Oleh: Ashaima Va
Muslimahtimes– Kondisi rakyat selalu berbanding lurus dengan baik tidaknya pemimpin. Jika baik pemimpinnya, maka baiklah kondisi rakyatnya, sebaliknya jika buruk pemimpinnya maka buruk pula kondisi rakyatnya. Maka tepatlah jika Islam menyatakan pemimpin adalah pelayan bagi rakyat yang dipimpinnya dan dia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap pelayanannya.
Saat rakyat mengalami kesulitan hidup, tak salah jika mereka menuntut pertanggungjawaban pemimpinnya. Akibat dari pengabaian terhadap hak-hak rakyat dan penetapan kebijakan yang tidak populis, rakyat lah yang akan merasakan dampaknya. Maka menuntut kepedulian pemimpin bukanlah suatu kemanjaan rakyat. Bukan pula upaya merepotkan pemimpin.
Seorang pemimpin sejatinya adalah seseorang yang dituntut kepeduliannya pada kesusahan rakyat. Seorang pemimpin juga mesti memiliki kepekaan dan empati tingkat tinggi. Kepekaan akan membuat pemimpin bisa menempatkan kepeduliaanya di tempat teratas. Sedangkan empati akan membuat pemimpin selalu terhubung dengan rakyat. Dukamu, dukaku. Bahagiamu, bahagiaku. Begitu kira-kira hubungan yang bisa tercipta.
Teladan terbaik pemimpin penuh empati adalah Rasul Muhammad saw. Rasulullah Saw tak pernah melewatkan sedetik pun waktu tanpa memikirkan nasib rakyatnya. Kepedulian yang memunculkan kebersahajaan. Pemimpin mulia yang pengikutnya selalu ada sepanjang zaman tersebut memilih menjauhi hidup bermewah-mewahan.
Pernah suatu hari ‘Umar bin Khaththab r.a. menemui Rasulullah Saw di kamar beliau, lalu ‘Umar mendapati beliau tengah berbaring di atas sebuah tikar usang yang pinggirnya telah lapuk. Jejak tikar itu membekas di belikat beliau, sebuah bantal yang keras membekas di bawah kepala beliau, dan jalur kulit samakan membekas di kepala beliau. Di salah satu sudut kamar itu terdapat gandum sekitar satu gantang. Di bawah dinding terdapat qarzh (semacam tumbuhan untuk menyamak kulit).
Mendapati kondisi tersebut air mata ‘Umar bin Khaththab r.a. tak kuasa mengalir.
Rasulullah Saw pun bertanya, “apa yang membuatmu menangis, Ibnu Khaththab?”
Umar menjawab, “Wahai Nabi Allah, bagaimana aku tidak menangis, sedangkan tikar ini membekas di belikat Anda, sedangkan aku tidak melihat apa-apa di lemari Anda? Kisra dan Kaisar duduk di atas tilam dari emas dan kasur dari beludru dan sutera, dan dikelilingi buah-buahan dan sungai-sungai, sementara Anda adalah Nabi dan manusia pilihan Allah!”
Dengan bijak beliau menjawab, “wahai Ibnu Khaththab, kebaikan mereka dipercepat datangnya, dan kebaikan itu pasti terputus. Sementara kita adalah kaum yang kebaikannya ditunda hingga hari akhir. Tidakkah engkau rela jika akhirat untuk kita dan dunia untuk mereka?”
Lalu ‘Umar menjawab, “Aku rela.” (HR. Hakim, Ibnu Hibban dan Ahmad)
Dalam riwayat lain disebutkan: ‘Umar berkata, “wahai Rasulullah, sebaiknya Anda memakai tikar yang lebih lembut dari tikar ini.”
