Oleh : Hana Annisa Afriliani,S.S
(Penulis dan Aktivis Dakwah)
Muslimahtimes– Tinggal menghitung hari, Indonesia akan merayakan hari jadinya yang ke-74. Kibar merah putih telah menghiasi penjuru negeri. Slogan “Menuju Indonesia Unggul” pun mengemuka di Dirgahayu RI ini. Slogan tersebut konon terinspirasi dari wacana Presiden Joko Widodo yang akan memprioritaskan Indonesia ke depan dalam pembangunan Sumber Daya Manusia. (Detiknews.com/05-08-2019)
Hakikatnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) di suatu negara akan memengaruhi kualitas negara itu sendiri, khususnya dalam perkembangan perekonomian bangsa. Sejatinya secara kuantitas Indonesia memiliki SDM yang banyak, mengingat jumlah penduduk Indonesia secara kesluruhan mencapai lebih dari 250 juta orang.
Namun kenyataannya, kualitas SDM tersebut tidak seiring sejalan dengan kualitasnya. Selain itu, tidak terserapnya tenaga kerja secara optimal di negeri ini, menambah potret buram wajah negeri. Bagaimana tidak, daftar pengangguran kian panjang.
Adapun tidak terserapnya tenaga kerja dengan optimal bisa disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya:
Pertama, jumlah lapangan kerja tidak sebanding dengan jumlah tenaga kerja. Akibatnya masyarakat kesulitan mencari pekerjaan. Menurut data BPS, sebagaimana yang dilansir Beritatagar.id (03/2019) bahwa jumlah angkatan kerja hingga Agustus 2018 adalah sebanyak 131,01 juta orang, naik 2,95 juta orang dibanding Agustus 2017. Namun, angka tersebut tak dapat terserap secara optimal di dunia kerja. Dapat dibayangkan, betapa sulitnya mencari pekerjaan di negeri ini, bahkan bagi mereka yang sudah mengantongi ijazah S1 sekalipun.
Kedua, keterbatasan skill. Keterbatasan skill (keterampilan) ini biasanya dilatarbelakangi oleh pendidikan yang dijalani. Dengan keterbatasan skill yang dimiliki, otomatis peluang kerja pun terbatas. Hal ini dipengaruhi oleh rendahnya daya masyarakat dalam mendapatkan akses pendidikan, yang tentunya hal tersebut tidak terlepas dari diberlakukannya sistem ekonomi kapitalisme di negeri ini. Mengakibatkan biaya pendidikan kian tak terjangkau. Slogan “orang miskin dilarang sekolah” seolah menjadi benar adanya. Sebab, pendidikan berkualitas hanya dapat dijangkau oleh mereka yang berpunya. Kapitalisme telah menjadikan sektor pendidikan sebagai komoditas bisnis, bukan layanan publik. Dengan demikian, banyak anak yang terpaksa putus sekolah atau bahkan tak merasakan bangku sekolah sama sekali. Akibatnya, mereka tidak memiliki skill mumpuni dalam memasuki dunia kerja.
Ketiga, kebijakan pemerintah salah arah, salah satunya kebijakan impor Tenaga Kerja Asing (TKA). Hal ini jelas akan memperburuk keadaan. Menambah jumlah pengangguran. Bagaimana tidak, pemerintah membuka kran bagi para pekerja asing untuk mengisi lapangan pekerjaan di Indonesia, sementara rakyat di negeri sendiri menganggur. Ini jelas ironis. Sayangnya, kebijakan ini sudah direalisasikan secara nyata oleh pemerintah.
Sebagaimana dilansir oleh Cnnindonesia.com (12-01-2019), bahwa Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan Maruli Apul Hasoloan mengatakan jumlah Tenaga Kerja Asing (TKA) hingga 31 Desember 2018 hanya 95.335 orang. Dari 95.335 orang tenaga asing yang bekerja Indonesia tersebut, tenaga asing profesional sebanyak 30.626, manajer sebanyak 21.237, konsultan dan direksi sebanyak 30.708. Adapun dari jumlah tersebut Dari jumlah tersebut jumlah tenaga asing yang banyak datang ke Indonesia adalah dari China (32.000), Jepang (13.897), Korea (9.686), India (6.895) dan Malaysia (4.667).
Persoalan TKA ini juga pernah disinggung dalam debat Capres dan Cawapres lalu. Saat itu KH. Ma’ruf Amin mengatakan bahwa jumlah tenaga kerja asing di Indonesia jumlahnya paling rendah di dunia, yakni hanya 0,01 %. Namun, tetap saja pernyataan tersebut tidak dapat dimaklumi. Mengingat jumlah pengangguran di Indonesia saat ini masih sangat tinggi. Menurut BPS, hingga 2019 ini jumlah penduduk Indonesia yang menganggur mencapai 7 juta orang. Luar biasa.
Di sisi lain, kualitas SDM juga dipengaruhi oleh faktor religiusitas, yang tolak ukurnya adalah ketaatan secara kaffah kepada Rabbnya. Sebagaimana kita tahu,bahwa sistem pendidikan hari ini mengadopsi sekularisme. Akibatnya pendidikan dijauhkan dari agama. Jika pun ada pelajaran agama, sangat minimalis, difokuskan hanya teori beragama dan pelajaran seputar ibadah dan fiqih. Sehingga adanya pelajaran agama sekalipun tidak mampu membentuk kepribadian Islam anak didik. Sebab apa yang diajarkan tidak bersifat aplikatif, hanya sebatas teori yang mengisi ruang-ruang intelektualitas.
Maka wajar adanya, jika dalam sistem pendidikan hari ini, anak didik sibuk mengejar nilai akademik, sementara akhlak dan moralitas terabaikan. Bukankah banyak fakta tersaji di depan mata bahwa generasi muda masa kini telibat ke dalam perbuatan amoral, maksiat nan bejat? Ya, seperti pergaulan bebas, aborsi, narkoba, tawuran, pencurian, hingga pelacuran. Semua itu merupakan implikasi dari penerapan sistem pendidikan sekular yang gagal menciptakan karakter generasi yang taat kepada Tuhannya. Akibatnya mereka berbuat serampangan, sesuka hati. Mengejar materi tanpa sandaran halal-haram. Bermain ‘kotor’ pun tak masalah, asal dahaga materi terpuaskan. Maka, apa yang dapat diharapkan dari SDM demikian dalam menciptakan Indonesia unggul?
Sungguh, mengharapkan Indonesia unggul dalam kerangka sistem sekular-kapitalisme hari ini ibarat menegakkan benang basah. Mustahil. Sebab, sejatinya sekularisme-kapitalisme adalah sistem kehidupan yang membawa cacat bawaan sejak kelahirannya. Betapa tidak, produk hukum yang dihasilkan bersumber dari akal manusia semata.
Hanya dengan kembali kepada aturan Islam secara kaffahlah Indonesia menjadi negeri yang unggul dan mampu dibanggakan. Tak hanya itu, berkah dari langit dan bumi pun akan menyelimuti negeri ini. Insyallah.
Allah swt berfirman:
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri tersebut beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Qs. Al-A’raf: 96)
[nb]