Oleh : NS. Rahayu (anggota komununitas Setajam Pena)
MuslimahTimes– Potret kemiskinan kian nyata saat ini. Hampir merata disemua tempat dan wilayah, dapat dilihat tanpa kacamata apapun. Hal ini disebabkan makin tingginya masyarakat yang tidak dapat menikmati kehidupan aman dan nyaman mereka yaitu terpenuhinya kebutuhan pokok mereka yaitu sandang, pangan, papan. Disebabkan kemiskinan mereka.
Diakui atau tidak kemiskinan menjadi problematika di semua wilayah Indonesia. Termasuk kota-kota kabupaten yang masih belum menemukan solusi tuntas. Sebagaimana yang diberitakan oleh SuaraJatim.id : adanya dua orang kakak adik warga Dusun Karang Ploso, Desa Klampok Kecamatan Benjeng, Kabupaten Gresik yang tinggal bersama di rumah reyot.
Rumah berdinding papan kayu tanpa plafon dan berlantai plesteran semen menjadi tempat tinggal Siti (90) dan Simah (83). Hanya ada satu dipan tua, sepasang kursi usang serta dua lemari tua dari kayu mengisi ruang tamu, sekaligus ruang tidur tempat tinggal dua nenek bersaudara yang mengalami kebutaan sejak muda. (Minggu, 3/11/2019)
Selain sudah “sepuh” (tua) keduanya memiliki kekurangan fisik (buta) sehingga tidak dapat pergi jauh, mereka saling menopang satu dengan yang lainnya. Adapun harta yang mereka miliki adalah tanah dan rumah reyot yang mereka tempati. Karena tanah kebun disekitarnya telah dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Hingga kini para tetanggalah yang mengurusi kebutuhan makan, listrik dll. Meski acapkali mereka juga memasak sendiri.
Melihat potret kemiskinan seperti ini seperti sudah lazim terjadi, menyebar dan terus bertambah setiap tahunnya, namun yang terekspos media hanya sebagian kecil saja.
Namun Pemerintah berulang menampik dan menyatakan sikap optimis bahwa ekonomi Indonesia makin membaik. Dan mengklaim angka kemiskinan justru menurun. Benarkah demikian?
Ilusi Kesejahteraan
Secara matematika memang benar garis kemiskinan terus menurun jika penentu garis kemiskinan adalah data statistik dengan pengeluaran di bawah Rp 401.220 perkapita perbulan (sekitar Rp 13 ribu perhari). Artinya seorang kepala keluarga berpenghasilan tersebut tergolong keluarga sejahtera.
Standart ini dalam kehidupan nyata sehari-hari tidak bisa menjadi tolok ukur kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Karena dengan uang Rp. 401.220 tidak akan mencukupi kebutuhan keluarga di tengah kehidupan saat ini. Jangankan kebutuhan keluarga untuk kebutuhan satu orang saja tidak cukup.
Coba kita mau berhitung. Untuk makan per orang 1 x hanya dengan minum air putih paling murah Rp 4.000, kalau dihitung 3 x makan sudah habis Rp 12.000 x 30 hari = Rp 360.000. Sisanya untuk transport. Bagaimana dengan keluarga yang menjadi tanggungannya, sejahterakah? Tentu semua sepakat menjawab tidak.
Disisi lain manusia hidup tak cuma butuh makan. Kita juga butuh pakaian, tempat tinggal layak, air dan listrik yang berbayar, biaya pendidikan, biaya kesehatan yang kini naik 100%, biaya transportasi, dll.
Dengan memerinci biaya hidup di sistem kapitalis ini dengan standart pengeluaran Rp 401.220 tergolong sejahtera, maka otomatis garis kemiskinan menurun namun fakta yang terjadi justru membuat masyarakat merasakan jauhnya dari kesejahteraan yang sesungguhnya.
Kapitalisme Melahirkan Kemiskinan
Saat ini kemiskinan yang menimpa umat lebih merupakan kemiskinan sistemik, yakni kemiskinan yang lahir karena diterapkannya sistem kapitalis liberal oleh negara. Kapitalis yang sejak lahirnya sudah cacat ini selalu berfikir untung dan rugi tanpa mempedulikan urusan kebutuhan penting bagi rakyat.
Kebutuhan pokok individu masyarakat harusnya dijamin pemenuhannya secara perindividu secara sempurna , bahkan juga untuk memenuhi kebutuhan sekundernya oleh Negara, sebagai bentuk pengurusan terhadap rakyat. Namun saat ini justru untuk memenuhi kebutuhan pokok saja rakyat sudah kebingungan. Cari pekerjaan layak susah, kebutuhan melejit, BPJS naik 100%, dan kemungkinan akan diikuti kenaikan yang lainnya juga. Hal itu tentu akan memicu kemiskinan makin bertambah.
