Oleh. Hamsina Halik
(Revowriter Mamuju)
#MuslimahTimes –– Level darurat narkoba, status yang masih tersemat pada Indonesia. Bagaimana tidak, kian tahun kasus narkoba tak ada habisnya. Semakin bertambah, baik pemakai, produsen maupun pengedarnya. Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah, mulai dari diterapkannya peringatan hari anti narkoba hingga pembentukan badan nasional penanggulan narkoba. Namun tetap saja narkoba menggurita, bak jamur di musim hujan.
Status darurat narkoba ini, sudah sejak tahun 1971 Indonesia dinyatakan darurat narkoba oleh presiden RI ke-2, Soeharto. Sebagaimana dilansir dari Kompas, 02/11/2019, Menurut Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Budi Waseso, Indonesia dinyatakan darurat narkoba sejak tahun 1971. Ketika itu, Presiden RI ke-2 Soeharto menyatakan, Indonesia sedang dalam kondisi darurat narkoba.
Ini mengindikasikan bahwa tak ada perubahan sejak tahun 1971 hingga saat ini. Jumlah korban kian meningkat seiring dengan semakin banyaknya pengedar narkoba dan luasnya jaringan penyebaran narkoba. Belum lagi kasus penyalahgunaan narkoba dalam kondisi yang sangat mengkhawatirkan.
Deputi Pemberantasan Badan Narkotika Nasional (BNN) RI, Irjen Pol Arman Depari menyatakan, perkembangan kasus penyalahgunaan narkoba di Indonesia, saat ini berada dalam kondisi menghawatirkan. Arman menyebutkan, berdasarkan hasil survei prevalensi penyalahgunaan narkoba, jumlah pengguna narkoba di Indonesia mencapai lebih dari 4 juta orang. Arman juga menyebut berdasarkan survei prevalensi penyalahgunaan narkoba, jumlah kematian akibat mengkonsumsi narkoba, lebih dari 30 orang setiap harinya (Kompas.com).
Juga, berdasarkan Survei dari Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukkan 2,3 juta pelajar atau mahasiswa di Indonesia pernah mengonsumsi narkotika. Angka itu setara dengan 3,2 persen dari populasi kelompok tersebut (Cnnindonesia.com).
Sungguh miris melihat fakta bahwa pengguna terbanyak ada pada tataran pelajar dan mahasiswa. Nasib generasi sebagai tonggak peradaban bangsa berada diambang kehancuran.
/Kapitalisme Sekuler Menyuburkan Narkoba/
Jika tanaman tumbuh subur karena diberi pupuk, maka narkoba subur karena ada sistem yang menyuburkannya. Sistem kapitalisme dengan sekularisme sebagai asasnya, yang memisahkan agama dari kehidupan, membuat manusia jauh dari agamanya sehingga tak ada lagi kontrol dan standar yang benar dalam setiap tindakannya.
Selain itu adanya paham liberalisme yang lahir dari sekularisme berhasil membuat manusia berlomba-lomba mengejar kebahagiaan semu. Gaya hidup glamour dan hedonis. Serta adanya asas manfaat dalam kapitalisme, membuat para pelaku narkoba tak lagi peduli dengan kerusakan yang akan ditimbulkan akibat narkoba ini. Selama bisa mendatangkan manfaat, maka apapun itu akan dilakukan. Tak peduli halal haram ataupun baik buruknya.
Apalagi profit yang dihasilkan dari perdagangan narkoba ini sangat menggiurkan, tentu membuat orang-orang kapitalis berlomba-lomba untuk meraih keuntungan sebanyak-banyaknya. Terlebih Indonesia disebut-sebut masuk dalam segitiga emas perdagangan metafetamin atau sabu. Maka, bagi kapitalis ini adalah surga dunia bagi para pebisnis narkoba. Mereka akan semakin melebarkan sayapnya dalam mengedarkan narkoba, meski dengan cara yang ilegal seperti penyelundupan.
/Kerjasama Tiga Lapisan/
Narkoba sudah sangat jelas dampak yang ditimbulkannya. Para ahli kesehatan telah memaparkan berbagai efek berbahaya bagi manusia. Salah satunya, dapat merusak akal dan jiwa seseorang. Siapa pun yang memahami ini, tentu sangat ingin segera menyudahi semakin meluasnya kasus narkoba ini. Semata karena kepedulian terhadap nasib generasi.
Namun, usaha yang perlu dilakukan tak semudah membalikkan telapak tangan. Adanya sanksi hukuman penjara yang berlaku saat ini tak membuat jera para pelaku kejahatan narkoba. Untuk itu diperlukan sebuah pemecahan sistemik dan sinergi setiap lapisan yang ada. Diantaranya:
Pertama, ketakwaan individu. Penguatan akidah aoda setiap diri muslim akan mendorong seseorang untuk senantiasa terikat kepada hukum syara’ dalam setiap aktivitasnya. Merasa ada yang mengawasi setiap tingkah lakunya, yaitu Allah SWT. Sehingga, tak akan mudah baginya untuk tergoda dengan ‘manisnya’ narkoba.
Kedua, kontrol individu dan masyarakat. Adanya kontrol individu pada individu yang lain sangatlah perlu, sebab manusia bukanlah manusia yang sempurna yang tak luput dari kesalahan. Olehnya itu, budaya amar ma’ruf nahi munkar sangat diperlukan. Baik secara individu ataupun kolektif (masyarakat). Ini akan menjaga keimanan dan ketakwaan setiap individu sehingga mereka terjauhkan dari amalan-amalan yang rusak.
Ketiga, negara. Dalam hal ini penguasa. Memiliki tanggung jawab penuh dalam melindungi dan mengatur urusan rakyatnya. Adanya negara dalam menjaga ketakwaan individu dan masyarakat serta adanya kebijakan-kebijakan yang ditetapkan atas ketegasan sanksi hukum terhadap segala kemaksiatan akan membuat pintu masuknya narkoba tertutup rapat. Sehingga rakyat akan terlindungi dari jerat bahaya narkoba, generasi pun terselamatkan.
Namun, untuk mewujudkan kerjasama dalam tiga lapisan diatas tak bisa berharap pada sistem yang berlaku saat ini. Karena, sejatinya sistem yang ada saat ini terbukti tak mampu memberikan perlindungan dari segala bahaya yang mengancam rakyatnya. Semua itu hanya akan terwujud dengan kembali kepada aturanNya. Menjadikan hukum-hukum Allah sebagai pengatur dan solusi atas setiap permasalahan dalam segala aspek kehidupan, termasuk kasus narkoba ini.
Wallahu a’lam []
Sumber Foto : Suara