Oleh : Sunarti
#MuslimahTimes –– Pajak menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan umum dan tata cara perpajakan adalah “kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” (Wikipedia).
Dalam banyak hal pajak dibebankan kepada rakyat. Masyarakat atau badan yang diwajibkan membayar pajak disebut “wajib pajak.” Acuannya adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan. Pada pasa 1 ayat 2 tertulis:
“Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.“
Penarikan pajak meliputi berbagai aspek. Setiap jenis pajak memiliki objek pajak dan subjek pajak. Secara sederhana, objek pajak merupakan sumber pendapatan yang dikenakan pajak. Sedangkan subjek pajak merupakan perorangan atau badan yang ditetapkan menjadi subjek pajak.
Setiap subjek pajak pasti mempunyai objek pajak. Sementara orang atau badan yang punya kewajiban pajak disebut sebagai wajib pajak.
Mengutip Undang-Undang Nomor 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan (PPh), subjek pajak PPh terdiri dari tiga yaitu orang pribadi, badan dan warisan.
Indonesia di Mata IMF Soal Pajak
Meskipun demikian, Indonesia masih dinilai kurang dalam pendapatan pajak. Hal ini disoroti oleh IMF, yaitu dalam kinerja penerimaan negara dalam pajak yang masih rendah. Sebagaimana dirilis di Kontan.co.id, Dana Moneter Internasional (IMF) belum lama ini merilis hasil assessment terhadap perekonomian Indonesia dalam laporan bertajuk Article IV Consultation tahun 2019.
Diberitakan juga apabila IMF merekomendasikan Strategi Penerimaan Jangka Menengah atau Medium-Term Revenue Strategy (MTRS) untuk untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut guna diterapkan di Indonesia, khususnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Menurut IMF, MTRS mewakili peta jalan reformasi sistem perpajakan yang komprehensif. “MTRS menyentuh hampir semua aspek perpajakan, termasuk PPN, cukai, PPh Badan, PPh Orang Pribadi, pajak properti dan administrasi pajak,” terang IMF.
Pertama, reformasi administrasi perpajakan. IMF mengakui pemerintah Indonesia telah membuat kemajuan dalam hal mereformasi administrasi perpajakan. Namun, reformasi ini harus terus dijalankan secara konsisten dan intensif karena butuh waktu untuk melihat efektivitas kebijakan reformasi ini.
Kedua, reformasi perpajakan dengan merampingkan sistem perpajakan. IMF menilai, semakin sederhana sistem pajak, maka semakin efisien dan tinggi pula tingkat kepatuhan. Hanya saja, reformasi ini memang membutuhkan revisi payung hukum perpajakan Indonesia.
Ketiga, memperluas basis pajak yang sudah berlaku. IMF menyarankan pemerintah untuk tidak menurunkan batas (threshold) PPN baik secara umum maupun untuk UMKM, sebelum menghapus kebijakan pembebasan PPN dan merampingkan PPh Badan.
Keempat, kebijakan meningkatkan tarif pajak atau mengenakan tarif pajak baru untuk meningkatkan penerimaan secara substansial. Namun, IMF mengakui, kebijakan ini mungkin paling sulit diimplementasikan.
Selain itu, IMF juga menyarankan pemerintah untuk menerapkan reformasi pajak atau MTRS secara bertahap. “Karena MTRS mencakup kebijakan perpajakan dan reformasi administrasi perpajakan secara komprehensif, tantangan implementasi membutuhkan prioritas dan urutan yang cermat.” (Kontan.co.id).
Mengurai MTRS
Dari semua uraian di atas, tampaklah bahwa kebijakan pajak di Indonesia sekarang dalam pengawalan dan pengawasan lembaga perbankan dunia, yaitu IMF. Tampak jelas apabila kebijakan dalam negeri diambil berasal dari usulan lembaga perbankan dunia yang sedang berkuasa di dunia saat ini. Tampak jelas arah dari perpajakan adalah mencontoh negeri-negeri Barat yang bersistem liberalis-kapitalis.