Bagaimana untuk memenuhi kebutuhan rakyat? Tentu saja dari kekayaan-kekayaan dan SDA (sumber daya alam) yang dimiliki oleh Negara. Dengan pengelolaan yang benar dan tepat sasaran maka hasil kekayaan dan SDA ini seharusnya dapat untuk memenuhi kebutuhan rakyat secara merata.
Namun saat ini sistem Kapitalis yang sifat dasarnya memberikan kebebasan kepemilikan bagi para pemilik modal dalam bentuk-bentuk investasi dsb, justru telah menguasai kekayaan dan SDA milik rakyat. Sehingga dengan mudahnya SDA (sumber daya alam) dan kekayaan lainnya diberikan kepada mereka ( asing, aseng maupun pengusaha lokal).
Akibatnya, jutaan rakyat terhalang untuk dapat menikmati hak mereka atas hasil sumber-sumber kekayaan yang dimiliki Negara. Hasil kekayaan yang seharusnya dimiliki dan dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat justru dinikmati oleh para kapitalis.
Negara yang seharusnya mengelola kekayaan dan SDA (sumber daya alam) yang dimiliki untuk kepentingan rakyat bersama, justru membuka kran bagi para kapitalis berupa investasi. Sehingga pengeloaannya beralih tangan ke asing dan aseng. Dan bisa ditebak kemana arah pundi-pundi keuntungnnya, jelas ke saku kapitalis.
Di sisi lain rakyat seolah dilepas dan dibiarkan untuk hidup mandiri. Negara seakan berlepas tangan dari menjamin kebutuhan hidup rakyatnya yang menjadi tanggungjawabnya. Dan nampak lebih pro kepada para kapitalis dibandingkan kepada rakyatnya.
Islam Menyejahterakan Rakyat
Islam adalah agama dan sistem (aturan) yang menawarkan solusi yang tepat sasaran dan menjadi maslahat dalam kehidupan. Karena aturan Islam datangnya dari Allah SWT. Sistem Islam memberikan aturan yang jelas atas setiap permasalahan yang timbul saat ini, termasuk kemiskinan.
Dalam Islam, kemiskinan tidak dinilai dari besar pengeluaran atau pendapatan, tetapi dari pemenuhan kebutuhan asasiyah (pokok) secara perorangan. Kebutuhan pokok itu mencakup sandang, pangan, perumahan, kesehatan dan pendidikan secara layak.
Dan pemenuhan kebutuhan pokok ini menjadi tanggungjawab Negara. Allah, SWT memerintahkan penguasa untuk bertanggungjawab atas seluruh urusan rakyatnya, termasuk tentu menjamin kebutuhan pokok mereka.
Rasulullah saw. bersabda:
Pemimpin atas manusia adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus (HR al-Bukhari, Muslim dan Ahmad).
Sehingga Islam juga akan mengurusi ketika ada orang yang sudah tua dimana mereka sudah tidak memiliki keluarga yang dapat diminta bertanggungjawab atas nafkah mereka oleh negara, maka negaralah yang akan mengambil alih peran dalam mengurusi kebutuhannya dari baitul maal.
Contoh yang lainnya, Di Madinah, sebagai kepala negara, Rasulullah saw. menyediakan lapangan kerja bagi rakyatnya dan menjamin kehidupan mereka. Pada zaman beliau ada ahlus-shuffah. Mereka adalah para sahabat tergolong dhuafa. Mereka diizinkan tinggal di Masjid Nabawi dengan mendapatkan santunan dari kas negara.
Saat menjadi khalifah, Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab biasa memberikan insentif untuk setiap bayi yang lahir demi menjaga dan melindungi anak-anak. Beliau juga membangun “rumah tepung” (dar ad-daqiq) bagi para musafir yang kehabisan bekal.
Melihat fakta yang berbanding terbalik dengan kapitalis, kita memang harus banyak belajar dan membaca sejarah bagaimana ketika sistem Islam memimpin dunia selama kurun waktu yang lama yaitu 1.300 tahun. Akan didapati Kemaslahatan dan kesejahteraan bagi warga negaranya baik muslim dan non muslim tidak dapat ditampik oleh dunia.
Dan banyak peneliti dan penulis barat (non muslim) yang juga mengakui akan hal ini. Sebagai contoh adalah apa yang dikatakan Will Durant seorang sejarawan barat. Dalam buku yang dia tulis bersama Istrinya Ariel Durant, Story of Civilization, dia mengatakan, “Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para Khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapapun yang memerlukan dan memberikan kesejahteraan selama beradab-abad dalam wilayah yang sangat luas. Fenomena seperti itu belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zaman mereka”.
Dalam sistem Islam penguasa tidak boleh abai terhadap urusan rakyatnya sekecil apapun itu, karena itu adalah amanah berat dan tanggungjawab yang akan diperhitungkan di hari akhir. Wallahu’alam bishawab.