Oleh. Asha Tridayana
#MuslimahTimes — Papua merupakan wilayah paling timur di belahan bumi Indonesia dan terjauh dari pusat ibu kota negara. Karena letaknya yang demikian, sering kali menjadikan Papua layaknya anak tiri yang kurang mendapatkan perhatian dari ibu kandungnya. Ditambah lagi, perbedaan warna kulit yang begitu mencolok sering kali membuat rakyat Papua merasa terdiskriminasi. Selain itu, Papua juga memiliki sumber daya alam hasil tambang yang melimpah tetapi sama sekali tidak merasakan kesejahteraan yang semestinya mereka dapatkan. Tak terkecuali fasilitas kesehatan dan pendidikan yang masih sangat terbatas. Bahkan ketersediaan air bersih pun belum sepenuhnya menjangkau seluruh wilayah di Papua. Tak heran jika rakyat Papua menuntut haknya sebagai warga negara Indonesia, yang seharusnya mendapatkan perlakuan yang sama tanpa ada pengecualian. Namun, pemerintah dengan berbagai alasan seolah-olah telah melakukan banyak hal untuk mereka. Hal ini jelas bertolak belakang dengan fakta dan realita yang ada.
Dan benar saja, rakyat Papua kembali bergelora. Para mahasiswa yang berasal dari Papua dan Papua Barat menggelar unjuk rasa di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Rabu (28/8/2019). Sebelum bergerak ke Istana, mereka berdemonstrasi terlebih dahulu di depan Markas Besar TNI Angkatan Darat. Sembari mengibarkan bendera Bintang Kejora, demonstrasi yang dipimpin Ambrosius, menuntut pemerintah Indonesia mempersilahkan Papua melakukan referendum. Hal itu sebagai upaya memutus mata rantai diskriminasi dan rasisme terhadap masyarakat Papua. Pada kesempatan itu, Ambrosius juga menyampaikan bahwa warga Papua tidak menginginkan otonomi khusus (Otsus) karena kewenangan khusus itu, tidak menyelesaikan masalah yang selama ini didera Papua (tirto.id).
Di hari berikutnya, Juru bicara internasional Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Victor Yeimo mengatakan pihaknya akan menyerukan aksi mogok nasional di seluruh wilayah yang diklaim sebagai Papua Barat untuk mendesak referendum atau penentuan nasib Papua lewat pemungutan suara rakyat.
“Kita sudah serukan rakyat Papua untuk melakukan mogok sipil nasional di wilayah West Papua, untuk mendesak Jakarta membuka ruang referendum di Papua Barat,” kata dia, dalam wawancara dengan CNN Indonesia TV, Sabtu (31/8). Menurut Victor, itu merupakan bagian dari perjuangan KNPB yang akan dilakukan terus-menerus dalam menuntut referendum. Karena baginya Papua dalam kondisi “dijajah Indonesia”.
Jika ditelusur, keinginan rakyat Papua akan referendum tak lepas dari pengaruh dan kepentingan Barat. Sebagai jalan dalam mempertahankan eksistensi kelompok kepentingan tertentu. Dan juga, sumber daya alam di tanah Papua yang begitu menjanjikan otomatis dapat dikuasai dan dikendalikan sepenuhnya oleh Barat. Negara menjadi kesulitan bahkan terancam kehilangan sumber daya alam yang seharusnya menjadi aset bangsa yang bernilai tinggi.
Di sini, negara semestinya berperan penting dalam mencegah lepasnya wilayah yang menjadi bagian suatu negara dalam hal ini tanah Papua. Namun, yang dilakukan negara seolah mentolerir dan terlihat tak mempunyai wewenang dalam bertanggung jawab mempertahankan wilayahnya. Ini semua dikarenakan negara tidak lagi memiliki kedaulatan atas rakyat. Kewibawaan negara telah tergadaikan kepada pihak asing. Rakyat Papua berkali-kali dikecewakan dengan berbagai kebijakan yang diberlakukan negara. Termasuk sumber daya alam di bumi cendrawasih pun tak bisa diselamatkan. Lagi-lagi negara lepas tangan dan Barat kembali berkuasa.
Berbeda ketika sebuah negara memegang kendali. Tidak sekedar menjadi pion, yang dengan kata lain negara hanya menjadi pelaksana bagi kekuasaan bangsa lain. Namun, negara seharusnya berperan sebagai raa’in dan junnah bagi rakyat. Rasulullah Saw. bersabda “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari). Selain itu, Rasulullah Saw juga bersabda ”Sesungguhnya al-Imam (Khalifah) itu junnah (perisai), di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dll). Maka telah jelas disebutkan bahwa negara menjadi pengurus rakyat dan perisai (pelindung) bagi rakyat. Negara bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat di seluruh wilayah kekuasaannya tanpa terkecuali. Dan bukan menjadi alasan, dengan letak wilayah yang saling berjauhan sekalipun. Sehingga tidak ada wilayah-wilayah yang merasa tidak diperhatikan bahkan ditelantarkan. Namun sebaliknya, mereka akan selalu merasa menjadi bagian dari negara dan keinginan untuk melepaskan diri tidak akan pernah terpikirkan. Kalaupun kondisi semacam itu sampai terjadi, negara dengan sigap mencari akar masalah dan segera menyelesaikannya sehingga dapat meminimalisir dampak-dampak lain yang mungkin timbul. Dengan kedaulatan dan kewibawaan yang dimiliki negara, pastilah wilayah tersebut akan kembali ke pangkuan. Tentunya pihak asing pun menjadi tidak berkutik apalagi mempengaruhi dan ikut andil dalam mengatur negara. Karena negara benar-benar menjadi raa’in dan junnah bagi rakyat, bukan sekedar simbol pemerintahan.
Hal ini tampak ketika Islam diterapkan secara kaffah dalam kepemimpinan Islam. Dan terbukti dalam sejarah, selama lebih dari 13 abad kepemimpinan Islam berada di puncak kegemilangan. Maka dari itu tak dipungkiri lagi, jika solusi dari seluruh problematika yang terjadi di negeri ini, hanyalah dengan kembali menerapkan Islam secara kaffah dalam bingkai khilafah.
Wallahu’alam bishowab.