Oleh : Riskiyah Agustina,STP
(Ibu Peduli Generasi)
Muslimahtimes– Dilansir dari koran Tempo, 2 Desember 2019. Sriwijaya Air resmi cerai dengan Garuda Indonesia yang setahun ini bergandengan. Setelah putus kerja, Sriwijaya Air banyak menghadapi sejumlah masalah. Maskapai ini mesti mengembalikan uang tiket penumpang, harus beroperasi dengan hanya sepertiga armada. Tercatat ada 30 armada Sriwijaya Air yang biasa beroperasi di rute-rute gemuk namun sekarang harus dipangkas. Misalnya penerbangan rute gemuk penumpang Jakarta-Bangka Belitung yang biasanya 7 kali dalam sehari menjadi 3 kali dalam sehari, rute Jakarta-Bali yang ramai penumpang pun juga sama.
Senior Manager Operation Support dan Engineering Sriwijaya Air, Yusri Supii mengatakan ada tiga beban yang mesti diselesaikan oleh maskapainya pasca cerai dengan Garuda Indonesia yaitu keterbatasan armada mencari rekanan untuk perawatan pesawat (line maintenance), groundhandling dan catering. Yang sebelumnya sudah dibackup oleh Garuda Indonesia.
Namun secara mengejutkan Sriwijaya Air menerima instruksi mendadak dari Garuda, yakni Garuda hanya akan memberikan pelayanan kepada Sriwijaya Air apabila dilakukan pembayaran secara cash di muka dan tidak akan melanjutkan kerjasama ketika itu tidak dipenuhi. Berkenaan dengan hal itu, Yusril Ihza Mahendra kuasa hukum dan pemegang saham Sriwijaya Air pun memberi pembelaan kepada publik. Menurutnya, setelah sempat rujuk November lalu, pada Desember ini sriwijaya akhirnya resmi menolak perubahan sistem pembayaran yang dirasa tidak fair dan menganggap Garuda Indonesia sengaja ingin melumpuhkan Sriwijaya.
Imbasnya, tak hanya masalah refund uang tiket penumpang dan pemangkasan rute-rute gemuk yang selama ini dilayani oleh Sriwijaya tapi juga sisi keamanan dan kenyamanan para armadanya. Tak pelak kondisi ini akan berpengaruh pada seluruh operasional Sriwijaya di masa padat penumpang menjelang libur panjang akhir tahun ini.
Di sisi lain, Sriwijaya sudah terkenal sebagai maskapai dengan harga tiket yang ramah di kantong dan track record layanan yang bagus bagi kalangan masyarakat menengah dibanding maskapai lainnya. Lalu bagaimana nasib Sriwijaya ketika semua beban pengelolaan operasional harus ditanggung sendiri. Mengingat mahalnya biaya operasional yang tak sebanding dengan pendapatan. Akankan tiket ramah dikantong masih tersedia? Ataukah akan berakhir seperti maskapai sebelumnya yang gulung tikar?
Inilah yang menjadi polemik penerbangan dalam negeri. Setelah tutupnya PT. Dirgantara Indonesia yang dibangun untuk melayani transportasi yang merakyat ternyata tak bertahan lama karena perkembangan teknologi yang selalu dikapitalisasi.
Padahal transportasi merupakan urat nadi kehidupan, maka seharusnya dikelola dan dipantau ketat oleh negara terlebih wilayah geografis yang sulit dijangkau akses darat dan air seperti yang bergunung-gunung dan bertebing-tebing semacam Papua. Negara memiliki kewajiban untuk mengatur sistem transportasi baik dari infrastruktur maupun dari kondisi armada yang tersedia bukan hanya mengeluarkan kebijakan ketika ada permasalahan di tengah-tengah masyarakat.
Kondisi ini sangat berbeda ketika diterapkannya aturan Islam dalam semua aspek kehidupan, termasuk didalamnya masalah transportasi. Negara (Khilafah) akan menjamin kebutuhan warga negaranya dengan transportasi yang nyaman, murah, aman dan berkualitas tidak berlandaskan pada materi/keuntungan semata (profit oriented). Khilafah wajib membangun bandara di lokasi-lokasi yang sulit diakses. Membangun industri berat penerbangan guna mensuplay kebutuhan pesawat ke seluruh wilayahnya. Karena permasalahan transportasi adalah kewajiban yang harus disediakan oleh negara (Khilafah) kepada warganya sebagai bentuk ri’ayah nya yang akan membawa pada terwujudnya Islam rahmatan lil’alamiin.