Oleh : Farah Sari, A.Md
(Komunitas Muslimah Jambi Peduli Generasi)
Muslimahtimes– Munculnya agenda pembahasan usul perubahan undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (Revisi UU KPK) dalam Rapat Paripurna DPR pada Kamis, 5 September 2019, mengejutkan banyak pihak. Dipimpin Utut, yang didampingi Bambang Soesatyo, semua fraksi setuju merevisi UU tentang KPK. Jika pembahasan berlangsung mulus, maka revisi tersebut bakal disahkan pada September ini, sebelum masa jabatan anggota DPR periode ini habis.(TEMPO.CO, 9/9/2019)
Selang beberapa waktu akhirnya DPR telah mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau UU KPK menjadi undang-undang dalam sidang paripurna(Liputan6.com, 17/9/2019).
Jika pro kontra revisi UU KPK terjadi demi efektifnya pencegahan korupsi, seharusnya ini menyadarkan kita bahwa sistem yang dijalankan selama ini belum tepat. Karena terbukti tidak mampu mencegah dan memberi efek jera pada pelaku korupsi. Korupsi terus saja berulang. Seakan tak menemukan solusi.
Sistem demokrasi menjadikan manusia sebagai pihak yang membuat hukum. Menentukan aturan untuk memecahkan permasalahan hidup. Termasuk masalah korupsi. Inilah akar masalah kenapa korupsi tidak bisa diselesaikan, aturannya cacat dari lahir karena bersumber dari akal manusia yang lemah dan terbatas. Kelemahan ini diperkuat dengan tambah sulam aturan dari waktu kewaktu.
Maka kita butuh sistem alternatif. Adakah suatu sistem atau aturan yang dapat mencegah korupsi agar tidak terjadi? Ada. Yaitu sistem Islam yang bersumber dari Sang Pencipta, Allah SWT. Sistem tersebut sesuai dengan fitrah manusia, memuaskan akal dan memberikan ketentraman jiwa.
Lalu bagaimana cara Islam mencegah dan membuat jera pelaku korupsi? Sistem Islam akan bekerja dalam tiga pilar.
Pertama, Islam membentuk ketakwaan individu. Individu yang bertakwa akan selalu menghadirkan Allah dalam setiap aktivitasnya. Menjadikan halal haram sebagai standar perbuatannya. Jika hal ini sudah tertanam kuat dalam setiap individu maka tak begitu diperlukan lembaga pengawas khusus mencegah korupsi. Karena kontrol terkuat perbuatan adalah keimanan. Maka hari ini yang terjadi adalah lemahnya keimanan dan kuatnya godaan dunia (harta, tahta dan wanita). Sejak dini seorang Muslim tidak dipersiapkan berakidah Islam dan terikat syariat dengan mantap, baik tataran keluarga, sekolah, masyarakat dan negara.
Kedua, Islam membentuk ketakwaan masyarakat. Ketakwaan dalam bentuk hadirnya aktivitas saling menasehati (dakwah) antar anggota masyarakat. Jika terlihat ada indikasi yang mengarah pada pelanggaran syariat (korupsi) akan dinasehati/diingatkan.
Hari ini, aktivitas tersebut hilang ditengah masyarakat. Karena masyarakat cenderung individual dan cuek. Diperparah dengan penerapan HAM. Menjadikan nasehat/dakwah sebagai bentuk pelanggaran HAM.
Ketiga, Islam membentuk ketakwaan negara. Ketakwaan ini terwujud dengan penerapan syariat islam oleh penguasa pada level negara. Karena ada syariat tertentu yang hanya bisa dilaksanakan oleh negara seperti sistem persanksiaan. Termasuk sanksi korupsi.
Korupsi dalam syariah Islam disebut dengan perbuatan khianat, orangnya disebut khaa`in, termasuk di dalamnya adalah penggelapan uang yang diamanatkan atau dipercayakan kepada seseorang. Tindakan khaa`in ini tidak termasuk definisi mencuri (sariqah) dalam Syariah Islam, sebab definisi mencuri (sariqah) adalah mengambil harta orang lain secara diam-diam (akhdzul maal ‘ala wajhil ikhtifaa` wal istitar). Sedang khianat ini bukan tindakan seseorang mengambil harta orang lain, tapi tindakan pengkhianatan yang dilakukan seseorang, yaitu menggelapkan harta yang memang diamanatkan kepada seseorang itu. (Lihat Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 31).
Karena itu, sanksi (uqubat) untuk khaa`in (pelaku khianat) bukanlah hukum potong tangan bagi pencuri (qath’ul yad) sebagaimana diamanatkan dalam QS Al Ma`idah : 38, melainkan sanksi ta’zir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim.
