
Warga menanti kehadiran Presiden Joko Widodo dan Ibu Negara Iriana Joko Widodo di Kampung Kaye, Distrik Agats, Kabupaten Asmat, Papua, Kamis (12/4). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/18.
Oleh. Ummu Azka
(Pemerhati Kebijakan, Anggota Revowriter)
#MuslimahTimes — Gejolak di bumi cendrawasih tak kunjung reda. Seminggu lebih konflik di sana kian memanas. Banyak korban berjatuhan, baik dari kalangan TNI maupun rakyat sipil. Pembakaran kantor milik negara dan fasilitas umum menimbulkan kerugian yang cukup signifikan. Pemerintah masih dipandang setengah jalan. Ini memicu makin kerasnya tuntutan rakyat Papua.
Juru bicara internasional Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Victor Yeimo mengatakan pihaknya akan menyerukan aksi mogok nasional di seluruh wilayah yang diklaim sebagai Papua Barat untuk mendesak referendum atau penentuan nasib Papua lewat pemungutan suara rakyat (Cnnindonesia.com).
Menurut Victor, itu merupakan bagian dari perjuangan KNPB yang akan dilakukan terus-menerus dalam menuntut referendum. Karena baginya Papua dalam kondisi “dijajah Indonesia”.
Puncak ketidakpastian
Sejak awal mula digabungkan Belanda kepada Indonesia, Papua dalam kondisi “menunggu janji”. Perpindahan dari koloni Hindia Belanda kepada Indonesia menjadikan Papua merasa “berpindah” dari penjajahan yang satu menuju penjajahan yang lain.
Fakta historis tersebut menjadikan Papua memiliki sensitivitas yang berbeda sebagai bagian dari Nusantara.
Seharusnya kondisi ini disadari sejak awal sebagai bekal pemerintah untuk memberikan perlindungan dan perlakuan yang layak sebagai bentuk pelayanan terbaik kepada warga negara. Sehingga anggapan bahwa mereka ada dalam penjajahan Indonesia bisa langsung dipatahkan.
Namun faktanya tidak demikian. Eksplorasi besar besaran yang dilakukan terhadap kekayaan Papua tak pernah diimbangi dengan pelayanan yang optimal kepada rakyat di sana. Kontrak Freeport yang terus diperpanjang , pembangunan infrastruktur yang sering digembar-gemborkan sebagai keberhasilan membangun Papua, ternyata tak mampu menjadikan masyarakat Papua sejahtera dan merasa memiliki. Yang terasa mereka merasa dicurangi. Emas dirampok, sementara mereka makin terpojok.
Lebih ironis lagi, untuk kebutuhan pangan sehari hari , rakyat asli Papua masih sulit untuk mendapatkannya. Pernyataan Gubernur Papua Lukas Enembe terkait kebutuhan rakyat Papua berupa pangan dan bukan infrastruktur, menjadi tamparan keras bagi pemerintah.
Konstelasi politik negeri yang makin kompleks akhir akhir ini membuat pihak yang merasa memiliki kepentingan- hegemoni penjajahan-, menaikkan isu sensitif di Papua sebagai potensi untuk menyulut konflik lebih besar lagi. Tujuannya, Papua bisa lepas dari bumi pertiwi. Sehingga bisa lebih leluasa dikuasai.
Pemerintah yang kebingungan, bertindak setengah hati. Sehingga bukan mencari solusi, pemerintah seolah membuat perisai baru terhadap warga Papua yang seharusnya mereka rangkul dan lindungi.
Berbagai kepentingan saling tarik menarik menjadikan konflik datang bertubi-tubi. Namun bagaimanapun, Papua harus dilindungi. Pemerintah harus mampu membuktikan bahwa Papua bukanlah seperti anak tiri.
Tuntutan referendum yang digagas KNPB seharusnya tak perlu terjadi, jika pemerintah serius mencari solusi.
Selama lebih dari setengah abad, demokrasi nyatanya tak mampu menyelesaikan masalah Papua. Gejolak terus terjadi, bahkan memuncak hingga kini.
Upaya perundingan yang selama ini dilakukan nyatanya tak pernah menemukan titik temu . Tokoh-tokoh Papua yang selama ini bicara dengan pemerintah adalah “orang-orang” oportunis yang selalu masuk dalam konflik Papua untuk kepentingan pribadi dengan penguasa.
Solusi Sistemik
Papua butuh masa depan yang lebih baik. Untuk itu, diperlukan sistem yang benar untuk mengurai semrawutnya konflik vertikal antara penguasa dengan rakyatnya. Juga mengusir pihak ketiga yang mencari keuntungan di sana.
Islam memberikan Jawaban. Dalam Islam negara berfungsi sebagai junnah . Perisai yang akan melindungi semua warganegara dan menjaga keutuhan wilayahnya dari berbagai ancaman dari dalam dan luar.
Islam menjamin pemenuhan kebutuhan dasar bagi warga negara dilakukan secara optimal dan merata tanpa membedakan wilayah dan status sosial. Kelalaian negara atas hal ini akan diganjar dengan setimpal di hadapan Allah sebagai bukti pertanggungjawaban seorang pemimpin.
Dari rahim syariat, muncullah banyak pemimpin taat. Salah satunya Khalifah Umar bin Khattab. Beliau yang dengan bersusah payah menggotong sendiri sekarung gandum di pundaknya.
Blusukan pada malam hari, membuatnya tak sampai hati melihat ada salah seorang wanita dari rakyat dibawah kepemimpinannya lapar dan menderita. Bahkan setelahnya beliau langsung memasak gandum tersebut.
Keesokan harinya, wanita itu pergi menemui Amirul Mukminin. Betapa kagetnya si wanita itu melihat sosok Amirul Mukminin, yang tidak lain adalah orang yang telah memasakkan makanan untuk dia dan anaknya.
Sudah saatnya kita berbenah, hijrah dari sistem jahiliyah menuju Islam Kaffah. Hanya itu yang mampu membebaskan bumi Papua dari konflik tak berkesudahan. Dengan demikian kita akan dapati tanah emas berkilau tanpa batas.