Sejatinya IMF sendiri juga menyampaikan jika kebijakan itu akan mendatangkan pro-kontra bagi beberapa pihak. Diungkap dalam media yang sama (Kontan.co.id), “Menerapkan MTRS merupakan pergeseran kebijakan fiskal yang besar dan berpotensi menjadi tonggak sejarah dalam pembangunan ekonomi Indonesia,” terang IMF. Meski demikian, karena menyentuh banyak kepentingan dan akan menciptakan pihak kalah dan menang, setidaknya dalam jangka pendek, reformasi pajak MTRS ini diakui akan menghadapi perlawanan dari berbagai kelompok.
Di balik kebijakan IMF dalam empat hal tersebut bisa diurai sebagai berikut :
Kebijakan pertama yaitu reformasi administrasi perpajakan. Hal ini langsung disambut oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani dengan kebijakan mempermudah pembayaran pajak melalui tagline. Ditjen Pajak akan kerjasama dengan e-commerce seperti Tokopedia untuk mempermudah pembayaran pajak. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melakukan cara dengan mengeluarkan tagline bayar pajak semudah isi pulsa.
Usulan point kedua, reformasi perpajakan dengan merampingkan sistem perpajakan. Hal ini membutuhkan payung hukum. Sebagaimana diketahui apabila berpayung hukum, maka sifatnya mengikat. Dari sini jelas, jika tujuannya adalah makin tinggi tingkat kepatuhan, maka jelas jika ada unsur pemaksaan bagi wajib pajak.
Pada point ketiga, memperluas basis pajak yang sudah berlaku. Jelas tujuannya adalah meningkatkan penarikan PPN maupun PPh. Tujuan ini juga disampaikan oleh IMF, seperti yang diberitakan dalam Kontan.co.id. Sebelum kebijakan tersebut, IMF menyarankan pemerintah untuk menghapus subsidi BBM sebelum mengenakan cukai terhadap BBM, menghapus pembebasan PPN dan menurunkan batas (threshold) PPN sebelum menaikkan tarif PPN. Serta memastikan kekuatan jaring pengaman sosial untuk melindungi kelas bawah di tengah kebijakan menaikkan tarif pajak.
Yang terakhir adalah kebijakan meningkatkan tarif pajak atau mengenakan tarif pajak baru untuk meningkatkan penerimaan secara substansial. Jelas adanya peningkatan tarif pajak. Diungkap juga oleh IMF, dengan MTRS, mestinya mampu meningkatkan pendapatan negara sekitar 5% dari PDB selama lima tahun ke depan. Semua untuk membiayai belanja prioritas infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan jaring pengaman sosial (Kontan.co.id).
Selain semua hal di atas, guna menarik perhatian para wajib pajak, pemerintah lewat menteri keuangan juga menyelenggarakan kebijakan lain. Yaitu, saat ini, Indonesia ikut dalam pertukaran data perpajakan secara otomatis atau Automatic Exchange of Information (AEoI). Dari situ negara-negara yang tergabung didalamnya akan mendapatkan data informasi perpajakan secara otomatis.
“Sekarang kita dapat data dari 90 yurisdiksi. Mereka secara mandatori memberikan informasi ke negara yang warga nya ada di yurisdiksi. Jadi saling memberikan informasi secara reguler tanpa diminta,” tuturnya Menara Kadin, Jakarta, Jumat (Detik.com, 2/8/2019).
Dengan kebijakan dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, maka wajib pajak diperingakan bahwa tidak bisa menghindarkan diri dari kewajibannya. Ditjen Pajak, kini bisa mengendus harta sekalipun disembunyikan.
Menurutnya saat ini ada sekitar 47 juta transaksi yang dilaporkan dalam pertukaran data perpajakan. Nilai harta yang dilaporkan bahkan mencapai ribuan triliun.
Oleh karena itu, saat ini bagi pemilik harta banyak, akan sulit menyembunyikan hartanya demi menghindari pajak. Bahkan upaya seperti pengakalan pajak seperti tax avoidance dan tax evasion tidak akan mempan dilakukan.
