Oleh : Punky Purboyowati S. S*
MuslimahTimes-Ramadan, bulan penuh dengan aktivitas spiritual. Di dalamnya, meraih pahala tak terbatas pada aspek spiritual semata seperti memperbanyak ibadah mahdah, baca Alqur’an (tadarrus), memperbanyak doa, mendengarkan ceramah, dan amalan sunnah lainnya, akan tetapi meraih pahala menjalankan kewajiban dalam seluruh aspek kehidupan. Ya, itulah keistimewaan yang diperuntukkan bagi seorang muslim yang semuanya hanya di dapat di bulan ramadhan ini. Yang paling menggembirakan lagi, semua pintu – pintu surga dibuka, sementara pintu – pintu neraka ditutup. Maka sudah semestinya sebagai hamba Allah SWT yang beriman, menjalankannya dengan ikhlas semata karena Allah SWT. Dilakukan dengan niat dan cara yang benar berdasarkan hukum Islam. Lebih dari itu, mampu meraih derajat taqwa menuju keridhaan Allah SWT. Bukan berdasarkan manfaat, atau hanya sekedar materi.
Namun ketika umat menjalani ramadhan di saat sekarang ini, bukan suatu hal yang mudah. Sebab banyak hal yang berbeda. Memang secara spiritual, umat Islam melakukan ibadah puasa secara bersama – sama. Namun secara aturan bermasyarakat dan bernegara, berbeda – beda pandangan. Demikian halnya umat secara keseluruhan mengalami keterpurukan di segala aspek kehidupan. Terdapat buruknya pelayanan yang kesemuanya sarat dengan kemunafikan. Bagaimana tidak, kecurangan terjadi di mana – mana. Korupsi dan jual beli jabatan serta politik uang di seluruh aspek. Dan baru – baru ini mengenai pelaksanaan pemilu, telah menimbulkan duka yang mendalam bagi rakyat. Jumlah petugas KPPS yang gugur semakin bertambah. Sebagaimana yang disampaikan Sekjen Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Arif Rahman bahwa data per tanggal 4 Mei 2019, pukul 16.00 WIB, tercatat jumlah korban wafat mencapai 440 jiwa. Sakit 3.788 orang, jadi total 4.228. (merdeka.com/4/5/19).
Melihat kenyataan tersebut, maka mestinya menjadi warning bahwa sudah saatnya Demokrasi introspeksi diri. Bahwa Demokrasi, sejak lahirnya sudah cacat dan penuh dengan kelemahan. Demokrasi yang di dalamnya banyak mengobral janji – janji palsu tak mampu mengubah negeri ini menjadi adil dan sejahtera. Partai – partai yang didirikan sekedar berkompetisi demi kepentingan kapital. Dengan menggandeng para artis ibukota, maka diklaim partai akan menjadi laku dan dilirik masyarakat. Namun sayangnya hal ini tak tabu lagi, bahwa masyarakat sudah bisa mencium aroma permainan partai yang hanya mementingkan kekuasaan dengan hanya memperoleh suara. Sejumlah pengamat menilai bahwa kehadiran para artis di tengah dominannya parpol lama di parlemen, tak akan memberikan efek apa-apa. Sebagai vote getter, para artis ini sesungguhnya sudah memberikan sumbangan berarti bagi kemenangan partai, dan bisa saja tugas mereka memang hanya untuk meraih suara.
Misalnya artis dwngan inisial ‘K’ salah satu caleg artis yang memperoleh suara terbanyak yaitu meraup 15.473 suara pemilihan legislator Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia terbanyak di Kota Batu, Jawa Timur. Lalu artis ‘NS’, bersaing di Dapil Jabar I yang meliputi Kota Bandung dan Kota Cimahi. ‘NS’ merupakan caleg petahana. Bila lolos pada Pileg 2019, ini merupakan periode kedua dirinya bekerja di kompleks parlemen, Senayan. Selama di DPR, ‘NS’ pernah ditempatkan di Komisi X yang membidangi pendidikan, kebudayaan, pariwisata, pemuda dan olahraga, serta ekonomi kreatif. (tribunnews.com/5/5/19). Dan masih banyak artis lainnya. Namun sejatinya para artis tersebut berjuang untuk kepentingan partai dan para kapital. Bukan untuk rakyat.
