Oleh : Dien Kamilatunnisa
Muslimahtimes– Banyaknya warga negara Indonesia (WNI) menjadi korban pengantin pesanan di Cina, membuat Kementerian Luar Negeri RI tak tinggal diam. Menlu Retno Marsudi telah melakukan kunjungan ke Pontianak pada Kamis, 25 Juli 2019. Menlu mengadakan rapat koordinasi dengan Gubernur dan Kapolda Kalimantan Barat, Walikota Singkawang, serta Bupati Sambas beserta jajarannya. Menlu secara khusus membahas upaya pencegahan kasus kawin pesanan, seperti keterangan tertulis Kementerian Luar Negeri RI yang dikutip Liputan6.com pada Jumat (26/7/2019).
Seperti yang telah diketahui dari beberapa media bahwa banyak wanita Indonesia ditawari untuk menjadi istri dari warga negara Cina. Laki-laki tersebut datang ke Indonesia, dan mengiming-imingi sejumlah uang dan kesejahteraan kelak di Cina, Sementara keluarga wanita akan dikirimi sejumlah uang dari laki-laki tersebut. Mirisnya, setelah wanita Indonesia menjadi istri dan pindah ke Cina, mereka mendapatkan perlakuan kasar dan dieksploitasi (Liputan 6, 23/06/2019).
Perkembangan kasus pengantin pesanan semakin bergulir. Pemerintah Indonesia melakukan beberapa upaya untuk menyelesaikan kasus ini. Permasalahannya adalah perbedaan cara pandang hukum antara pemerintah Cina dan pemerintah Indonesia. Menurut hukum di Indonesia, kasus pengantin pesanan ini terindikasi sebagai tindak pidana perdagangan orang sebagaimana diatur dalam UU No. 21 Tahun 2007. Ironinya, pemerintah Cina menganggap masalah yang timbul adalah bagian dari permasalahan rumah tangga biasa, dan tidak perlu campur tangan pemerintah kedua negara. Otoritas Cina menilai bahwa konflik antara istri dan suami yang sah secara hukum tidak perlu sampai melibatkan pemerintah kedua negara (Republika, 26/07/2019).
Tentu ada sebuah pertanyaan besar, ada apa dengan fenomena pengantin pesanan Cina ini? Penyebab laki-laki di Cina mencari wanita untuk dijadikan istri terindikasi sebagai salah satu dampak dari peraturan pemerintahannya mengenai one child-policy. Beberapa dampak dari aturan itu di antaranya angka penduduk perempuan menurun drastis sehingga biaya pernikahan di Cina sangatlah mahal, dan jumlah wanita single di Cina yang enggan menikah pun naik. Hal ini mengakibatkan adanya permintaan angka perempuan untuk menjadi istri meningkat.
Peliknya, peluang ini ditangkap oleh” mak comblang” untuk mengeruk keuntungan.
Di sisi lain, ada hubungan yang signifikan antara kemudahan akses Cina-Indonesia melalui adanya program jalur Belt Road Initiative (BRI). Mengapa? Karena dengan kemudahan konektivitas global Indonesia- Cina membuka kran terhubungnya Indonesia oleh problem sosialnya. Salah satunya kasus perdagangan manusia melalui kedok pengantin pesanan (mail- order brides).
Mirisnya, ternyata tidak hanya di Indonesia, tapi juga kasus pengantian pesanan ini pun ditemukan di negara Asia lainnya seperti Myanmar, Pakistan dan Korea utara. “Mak Comblang”. Polanya dengan memanfaatkan kondisi wanita berekonomi lemah. Ada permintaan ada penawaran. Itulah paradigma kapitalisme yang memandang bahwa semua bisa menjadi komoditas bisnis. Tidak ada halal-haram, yang ada untung-rugi. Meskipun hal itu menentang akal sehat dan fitrah manusia.Bahkan wanita pun bisa diperdagangkan.
Oleh karena itu, sudah jelas bahwa akar masalah perdagangan manusia ini karena diterapkannya sistem sekulerisme-kapitalisme. Sistem ini begitu buruk dan mengakibatkan banyak masalah. Tentu saja harus disadari bahwa sistem ini harus segera ditinggalkan menuju sistem yang mulis, yaitu sistem Islam.
Islam sebagai cara pandang hidup yang menentramkan jiwa memandang bahwa sebuah ikatan pernikahan adalah sakral dan suci. Sementara kedudukan wanita begitu mulia sebagai ibu pengatur rumah tangga dan pendidik generasi mulia. Tidak akan dihinakan kedudukan wanita dalam Islam. Ditambah, Islam sudah jelas mengatur halal-haram, mana barang yang bisa diperdagangkan dan mana yang tidak. Maka, sangat rasional sekali jika sistem Islam diterapkan dan kembali mengikuti manhaj nabi Muhammad saw.
Wallohu’alam. [nb]