Dalam sebuah hadis dari Jabir bin Abdullah, Rasulullah Saw bersabda : “Laysa ‘ala khaa`in wa laa ‘ala muntahib wa laa ‘ala mukhtalis qath’un.” (Tidak diterapkan hukum potong tangan bagi orang yang melakukan pengkhianatan [termasuk koruptor], orang yang merampas harta orang lain, dan penjambret).” (HR Abu Dawud). (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 31).
//Mencegah Korupsi//
Menurut Syariah Islam
Secara preventif ada 7 (tujuh) langkah untuk mencegah korupsi sebagai berikut :
Pertama, rekrutmen SDM aparat negara wajib berasaskan profesionalitas dan integritas, bukan berasaskan koneksitas atau nepotisme. Wajib memenuhi kriteria khilafah (kapabilitas) dan berkepribadian Islam (syakhshiyah islamiyah). Nabi SAW pernah bersabda,“Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah Hari Kiamat.” (HR Bukhari).
Umar bin Khaththab pernah berkata,“Barangsiapa mempekerjakan seseorang hanya karena faktor suka atau karena hubungan kerabat, berarti dia telah berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya, dan kaum mukminin.”
Kedua, negara wajib melakukan pembinaan kepada seluruh aparat dan pegawainya. Khalifah Umar bin Khaththab selalu memberikan arahan dan nasehat kepada bawahannya. Umar pernah menulis surat kepada Abu Musa Al-Asy’ari,”Kekuatan dalam bekerja adalah jika kamu tidak menunda pekerjaan hari ini sampai besok. Kalau kamu menundanya, pekerjaanmu akan menumpuk….”
Ketiga, negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya.
Sabda Nabi SAW, ”Siapa saja yang bekerja untuk kami, tapi tak punya rumah, hendaklah dia mengambil rumah. Kalau tak punya isteri, hendaklah dia menikah. Kalau tak punya pembantu atau kendaraan, hendaklah ia mengambil pembantu atau kendaraan.” (HR Ahmad).
Abu Ubaidah pernah berkata kepada Umar,”Cukupilah para pegawaimu, agar mereka tidak berkhianat.”
Keempat , Islam melarang menerima suap dan hadiah bagi para aparat negara. Nabi SAW bersabda,“Barangsiapa yang menjadi pegawai kami dan sudah kami beri gaji, maka apa saja ia ambil di luar itu adalah harta yang curang.” (HR Abu Dawud).
Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Nabi SAW berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kekufuran.” (HR. Ahmad).
Kelima, Islam memerintahkan melakukan perhitungan kekayaan bagi aparat negara. Khalifah Umar bin Khaththab pernah menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya.
Keenam, adanya teladan dari pimpinan. Manusia cenderung mengikuti orang terpandang dalam masyarakat, termasuk pimpinannya. Maka Islam menetapkan kalau seseorang memberi teladan yang bagus, dia juga akan mendapatkan pahala dari orang yang meneladaninya. Sebaliknya kalau memberi teladan yang buruk, dia juga akan mendapatkan dosa dari yang mengikutinya.
Ketujuh , pengawasan oleh negara dan masyarakat. Umar bin Khaththab langsung dikritik oleh masyarakat ketika akan menetapkan batas maksimal mahar sebesar 400 dirham. Pengkritik itu berkata, “Engkau tak berhak menetapkan itu, hai Umar.”
//Menindak Korupsi Menurut Syariah Islam//
Kalau memang korupsi telah terjadi, Syariah Islam mengatasinya dengan langkah kuratif yang tegas, yakni memberikan hukuman yang tegas dan setimpal. Hukuman untuk koruptor masuk kategori ta’zir, yaitu hukuman yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuknya mulai dari yang paling ringan, seperti nasehat atau teguran, sampai yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Berat ringannya hukuman disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan. (Abdurrahman Al Maliki,Nizhamul Uqubat, hlm. 78-89).
Cara ini memang tidak mudah. Karena mengasumsikan perubahan sistem hukum yang sangat mendasar, yaitu menuju sistem hukum tunggal, yaitu syariah Islam. Walaupun tidak mudah, tapi cara inilah yang diyakini akan memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya. Tanpa cara ini, pemberantasan korupsi hanya akan ada di permukaan atau kulitnya saja.
Maka dari itu, tugas suci menerapkan syariah Islam tersebut seharusnya tidak dipikul hanya oleh kelompok atau jamaah tertentu, melainkan menjadi tugas bersama seluruh komponen umat Islam, termasuk mahasiswa dan masyarakat pada umumnya. Di sinilah peran yang dapat dimainkan oleh mahasiswa dan masyarakat. Wallahu a’lam. [nb]