Oleh Henyk Nur Widaryanti
#MuslimahTimes — Isteri sholihah itu dambaan setiap insan. Pandangannya menyejukkan. Kata-katanya menenangkan. Senyumnya membahagiakan. Isteri sholihah itu kehormatan bagi keluarganya. Yang ikhlas menjaga anak-anak yang diamanahkan kepadanya. Ia penurut, penyayang bahkan penenang bagi suaminya.
Laki-laki mana yang tak bermimpi memiliki istri yang sholihah. Bahkan seplay boy-play boy seorang lelaki, ia tetap mendambakan isteri yang sholihah. Sebagaimana sebuah quote mengatakan “Di balik laki-laki tangguh selalu ada wanita yang hebat”. Wanita itulah para isteri, yang dengan sigap menguatkan dan memberikan ketenangan pada suami.
Menjadi seorang isteri adalah dambaan setiap wanita. Apalagi seorang isteri sholihah. Yang merupakan perhiasan dunia. Bahkan para bidadaripun akan cemburu karenanya. Wanita mana yang tak tergiur dengan sebutan ini?
Menjadi seorang isteri yang sholihah tak cukup hanya bisa 3M, yaitu Masak, Macak (berdandan) dan Manak (melahirkan). Ia harus memiliki kepribadian/akhlak, psikologi, karakter yang baik. Yang nantinya semua itu disiapkan untuk mendidik anak-anaknya.
Saat ini Kementerian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) merencanakan adanya progam bimbingan pra nikah. Rencananya tahun 2020 nanti akan diberlakukan sertifikasi pra nikah. Yaitu, pasangan yang ingin menikah hendaknya mengikuti pelatihan pernikahan. Sehingga, harapannya mereka mengerti bagaimana seluk beluk pernikahan.
Alasan utama dibentuknya program ini adalah banyaknya penikahan di Indonesia (2 juta per tahun) tetapi diikuti oleh naiknya perceraian (365 ribu lebih kasus). Bahkan detik.com menyampaikan di tahun 2018 dari web Mahkamah Agung (MA) perceraian sebanyak 419.268 pasangan (3/4/19). Dimana inisiatif perceraian paling banyak dari pihak perempuan yaitu 307.778 perempuan.
Masalah yang paling banyak diadukan adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), ekonomi, hilangnya rasa kecocokan, hingga perselingkuhan. Melihat tren perceraian ini, maka dianggaplah perlu untuk memberikan bimbingan pra nikah. Agar tak akan ada isteri-isteri yang mudah menggugat cerai suaminya.
Menurut Alissa Wahid, anggota Tim Pedoman Bimbingan Perkawinan Calon Pengantin Kementerian Agama (Binwin Catin Kemenag) (20/11/19), 4 dasar pembelajaran dalam bimbingan ini adalah kesadaran diri dengan kebutuhan dan karakter diri sendiri, sadar kebutuhan dan karakter pasangan, mampu mengelola dirinya sendiri, dan mengelola hubungannya.
Adapun materi tambahan bimbingan yang dilansir oleh kompas.com adalah soal psikologi keluarga, konsep berkeluarga dari kacamata agama, kesehatan keluarga dan kesehatan reproduksi, serta keterampilan komunikasi mengelola konflik, mengelola kebutuhan keuangan keluarga, dan persiapan mereka menjadi orang tua.
Menyiapkan Wanita Siap Berkeluarga
Melihat tren perceraian yang tinggi, apalagi penyandang gugatan terbanyak adalah kaum hawa membuat miris. Bagaimana tidak? Wanita yang seharusnya memiliki peran luar biasa, justru malah menjadi sebab nomor satu retaknya rumah tangga. Oleh karena itu diperlukan tindakan antisipasi khusus bagi kaum wanita. Agar tingkat perceraian tidak tambah menjulang.