“Jadi anda mau pindah nggak jadi ke bank tapi ke insurance ya tetap akan laporin. Kalau mau ya gali aja sumur di belakang rumah taruh duitnya di situ. Oh masih ada yang seperti itu? nanti saya pakai drone cari di situ,” tutur mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu (Detik.com).
Pajak dalam Sistem Ekonomi Kapitalis
Indonesia menganut sistem kapitalis. Jelaslah apabila sistem perekonomian yang diterapkan adalah sistem ekonomi kapitalis juga. Dalam sistem ekonomi kapitalis sumber utama penerimaan negara diperoleh dari pajak dan utang. Pendapatan negara juga diperoleh dari retribusi, keuntungan BUMN, pencetakan uang kertas, dan hadiah (hibah).
Pajak, secara substansial, diterapkan pada perorangan, badan usaha dan lembaga-lembaga masyarakat, tanah dan bangunan, barang produksi, perdagangan dan jasa. Demikian juga dipungut pajak penghasilan, pertambahan nilai, pajak bumi bangunan dan sebagainya. Pajak ini diterapkan dari tingkat pusat hingga daerah dengan berbagai nama dan jenis pajak. Maka tak mengherankan bila rakyat terbebani oleh berbagai macam pajak yang berlapis-lapis.
Jelas sudah, seperti dikatakan oleh IMF, bahwa Indonesia lemah dalam pendapatan perpajakan. Jadilah berbagai kebijakan untuk ‘menggenjot’ pendapatan pajak dilakukan. Dengan slogan ‘Orang Bijak Taat Pajak’ digaungkan agar rakyat dengan sukarela dan tepat waktu membayar pajak.
Dalam sistem ekonomi kapitalis tidak memiliki sumber penerimaan dari pemilikan umum karena sistem ini hanya mengakui dua macam kepemilikan, yaitu pemilikan individu dan pemilikan negara. Jadi badan usaha atau sumber-sumber kekayaan milik negara bebas diperjualbelikan kepada siapa saja yang memiliki modal besar. Sehingga pajak merupakan sumber utama pendapatan negara.
Kekayaan alam seperti barang tambang, infrastruktur strategis (jalan tol, bandara, pelabuhan, dll) boleh dikuasai oleh para pengusaha (Asing dan Aseng). Suatu badan usaha, ataupun sumber-sumber ekonomi yang menguasai hajat hidup orang banyak, boleh dimiliki oleh individu dan kelompok (swasta) dan bebas diperjualbelikan. Negara hanya mendapatkan sedikit dari pajak ataupun dari bagi hasil saja. Akibat yang lain, rakyat tidak mendapatkan manfaat sama sekali dari kekayaan alam yang mustinya menjadi milik rakyat.
Sementara alokasi dana pajak yang sejatinya ditujukan kepada pembangunan infrastruktur, sarana dan prasarana juga hanya isapan jempol belaka. Faktanya, pelbagai pembangunan tersebut dilakukan dengan utang luar negeri. Setelah pemabngunan selesai, kemudian dijual kepada para pemilik modal.
Pembangunan yang seharusnya diperuntukkan rakyat, justru menjadi milik swasta (Asing dan Aseng). Sementara pihak swasta yang menyediakan fasilitas tersebut, menyelenggarakan dengan cara menyewakan kepada rakyat. Hasil dari pendapatan infrastruktur, sarana dan prasarana tersebut, otomatis, kembali masuk ke ‘kantong’ para pemilik modal.
Lebih disayangkan lagi, dalam pembangunan sarana dan prasarana pendidikan dan kesehatan, untuk kepentingan rakyat, juga jauh panggang dari api. Pasalnya, pembiayaan pendidikan dan kesehatan ditanggung sendiri oleh rakyat. Penyaluran pajak hanya sebagian kecil saja. Fakta yang bisa dilihat di sekolah (negeri) yang tetap dipungut biaya (SPP, uang gedung, dll). Demikian pula ranah kesehatan, juga dipungut biaya (melalui BPJS Kesehatan, meskipun mengatasnamakan gotong-royong).
