Oleh : Mukhy Ummu Ibrahim
(Member Akademi Menulis Kreatif)
MuslimahTimes– Pada tanggal 12 Juli 2017, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu Ormas. Penerbitan Perppu No. 17 tahun 2017 itu diklaim oleh pemerintah telah melalui proses pengkajian dan pengamatan sejak lama. Pemerintah juga menerima banyak masukan dari sejumlah kalangan, mulai dari pakar hukum, ulama hingga masyarakat. Demikian disampaikan Presiden Jokowi. (jateng.tribbunnews.com, 20/7/2017)
Langkah pemerintah tersebut menuai berbagai tanggapan dari berbagai pihak. Sebab, sebenarnya sebelumnya telah ada Undang-Undang Ormas yang dibentuk untuk mengatur keberadaan ormas-ormas di Indonesia. Penerbitan Perppu ini pun dianggap sebagai langkah yang berlebihan. Terlebih Perppu sebenarnya hanya diterbitkan hanya jika negara benar-benar berada dalam kondisi darurat. Sementara tidak ada faktor kedaruratan yang kita lihat dalam kasus penerbitan Perppu ini.
Sehingga kita pun patut bertanya, apakah ada motif-motif tertentu sehingga pemerintah bersikeras untuk menerbitkan Perppu Ormas tersebut. Kecurigaan ini memang cukup beralasan. Terlebih ketika hanya berselang dua pekan, Perppu tersebut langsung ‘meminta korban’. Tepatnya pada tanggal 19 Juli 2017, pemerintah mengumumkan pencabutan status badan hukum Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
HTI sebagai ormas, memang menjadi yang paling lantang dalam menyuarakan kebenaran dan mengingatkan pemerintah atas kebijakan-kebijakan yang tidak pro rakyat. Kekhawatiran berbagai pihak bahwa Perppu Ormas tersebut akan menjadi alat untuk ‘menggebuk’ pihak-pihak yang berseberangan dengan pemerintah agaknya bukan isapan jempol belaka. Terbukti dengan HTI sebagai korban pertamanya. Dan tidak menutup kemungkinan, nantinya akan ada ormas-ormas lain yang juga akan ‘digebuk’ oleh pemerintah.
Dua tahun berselang pasca penerbitan Perppu Ormas No. 17 tahun 2017 tersebut, kini kekhawatiran berbagai pihak itu pun terbukti. Giliran FPI (Front Pembela Islam) yang tengah dibidik oleh pemerintah untuk dihentikan geraknya. Berbagai dalih pun disampaikan.
FPI yang tengah memproses perpanjangan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) tersebut mendapat hawa pertentangan dari pemerintah. Presiden Jokowi menyampaikan bahwa pihaknya membuka kemungkinan untuk tidak memberikan perpanjangan SKT bagi FPI jika disinyalir FPI tidak bersedia tunduk pada Pancasila. Lebih lanjut pemerintah juga menilai ormas pimpinan Muhammad Rizieq Shihab tersebut tidak sejalan dengan ideologi bangsa dan mengancam keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bahkan Sekjen Kemendagri, Hadi Prabowo menyebut Kementerian Agama (Kemenag) tengah mengkaji apakah FPI bertentangan dengan syariat Islam atau tidak. (detik.com, 2/8/2019)
Sungguh dalih yang sangat menggelikan. Karena publik sangat memahami bagaimana tindak tanduk FPI di masyarakat. FPI adalah ormas yang sangat taat dengan syariat dan menjadi yang terdepan dalam ber’amar ma’ruf nahi munkar’. Mereka pun yang terdepan dalam perlawanan terhadap maksiat yang menjadi penyakit masyarakat. FPI juga merupakan ormas senantiasa hadir dan menolong para korban yang tertimpa musibah bencana, kapanpun dan dimanapun.
Maka, sungguh aneh jika kemudian pemerintah meragukan ke-Pancasila-an FPI. Bahkan dengan dalih itu pemerintah berniat membubarkan FPI. Sama seperti HTI yang telah lebih dulu dicabut status badan hukumnya, FPI pun dituduh dengan tuduhan yang serupa, yaitu tidak sejalan dengan Pancasila.
Apa yang dilakukan pemerintah terhadap FPI agaknya memang sama persis dengan apa yang dilakukan terhadap HTI. HTI yang senantiasa bersikap kritis terhadap pemerintah dan memperjuangkan tegaknya Khilafah, tentu menjadi pengganjal bagi penguasa dalam menjalankan agendanya yang pro kapitalis penjajah. Demikian pula halnya dengan FPI. FPI yang sejak awal Pemilu 2019 telah mengambil sikap berseberangan dengan pihak petahana yang kini berkuasa, agaknya juga dirasa sebagai batu sandungan besar bagi pemerintah. Terlebih ketika FPI pun tak bergeming meski Capres yang didukungnya berbalik mendukung koalisi. FPI tetap istiqomah untuk mengawal ijtima ulama dan hanya berpihak pada kepentingan umat semata.