Akankah metode bimbingan pra nikah ini mampu menekan perceraian dan menjadikan para isteri menjadi sholihah? Belum tentu, gelar wanita sholihah tak cukup dipelajari dalam sehari dua hari. Namun, butuh waktu panjang dalam merealisasikannya.
Mulai dari pembentukan keimanan sejak dini. Mengenalkan kewajiban-kewajiban wanita terhadap aturan Islam. Menyiapkan wanita secara psikologis dan ketrampilan (memasak, mengurus rumah) untuk berkeluarga. Mendudukkan kewajiban isteri sebagai ibu dan pengatur rumah tangga.
Semua itu perlu dilakukan sejak kecil. Dengan lingkungan yang mendukung. Orang tua yang sigap mendidik anak. Lingkungan yang melindungi anak dari pergaulan bebas. Hingga negara yang menjamin seluruh kebutuhan yang diperlukan.
Sehingga kita memahami, bahwa tidak cukup berwajah cantik, kaya, dan dari keturunan orang berada untuk bisa membentuk keluarga. Karena yang terpenting adalah karakternya, yang dibentuk sejak kecil. Yaitu kepribadiannya (pola fikir dan pola sikapnya). Yang akan menjadikan kaum hawa menjadi wanita sholihah.
“Wanita biasanya dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena kedudukannya, karena parasnya dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih wanita yang bagus agamanya (keislamannya). Kalau tidak demikian, niscaya kamu akan merugi.” (HR. Bukhari-Muslim)
Peran Negara Membentuk Kepribadian Wanita
Secara langsung dan tidak langsung negara turut andil dalam pembentukan kepribadian wanita. Setiap kebijakannya menyangkut wanita, akan mempengaruhi pola fikir dan sikapnya.
Misalnya, dengan sistem pendidikan yang diadopsi saat ini yang lebih mengedepankan aspek Revolusi Industri (RI. 4.0) daripada aspek agama akan meminimkan pengetahuan anak tentang agama. Dengan pembentukan akidah (dasar keyakinan) yang kurang, menyebabkan anak-anak tak memahami agamanya dengan benar.
Mudahnya akses internet, jika tidak dibarengi kuatnya kemampuan mengetahui benar dan salah akan menyebabkan mereka mudah terpengaruh dengan hal-hal negatif. Kecanduan film-film tak mendidik, gaya hidup fun, food, fashion menjadi point sentral dalam hidupnya.
Kurangnya pemahaman interaksi laki-laki dan perempuan yang benar juga menyebabkan mereka salah jalan. Bisa terjerumus dalam pergaulan bebas, seperti sex bebas, mabuk, narkoba, bahkan rela menjual diri demi materi.
Ranah lapangan kerja pun berpengaruh bagi kesadaran peran wanita. Dengan banyaknya lapangan kerja wanita dari pada pria membuat para wanita banyak yang melalaikan kewajibannya. Setelah menikah bukan mendidik anak, justru lebih fokus bekerja di luar rumah. Masalah anak diserahkan pada suami atau bahkan orang tua. Kondisi ini mau tidak mau harus dialami. Pasalnya, kebutuhan keluarga tak jauh dari uang. Jika kepala keluarga tak mendapat pekerjaan cukup, walhasil isterilah yang harus turun tangan.
Kalau sudah begini, gelar wanita sholihah pun tak dapat di tangan. Maka, selayaknya negara tak cukup hanya menfalisitasi para pemuda dengan bimbingan pra nikah. Tapi perlu menciptakan pendidikan yang proporsional antara keimanan, ketrampilan dan teknologi. Khususnya bagi para wanita, ada kurikulum khusus untuk meluruskan tanggung jawab wanita sebagai ibu dan pengatur rumah tangga.
Selain itu, negara perlu menambah lapangan kerja bagi para pria. Dan mengatur lapangan kerja bagi wanita. Agar para pria mampu menjalankan tugasnya mencukupi nafkah keluarga. Dan para wanita tidak melalaikan perannya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga.
Wallahu’alam bishowab.