Pajak tetap menjadi pilihan utama untuk meningkatkan pendapatan negara. Karena hal ini paling mudah dilakukan oleh pihak pemerintah melalui Badan Perpajakan. Rakyat diikat dengan berbagai aturan perpajakan. Dan apabila terjadi penangguhan atau keterlambatan dari setoran pajak, maka akan dikenakan denda kepada wajib pajak. Padahal, kehidupan sehari-hari rakyat dikejar oleh segala kebutuhan yang teramat sulit.
Dari sini tampak apabila ada unsur lepas tangan dari pemerintah dalam hal kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Memang, jika masih bertumpu pada sistem ekonomi kapitalis, maka tak mengherankan jika semua bertumpu pada unsur bisnis. Sebagai pihak pengelola (swasta), jelas saja tidak mau apabila dirugikan dalam setiap layanannya.
Kebijakan Pajak dalam Sistem Islam
Istilah pajak, dalam fikih Islam, dikenal dengan dharîbah. Al-‘Allamah Syaikh Rawwas Qal’ah Jie menyebutnya dengan, “Apa yang ditetapkan sebagai kewajiban atas harta maupun orang di luar kewajiban syara’.” [Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, hal. 256].
Sedangkan al-‘Allamah Syaikh ‘Abdul Qadim Zallum, mendefinisikannya dengan, “harta yang diwajibkan Allah kepada kaum Muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika tidak ada harta di Baitul Mal kaum Muslim untuk membiayainya.” [al-Amwal fi Daulati al-Khilafah, hal. 129]
Pajak di dalam Islam bukan untuk menekan pertumbuhan, bukan menghalangi orang kaya, dan terutama bukan menambah pendapatan negara. Pajak diambil untuk membiayai kebutuhan yang ditetapkan oleh syara’ (yang bersifat mendesak dan kondisi Baitul mal sedang kosong).
Negara juga tidak akan menetapkan pajak tidak langsung, termasuk pajak pertambahan nilai, pajak barang mewah, pajak hiburan, pajak jual-beli, pajak undian, pajak warisan dan macam-macam pajak yang lain.
Dalam Islam, jika keuangan negara mengalami krisis (karena pos-pos penerimaan negara kosong) dan tidak mampu memenuhi kewajiban-kewajiban Baitul Mal, maka kewajiban-kewajiban tersebut beralih kepada kaum Muslimin.
Andai terjadi krisis ekonomi dan akibat krisis ekonomi tersebut menyebabkan warga negara jatuh miskin, otomatis, mereka tidak dikenai beban pajak (kepada muslim maupun non muslim). Sebaliknya mereka akan disantuni negara dengan biaya yang diambil dari orang-orang Muslim yang kaya.
Pajak yang diberlakukan dalam kondisi darurat dan Baitul Mal sedang kosong, adalah :
- Biaya jihad.
Dimulai dari pembentukan pasukan yang kuat, pelatihan hingga pada level tinggi. Mempersiapkan persenjataan mutakhir, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Ini dipersiapkan hingga level yang membuat musuh takut. Tujuan dari semua itu adalah mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.
Hal ini sesuai dalam firman Allah: “Berangkatlah berperang, baik dengan ringan maupun berat”[TQS at-Taubah: 41].
Sama halnya pada waktu Nabi SAW dalam kondisi sulit pun tetap memberangkatkan Jaisy Usyrah ke Tabuk. Dan biayanya ditanggung bersama oleh kaum Muslim.
- Biaya industri perang.
Termasuk di dalamnya industri alat berat dan pabrik yang dibutuhkan, agar bisa memproduksi alutsista yang diperlukan.
Allah SWT berfirman: “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya.”[TQS al-Anfal: 60].
- Pengeluaran untuk fakir, miskin dan ibn sabil. Ini termasuk ashnaf zakat, tetapi jika di Baitul Mal, dana dari pos zakat tidak ada, maka kewajiban tersebut wajib dipikul oleh kaum Muslim, melalui instrumen pajak. Kebutuhan ini tidak secara terus-menerus (bersifat insidental).
