Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
(Penulis Muslimah Sidoarjo)
#MuslimahTimes — Persyaratan ujian seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) kembali menimbulkan pertanyaan, khususnya terkait persyaratan khusus dalam penerimaan Kementerian Perdagangan dan Kejaksaan Agung. Keduanya menuangkan syarat pelamar tak memiliki “kelainan orientasi seks dan tidak kelainan perilaku (transgender)”.
Direktur LBH Masyarakat Ricky Gunawan menilai terdapat kesalahan berpikir yang mendalam terkait persyaratan rekrutmen CPNS tersebut. Selain itu, terdapat kebencian serta ketakutan luar biasa terhadap homoseksualitas atau homophobia. Kedua hal tesebut, kata Ricky, “Dalam perspektif kesehatan dan psikologi, tidak ada persoalan dengan ‘kelainan’ orientasi seksual. Sebab, orientasi seksual yang berbeda, termasuk yang berbeda dari yang mayoritas, dilihat sebagai keberagaman seksualitas, dan hal itu adalah sesuatu yang biasa saja dan ada dalam kehidupan manusia,” ungkap Ricky kepada reporter Tirto pada Kamis (14/11/2019).
Ricky pun menilai bahwa negara menolak perkembangan ilmu pengetahuan. Asosiasi Psikiatri Amerika Serikat telah menemukan sejumlah bukti ilmiah bahwa ada komponen biologis yang memengaruhi orientasi seksual, seperti interaksi genetik dan hormon. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun telah mencabut homoseksualitas dari daftar gangguan jiwa dalam International Classification of Diseases (ICD) edisi 10. Selain itu, dalam Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa edisi III (PPDGJ III) yang dirilis Kementerian Kesehatan pada 1993, telah menghapus status homoseksualitas sebagai gangguan jiwa. mereka.
Lanjut Ricky,” Menilai kapasitas seseorang hendaknya didasarkan pada kompetensi, bukan pada orientasi seksual atau identitas gender, sesuatu yang melekat pada identitas diri manusia”. Pendapat senada, Ryan Korbarri Ketua Arus Pelangi juga mengatakan pelarangan Transgender merupakan Diskriminasi. Ia berpendapat,”LGBT merupakan warga negara indonesia yang mempunyai hak yang sama sehingga persyaratan tersebut sama dengan menutup akses pekerjaan bagi warga negara indonesia untuk bersama-sama membangun negara ini,” tegas Ryan saat dihubungi reporter Tirto pada Kamis (14/11/2019).
Lanjutnya, “Padahal dalam UUD 1945 pasal 27 ayat (2) jelas tertulis, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan layak bagi kemanusiaan”. Tak hanya itu, hak atas pekerjaan pun merupakan hak dasar yang telah dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 38 ayat (1) sampai ayat (4) yang mengatur tentang hak-hak semua manusia atas pekerjaan”, (tirto.id, 16/11/2019).
Beragamnya sanggahan dari berbagai pihak terkait aturan penerimaan CPNS menunjukkan masyarakat sekarang telah kehilangan makna kebenaran yang hakiki. Setiap amal tidak disandarkan pada standar yang benar. Maka wajar, meskipun Kejagung memiliki landasan yuridis utk melarang CPNS dari kalangan LGBT. Namun sikap tegas ini ditentang oleh beragam partai –bahkan pimpinan partai Islam.
Konglomerasi media liberal juga turut mengecam keputusan ini dan menganggap regulasi yang ada diskriminatif, tidak bertransformasi dengan perubahan tipologi masyarakat dan lain-lain. Inilah kerusakan yang terjadi di sistem kapitalistik. Ketika sekulerisme menjadi pilihan dan pandangan hidup. mengakui adanya Tuhan namun aturan hidup enggan mengambil dari Tuhan yang dia percaya. Akibatnya moralitas diabaikan, agama dibuang dari praktik kehidupan dan kepentingan bisnis dimenangkan dengan berbalut slogan kesetaraan dan HAM.
HAM, jelas-jelas merupakan pemikiran yang menjijikan. Sebab secara hakekat tidak memanusiakan manusia. Semua diukur dari bagaimana manusia menilai, padahal manusia cenderung lemah dan tak tahu maslahat bagi dirinya sendiri.
Memang benar, seseorang bekerja bukan dinilai dari penampilan semata, namun juga dari daya kompetensinya. Namun logikanya, jika identitas dirinya saja ia mengalami persoalan, maka apakah kompetensinya masih bisa dipertanggung jawabkan?
Mengingat hari ini makin maraknya orientasi seksual yang salah bukan semata-mata karena kesalahan pelaku, namun juga karena diamnya masyarakat untuk nasehat menasehati dan terlebih didukung oleh undang-undang yang membolehkan pilihan yang salah itu. Ada banyak pihak yang membenarkan perilaku yang salah karena terkandung banyak kepentingan di dalamnya. Bagi siapa? jelas merekalah para kapitalis.
Maka dalam Islam , syariat Allah akan menuntun negara menjadi penjaga moralitas, menerapkan aturan islam sebagai pijakan untuk ukuran baik-buruk yang harus diadopsi oleh semua pihak dan pemberlakuannya secara sempurna hingga mampu menjamin terwujudnya persamaan hak dan keadilan. Negara akan membuka lapangan pekerjaan sesuai bagi siapa saja tanpa pandang bulu. Namun disisi lain juga akan mengadakan edukasi agar masyarakat benar-benar menjadikan bekerja sebagai ibadah. Dengan meluruskan niat dan tidak mengadakan pelanggaran syariat.
Bekerja jika dalam pandangan Islam bukan saja dalam rangka memenuhi kewajiban menafkahi keluarga saja. Namun bekerja juga ibadah, amal jariyah dan penerapan ilmu yang bermanfaat. Maka butuh pribadi yang sadar tentang hal itu. Sadar bahwa segala perbuatannya akan dihisab Allah, sebab bekerja ada pada ranah pilihan manusia, sedangkan menjadi LGBT adalah penentangan terhadap qada dan qhadarNya Allah SWT.
Bekerja adalah juga membangun manusia seutuhnya, sebab merekalah tulang punggung peradaban sebuah negara. Maju dan tidaknya sangat tergantung dari kualitas manusianya. Maka apapun yang menyimpang dari syariat harus segera dihapuskan. Agar bekerja mencapai hasil maksimal yaitu kesejahteraan dunia akhirat.
Dan selama masih mempertahankan sekulerisme, otomatis masih mempertahankan pula konsep yang salah tentang aturan hidup. Hanya Islam yang mampu mengangkat seseorang dari pemikiran yang rendah menuju pemikiran yang tinggi.
Wallahu a’ lam biashowab.