Lalu, Rasulullah Saw menjawab, “apa urusanku dengan dunia? Perumpamaan diriku dengan dunia itu tidak lain seperti orang yang berkendara di suatu hari di musim panas, lalu ia berteduh di bawah sebuah pohon, kemudian ia pergi dan meninggalkannya.” (HR. Tirmidzi)
Keteladanan akhlak mulia seorang pemimpin umat sepanjang zaman, Rasululullah saw, mewujud pula pada sahabatnya Umar bin Khattab. Amanah pada fasilitas yang merupakan hak rakyat terbawa pula sampai rumahnya. Dikisahkan beliau dahulu memiliki unta yang biasa diperas susunya untuk diminum. Suatu hari, seorang pembantu yang kurang dikenalinya datang pada beliau dengan membawa segelas susu.
Setelah meminum sedikit berkatalah Umar radhiyallahu ‘anhu, “Celaka engkau! Darimana kau dapatkan susu ini?”
“Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya anak unta anda lepas dari induknya, kemudian (setelah kembali) anak unta itu pun menyusu kepada induknya. Aku pun memeras susu untukmu dari unta lain yang merupakan harta Allah,” jawab pembantu Umar.
Kemudian Umar radhiyallahu ‘anhu menjawab, “celaka engkau! Engkau memberiku minum dari api neraka” (Riwayat Hasan, diriwayatkan Ibnu Zanjawiyyah di Al-Amwaal dan Ibnu Syabbah di Taariikh Al-Madiinah)
Ada ketakutan berbalut takwa saat memanfaatkan apa yang menjadi milik umat. Tidak mementingkan perut sendiri dan tidak mengabaikan keluhan rakyat. Begitu pula yang dilakukan Umar bin Abdul ‘Aziz cicit dari Umar bin Khattab. Beliau adalah pemimpin yang sangat berhati-hati dalam memanfaatkan harta rakyat.
Dalam Ashr Ad-Daulatain, Dr Ali Muhammad Ash-Shalabi menceritakan bahwa Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz menyukai madu dan senang menjadikannya sebagai campuran makanan. Pada suatu hari dia meminta madu dari keluarganya sedang mereka tidak memiliki madu sedikit pun. Namun beberapa saat kemudian istrinya membawa sedikit madu kepada Umar. Umar pun bertanya, “dari mana kamu mendapatkan madu ini?”
Istrinya memberitahu bahwa dia mengutus pelayan dengan membawa dua dinar dengan naik hewan yang dikhususkan untuk pengiriman surat (pos). Kemudian dia datang dengan membawa madu.
Lantas, umar meminta bejana berisi madu itu dibawa kepadanya. Dia mengambilnya dan menjualnya. Dia mengembalikan modal awal (dua dinar) kepada keluarganya dan memasukkan sisanya ke baitul mal. Lalu Umar berkata, “kalian menggunakan hewan milik kaum muslimin untuk keinginan Umar.”
Betapa mulianya pemimpin yang menempatkan empati pada rakyat di atas segalanya seraya bersikap tegas dalam menerapkan aturan Allah Swt. Karena begitulah semestinya seorang pemimpin, kelak di akhirat tak akan luput dimintai pertanggungjawaban terhadap ihwal kepemimpinannya.
Maka tak salah jika rakyat saat ini mempertanyakan perihal gaji plus bonus direksi BPJS yang mencapai nominal 200 juta per bulan. Ketetapan ini tentu saja menuai kontroversi. Saat rakyat harus menerima kado pahit kenaikan iuran BPJS yang mencapai dua kali lipat, para direksinya justru berpesta dengan kenaikan gajinya. Hal ini seakan menari-nari di atas penderitaan rakyat. Kenaikan iuran BPJS di tengah-tengah kenaikan bahan pokok dan tarif listrik seakan menabur garam di atas luka. Kenaikan ini bukanlah suatu prestasi direksi BPJS, bukan pula bentuk empati pemimpin pada rakyat.
Merujuk pada Islam pembiayaan kesehatan dibebankan pada negara. Negara tidak boleh mengalihkan tanggung jawab dengan meminta iuran dari rakyat. Hanya dengan kembali pada Islam kita akan mendapat pemimpin yang amanah dan penuh empati. Wallahua’lam. [nb]