- Pengeluaran untuk gaji tentara, pegawai negara dan semua pihak yang memberikan khidmat kepada negara untuk mengurus kemaslahatan warga negara; biaya penanggulangan bencana alam, kecelakaan dan sejenisnya; biaya pembangunan infrastruktur dan fasilitas umum (seperti jalan raya, sekolah, kampus, rumah sakit, masjid, saluran air, dan sebagainya); jika semuanya ini merupakan sarana dan prasarana utama dan jika dana di Baitul Mal juga tidak ada; maka kewajiban tersebut berpindah ke pundak kaum Muslim, melalui instrumen pajak ini. Sebab, jika tidak ada, maka akan menyebabkan terjadinya dharar kepada warga negara.
Pajak termasuk pendapatan tidak tetap negara. Pendapatan ini hanya bersifat instrumental dan insidental. Bersifat instrumental, karena Islam menetapkan kepada kaum Muslim fardhu kifayah untuk memikul kewajiban pembiayaan, ketika dana tidak ada di Baitul Mal. Karena itu, ini menjadi instrumen untuk memecahkan masalah yang dihadapi negara, yang dibebankan hanya kepada umat Islam yang dia mampu secara finansial. Disebut insidental, karena tidak diambil secara tetap, bergantung kebutuhan yang dibenarkan oleh syara’ untuk mengambilnya.
Pajak diambil dari kaum Muslim yang mempunyai kelebihan (setelah dikurangi kebutuhan pokok dan sekundernya), maka dia menjadi wajib pajak. Sebaliknya, jika tidak mempunyai kelebihan, maka dia tidak menjadi wajib pajak. Dan itupun tidak dengan paksaan dari negara.
Bagi warga kafir dzimi (warga non muslim yang berada dalam daulah Islam) tidak ada beban fardu kifayah baginya. Mereka hanya memikul pembayaran jizyah, sebagai kompensasi warga negara yang dilindungi kehormatan, harta dan nyawanya. Itupun tidak diterapkan kepada setiap penduduk kafir dzimi. Hanya dibebankan kepada laki-laki dan secara materi mampu (kaya).
Adapun sumber pendapatan tetap negara, yang menjadi hak kaum Muslim dan masuk ke Baitul Mal adalah : Fai’ [Anfal, Ghanimah, Khumus]; Jizyah; Kharaj; ‘Usyur; Harta milik umum yang dilindungi negara; Harta haram pejabat dan pegawai negara; Khumus Rikaz dan tambang; Harta orang yang tidak mempunyai ahli waris; Harta orang murtad.
Inilah pendapatan tetap negar. Negara menetapkan sejumlah kewajiban dan pos, yang ada atau tidak adanya harta di Baitul Mal tetap harus berjalan. Jika di Baitul Mal ada harta, maka dibiayai oleh Baitul Mal. Jika tidak ada kas, maka baru ditetapkan kebijakan pendapatan tidak tetap.
Jika negara maju dan negara berkembang saat ini (sistem sekuler) mengambil kebijakan dengan utang luar negeri, maka dalam Islam tidak dibenarkan. Daulah Islam tidak melakukan pinjamanan pinjaman luar negeri dan pinjaman domestik. Hukum Islam tidak membolehkan pinjaman ke luar negeri yang berupa riba. Karena utang tersebut hanya akan menyebabkan kaum Muslimin berada dalam cengkeraman kekuasaan asing dan para investor. Negara, justru diperolehkan meminjam kepada warga negara yang kaya-raya, dengan kerelaan warganya.
Demikianlah riayah pemerintah kepada rakyat, dalam rangka menunaikan tugasnya sebagai pelindung dan pengayom masyarakat. Jadi, secara jelas tidak ada tindak pemaksaan, pemerasan (pungutan) pemerintah kepada warganya. Semua didasarkan pada kesadaran sebagi imam yang melindungi semua urusan rakyatnya, berdasarkan pada amanah dari Sang Pencipta.
Wallahu alam bisawab