpol dengan dana kampanye paling besar. Yang pertama adalah PDIP sebesar Rp 345,02 miliar, kemudian Golkar Rp 307 miliar, disusul NasDem sebesar Rp 259 miliar, Demokrat sebesar Rp 190 miliar dan yang terakhir adalah PKB dengan dana kampanye sebesar Rp 142 miliar (merdeka.com, 3/5/2019). Demokrasi membutuhkan biaya yang sangat mahal. Hanya orang atau pihak yang memiliki modal kekayaan besar yang mampu mencalonkan diri menjadi pemimpin. Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat hanyalah isapan jempol. Ya, karena pada kenyataannya kekuasaan itu berpusat pada segelintir orang saja, bukan di tangan rakyat.
Ajaran demokrasi yang dicetuskan oleh JJ. Rousseau sampai saat ini sebenarnya masih bersifat hipotetis dan belum ada bukti empiriknya. Bahkan pada “Polis” atau “City State” di Yunani yang digunakan oleh Rousseau sebagai contoh didalam membangun ajaran demokrasi yang bersifat mutlak dan langsung, tidak dapat ditemui adanya unsur-unsur demokrasi. Oleh karenanya Logemann mengatakan bahwa Ajaran Demokrasi JJ. Rousseau sebagai “Mitos Abad XIX”, karena tidak memiliki pijakan pada kehidupan nyata manusia. Hal ini bertentangan dengan kenyataan dimana rakyat secara langsung dan mutlak (keseluruhan) memegang kendali pemerintahan negara. Karena justru kenyataannya menunjukkan bahwa segelintir (sedikit) oranglah yang memegang kendali pemerintahan negara dan memerintah kumpulan orang yang banyak, yaitu rakyat (dalam Tesis Abdul Wahab berjudul “Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang di Indonesia; Studi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012).
Demikianlah realitasnya. Sesuai dengan tesis tersebut bahwa demokrasi tidak pernah bisa menyejahterakan rakyat karena kebijakan politik dan kebijakan publik pada endingnya hanya menguntungkan penguasa dan para pengusaha, bukan rakyat. Sebagaimana laporan lembaga Oxfam bahwa sebanyak 1% orang terkaya di dunia memiliki kekayaan yang jumlahnya sama dengan total kekayaan 99% penduduk dunia (www.bbc.com, 18/1/2016).[]