Oleh: Fanti Setiawati
#MuslimahTimes — Manusia mengalami lompatan luar biasa dalam bidang teknologi. Seiring dengan revolusi industri 4.0, kini berkembang e-money, e-commerce, e-tol, dan lain sebagainya.
Dahulu ketika seseorang ingin mencurahkan isi hatinya, (biasanya) seseorang akan mengambil sebuah buku harian untuk mencatatnya. Buku itu juga kita kenal dengan buku diary. Dewasa ini, ada perubahan yang amat besar, walau tidak semua. Jika ingin mencurahkan isi hatinya, orang kebanyakan tinggal ambil android atau laptop. Kemudian ia akan membuka sebuah situs jejaring dunia maya yang begitu banyak jenisnya.
Perbaharui status disana, setidak penting apapun, harus ditulis agar orang tahu, menyukai atau berkomentar atas status tersebut. Lucu ya??? Maka dari itu, generasi saat ini saya sebut generasi e-diary. E-diary berasal dari kata electronic diary. Diary yang bisa digunakan hanya dengan alat elektronik. Namun, e-diary ini bebas dilihat oleh siapa saja. Tidak seperti dulu, seorang penulis diary cenderung menyembunyikan tulisan-tulisan dalam buku diary-nya.
Dalam perkembangannya, situs-situs jejaring sosial memudahkan mencari teman jauh dan lama tak bertemu. Serta memberikan pilihan pada khalayak, ingin berbagi dan bercerita apa melalui fasilitas yang disediakan situs-situs tersebut. Ingin berbagi ilmu, saling menasehati, atau sekedar menceritakan hal-hal sepele, bahkan mengumbar aib sendiri.
Sangat disayangkan, jika kemajuan teknologi yang begitu mutahir hanya digunakan untuk mengumbar masalah pribadi. Atau sekedar eksis secara fisik. Tidak jarang, curhat di e-diary justru mengundang berbagai penafsiran dari para pembacanya. Hal ini berujung pada prasangka buruk dari saudara yang lain, yang sejatinya dilarang oleh Islam.
Bagaimana mungkin galau karena suatu masalah, yang dilakukan justru update status? Ini ibarat seorang anak kecil, yang “ngadu” saat ada masalah. Padahal, ada masalah yang sebenarnya jauh lebih besar. Yaitu masalah umat. Apa saja masalah umat? Masalah umat terbesar adalah aturan paripurna dari Dzat Yang Maha Sempurna justru dicampakkan dari kehidupan umat itu sendiri. Akibatnya, terjadi kekacauan luar biasa di tubuh umat, yang berimbas juga pada kehidupan pribadi kaum muslimin. Jadi, masalah pribadi merupakan bagian dari masalah utama umat. Sehingga seharusnya menjadi kegalauan adalah masalah utamanya. Bukannya masalah pribadi tidak penting, hanya saja jangan menjadikan kita galau. Kita harus segera menyelesaikan masalah pribadi, untuk selanjutnya bergerak menyelesaikan masalah umat.
Mengutip nasihat pakar sejarah Islam, Ust. Budi Ashari, bahwa Sholahuddin Al Ayubbi semasa hidupnya galau ingin membebaskan Palestina. Muhammad Al Fatih yang begitu harum sejarahnya, ternyata galau memikirkan cara menembus tembok Konstantinopel. Kegalauan itu menjadi pendorong energi, hingga muncul energi berlipat ganda yang menghasilkan gerakan untuk menyelesaikan masalah yang menjadi sumber kegalauan.
Terlebih jika berbicara kebangkitan peradaban. Tidak mungkin kebangkitan dipanggul oleh orang yang hanya menggalaukan masalah pribadi. Peradaban Islam hanya akan dipanggul oleh orang-orang yang bervisi besar, mampu menyelasikan masalah pribadi, dan menggalaukan masalah utama umat ini.
Bagi seseorang yang bertekad menjadi seorang pengemban dakwah, seharusnya benar-benar menyadari masalah utama umat ini. Kesadaran itu harus menjadi suatu kegalauan yang mampu menggerakkan pemikiran dan perbuatan, hingga mengerahkan daya upaya untuk memutus rantai masalah utama.
Allah berfirmandalam Al-Qur’an “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari Jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (An Nahl : 125)
Rasulullah SAW juga bersabda, “Hendaklah kalian benar-benar menyuruh perbuatan yang maruf dan benar-benar melarang perbuatan yang mungkar, atau (bila tidak kalian lakukan) Allah akan menjadikan orang-orang jahat di antara kalian berkuasa atas kalian semua (yang akibatnya banyak sekali kejahatan dan kemungkaran diperbuatnya) lalu orang-orang yang baik di antara kalian berdoa (agar kejahatan dan kemungkaran itu hilang) maka doa mereka (orang-orang baik itu) tidak diterima. (HR Al Bazzar dan At Thabrani)
Juga hadist yang berbunyi, “Siapa saja bangun di pagi hari dan perhatiannya kepada selain Alah, maka ia tidak berurusan Allah. Dan barangsiapa yang bangun dipagiharinya dan tidak memikirkan urusan kaum muslimin, maka ia tidak termasuk golongan mereka (kaum muslimin)” (HR. Hakim dab al-Khatib dari Hudzaifah ra)
Seorang sahabat juga pernah mengingatkan, “Bila ada bagian dunia yang Allah titipkan padamu maka jadikanlah ia bagian dakwah. Kita hidup hanya sementara dan tak lama.” Maka, kita harus bijak menggunakan media sosial. Jangan hanya menjadikannya e-diary untuk mengumbar aib sendiri. Pilihan tujuan dalam menggunakan media sosial juga nantinya akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah. Sehingga, kita harus menjadikan media sosial sebagai investasi amal menuju perjumpaan dengan Sang Maha Penggenggam jiwa ini.
Jika ada orang yang mati dalam keadaan sibuk memikirkan diri sendiri, maka ia mati kerdil. Yang mati besar adalah orang yang mati dalam keadaan memikirkan umatnya.
Wallahu’alam bi shawab.[]