Ketika rakyat berteriak atas kezaliman yang menimpa mereka namun partai tak mampu menyelamatkan mereka dari segala penderitaan. Rakyat terus menerus ditimpa kedzaliman demi kezaliman. Maka inilah kebobrokan Demokrasi yang ditelanjangi oleh asasnya sendiri yang mengesampingkan agama. Sehingga wajar tak mampu menyelesaikan problematika umat. Karenanya hal ini menjadi sebuah tanda bahwa masyarakat mesti beralih pada suatu jalan yang dapat merubah kondisi umat ke arah perubahan yang benar. Yaitu kembali kepada ajaran yang sesuai dengan fitrah manusia.
Selain itu merupakan petunjuk bahwa umat membutuhkan suatu kesadaran kolektif. Kesadaran kolektif ini mesti dilakukan dari keluarga, masyarakat, dan negara. Bahwa melalui Ramadan ini, merupakan momentum untuk memunculkan kesadaran secara bersama – sama terhadap suatu kondisi yang membawa pada perbaikan dan penyempurnaan di masa kini dan masa akan datang baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun bernegara. Bulan Ramadan yang penuh rahmat dan maghfirah ini, harus dijadikan jalan perubahan hakiki menuju ketakwaan kepada Allah SWT. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (QS. Al-Baqarah [2]: 183).
Takwa artinya mengerjakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Maka nilai ketakwaan itu ditransformasikan ke dalam makna perubahan secara kolektif (menyeluruh) dalam seluruh aspek. Dalam bidang ekonomi, mampu dan tergerak untuk mengentaskan kemiskinan. Dalam bidang politik, mampu melepas segala bentuk intervensi asing yang menjajah Indonesia. Dan masih banyak lagi yang lainnya.
Tanpa adanya kesadaran kolektif seperti ini, maka ramadhan yang dijalankan hanya menghasilkan keshalehan individual semata. Sebab keshalehan individual, tak memiliki banyak pengaruh. Karena siapa yang akaan mengawasi keshalehan individu ? Justru mereka tergerus dengan kondisi yang ada. Seperti partai yang bersimbolkan agama yang terdiri dari orang – orang shaleh, namun tak mampu mengubah kondisi masyarakat dan kenegaraan menjadi islami. Sebab Demokrasi Sekulet tak mampu mengarahkan pada kesadaran kolektif scara benar. Justru mereka dimotori oleh kebijakan yang bersebrangan dengan Islam. Alhasil wajar ramadhan tidak membawa pada perubahan yang berarti. Karenanya bila ramadhan tidak dimaknai sebagai jalan taqwa menuju perubahan hakiki yang secara fitrahnya kembali menghamba kepada Allah dengan menerapkan syariat Islam secara menyeluruh, maka ramadhan ditiap tahun hanya sebagai ajang menahan lapar dan dahaga saja. Rasulullah bersabda, “Betapa banyak orang yang berpuasa, yang diperolehnya dari puasa itu hanya lapar dan dahaga saja.” (HR. Thabrani dan Ibn Khuzaimah).
Islam adalah agama yang rasional, sesuai dengan fitrah, sesuai dengan akal dan menentramkan jiwa. Sebab itu, Ramadan harus dimaknai dengan menerapkan ideologi Islam secara menyeluruh di seluruh aspek kehidupan agar jalan takwa terbuka lebar bagi siapapun yang menginginkannya. Serta perubahan hakiki dapat diraih berdasarkan Alquran dan Sunnah Rasulullah saw.
Wallahu a’lam bisshowab.
*Komunitas Pena, Muslimah El Mahira Jombang
[Mnh]