Bertentangan dengan Pancasila dan membahayakan NKRI menjadi ‘mantra’ ampuh yang dihembuskan pemerintah pada pihak-pihak yang dianggap mengancam kepentingan penguasa. Padahal jika kita berbicara tentang paham dan gerakan yang bertentangan dengan Pancasila, paham Sekulerisme, Liberalisme, Pluralisme dan Sosialisme, disingkat Sipilis, jelas lebih nyata pertentangannya. Bahaya penyebaran paham ini pun sudah tidak perlu diperdebatkan lagi. Bahkan MUI melalui fatwanya pada tahun 2005 telah jelas-jelas mengharamkan paham-paham perusak aqidah umat ini.
Sayangnya, perhatian pemerintah atas beredarnya paham ini nyaris tidak ada. Bukannya dilarang dengan tegas, pemerintah justru memberi ruang bagi paham-paham rusak ini untuk dikaji. Menristekdikti belum lama ini mempersilakan civitas akademika perguruan tinggi jika ingin melakukan kajian tentang marxisme. (tirto.id, 26/7/2019)
Padahal marxisme adalah akar dari paham sosialis komunis. Begitupun dengan paham-paham rusak yang lain, keberadaannya tidak dianggap sebagai ancaman justru dibiarkan terus merajalela. Hingga kita pun dapat melihat kini dampak dari berjangkitnya paham-paham tersebut dimasyarakat.
Sekulerisme yang meminggirkan agama hanya di ranah ritual saja, liberalisme yang mengusung HAM dan kebebasan, telah menimbulkan kemerosotan moral dan timbulnya perilaku menyimpang terlaknat semacam L68T. Pluralisme pun telah sukses mengerdilkan aqidah umat bahkan menafikkan keagungan Islam yang sempurna. Sementara komunisme telah memunculkan manusia-manusia yang lupa akan adanya Sang Pencipta. Sehingga mereka pun berbuat sekehendak hatinya.
Maka, jelas sekali bahwasannya paham Sipilis tidak sesuai dengan satu pun sila Pancasila. Paham ini telah melahirkan manusia-manusia yang lupa akan Tuhannya, yang telah merosot moralnya dan telah hilang rasa keadilannya dengan berganti kepuasan materi yang menjadi tujuan sejati.
Sehingga bukanlah HTI atau FPI dengan ketundukannya pada syariat yang mengancam Pancasila. Akan tetapi, paham-paham rusak Sipilis lah yang justru menjauhkan Pancasila dari implementasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
Dari sinilah kita dapat memahami bahwasannya Pancasila menjadi dalih ampuh untuk ‘menggebuk’ lawan-lawan politik pemerintah. Siapapun yang berseberangan dengan pemerintah dapat serta merta dihentikan geraknya dengan dalih tidak sejalan dengan Pancasila. Maka, Pancasila hanya dijadikan alat legitimasi kekuasaan rezim sekuler dan alat untuk membungkam mereka yang vokal mengkritisi kebijakan pemerintah.
Di sisi lain kita dapat melihat lemahnya Pancasila dalam melawan paham-paham Sipilis yang rusak dan merusak. Maka, kita dapat melihat standar ganda Pancasila yang hanya ‘ampuh’ sesuai pesanan sang penguasa dan para penjajah kapitalis di baliknya.
Memang demikianlah tabiat alam demokrasi sekuler yang menjunjung tinggi kebebasan akal manusia dalam menetapkan aturan bagi dirinya sendiri. Ada atau tidaknya agama dan aturan-aturan-Nya pun menjadi tidak penting lagi. Agama pun terbonsai menjadi hanya sekedar ritual belaka. Sementara urusan dengan sesamanya pun bebas dengan aturan yang dibuat berdasarkan nafsunya. Maka, jelas yang terjadi adalah kekacauan yang luar biasa.
Dalam demokrasi sekuler, kebebasan dan HAM menjadi dua hal yang amat diagungkan. Atas dasar kebebasan dan HAM ini pula lah siapapun dapat mengadopsi sebuah pemikiran dan bahkan menyebarkannya. Tidak peduli meski itu adalah pemikiran yang bathil dan rusak.
Pemikiran-pemikiran yang rusak ini pun kian berkembang. Dan sampai pada satu titik di mana mereka semakin menujukkan pertentangan pada pemikiran Islam. Terlebih saat mereka pun menjadi pemikiran yang diemban oleh para penguasa. Penguasa pun berubah menjadi tiran yang berbuat sekehendaknya. Melibas semua lawan-lawan politiknya dengan dalih yang direka tanpa bukti nyata.
Bobroknya sistem yang melingkupi negeri ini telah begitu nyata. Mimpi rakyat sejahtera pun kian menjadi utopia. Hanya dengan kembali pada aturan-Nya saja, negeri ini akan dapat terselamatkan. Dan Pancasila dapat benar-benar teraplikasikan. Sistem Islam yang sempurna akan menjamin aplikasi dari tiap pasalnya. Pelaksanaannya yang berlandaskan takwa akan menjadi sebab negeri ini meraih ridha-Nya. Hidup pun akan penuh berkah, aman dan sejahtera.
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri tersebut beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi…” (TQS Al A’raf : 96)
Wallahu a’lam bishshawab.