Oleh. Nur Istiqomah
Muslimahtimes– Dua puluh ribu ton cadangan beras pemerintah (CBP) yang dikelola Perum Bulog terpaksa dimusnahkan karena mengalami penurunan mutu atau disposal stock. Direktur Operasional dan Pelayanan Publik Bulog Tri Wahyudi Saleh mengatakan, nilai beras disposal itu mencapai Rp160 miliar dengan asumsi harga rata-rata pembelian di tingkat petani sebesar RP8.000 per kilogran.
Dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) 38 Tahun 2018, CBP memang dapat dibuang jika telah melampaui batas waktu simpan minimum empat bulan atau berpotensi mengalami penurunan mutu.
Saat ini, 100 ribu dari 2,3 juta ton beras yang tersimpan di gudang Bulog berusia di atas 4 bulan. Bahkan, menurut Tri, 20 ribu ton beras memiliki usia simpan di atas 1 tahun dan mau tidak mau harus dimusnahkan. Meski demikian, disposal itu belum bisa dieskeskusi karena tak tersedianya anggaran. (Tirto.id)
Beberapa pihak memduga adanya kelebihan stok beras yang terdapat di gudang bulog dikarenakan perbedaan data beras yang ada di pemerintah yakni menteri pertanian dengan data yang ada di pihak bulog. Sehingga hal ini juga yang menjadi salah satu yang mempengaruhi kebijakan impor terhadap beras.
Direktur Utama Bulog, Budi Waseso mengatakan, pada Mei 2019 lalu. Dari 1,8 juta ton beras yang diimpor Bulog tahun 2018, hanya 150 ribu ton yang terserap untuk menjaga stabilitas harga.
Menteri Perdagangan Enggartiaso Lukita sempat berdalih bahwa keputusan impor demi antisipasi kenaikan harga beras. Pemerintah kala itu menduga stok yang ada kurang memenuhi permintaan pasar. Makanya, rapat koordinasi terbatas di tingkat Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian memutuskan kuota impor ditambah. (cnnindonesia.com)
Polemik impor beras dan adanya kelebihan stok beras karena “kadaluarsa” di dalam gudang bulog sungguh membuat masyarakat bertanya-tanya. Mengapa justru dilakukan impor jika pada akhirnya kelebihan cadangan beras tidak digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Di sisi lain masyarakat harus berjuang menghadapi kenaikan harga beras.
Sedang hasil riset Global Hunger Index (GHI) yang dikeluarkan oleh Concern Worldwide dan Welthungerhilfe baru-baru ini melaporkan meskipun sedikit membaik, namun indeks kelaparan Indonesia berada dalam kategori serius dengan skor 20,1 (Warta Ekonomi).
Tentu sangat disayangkan ketika adanya potensi kelaparan di dalam negeri, di satu sisi justru banyak kelebihan beras yang akan dimusnahkan. Hal ini menunjukkan ada yang salah dalam tata kelola pangan yang ada di negeri ini.
Sesungguhnya masalah ketahanan pangan tidak hanya dilihat dari tingkat produksi dan ketersediaannya di tataran penjual saja tetapi juga dilihat hingga sampainya pangan ke tataran rumah tangga. Sekalipun beras digudang bulog melimpah ruah nyatanya di tataran rumah tangga, beras masih menjadi beban yang harus dipikirkan untuk dipenuhi masyarakat. Mengingat beras adalah makanan pokok sehari-hari di negeri ini.
Sesungguhnya ketahanan pangan tidak akan dicapai jika paradigma neoliberal masih bercokol dinegeri ini karena neoliberalisme meminimalkan peran negara terhadap rakyatnya. Hilangnya paradigma penguasa sebagai pelayan terhadap rakyat telah mengakibatkan diabaikannya nasib rakyat. Kebutuhan masyarakat akan diserahkan sesuai dengan ketentuan pasar. Pemerintah hanya berfungsi sebagai regulator saja, bukan periayah. Sehingga korporasi lebih mendominasi dalam menentukan kebutuhan rakyat.
pangan adalah masalah strategis, dimana negara tidak boleh tergantung kepada negara lain. Ketergantungan pangan terhadap Negara lain bisa mengakibatkan Negara akan dengan mudah dijajah dan dikuasai.
Lantas, bagaimana kebijakan dalam perspektif Islam untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakatnya? Jawabannya ada dalam politik pertanian Islam, yang diarahkan untuk peningkatan produksi pertanian dan kebijakan pendistribusian yang adil, sehingga kebutuhan pokok masyarakat pun terpenuhi.
Dalam pandangan Islam, sektor pertanian merupakan salah satu sumber primer ekonomi. kebijakan pangan Khilafah harus dijaga dari unsur dominasi dan dikte negara asing dan korporasi, serta dengan mempertimbangkan kelestarian lingkungan ke depan, bukan semata-mata target produksi sebagaimana dalam sistem kapitalisme.
Adapun yang perlu dilakukan oleh negara adalah Pertama, optimalisasi produksi dengan cara mengoptimalkan seluruh potensi lahan untuk melakukan usaha pertanian yang dapat menghasilkan bahan pangan pokok. Dalam hal ini dibutuhkan dukungan sains dan teknologi, mulai dari mencari lahan yang optimal untuk benih tanaman tertentu, teknik irigasi, pemupukan, penanganan hama hingga pemanenan dan pengolahan pasca panen.
dalam perspektif Islam negara wajib memberikan subsidi yang cukup bagi para petani agar mereka dapat memproduksi pangan, agar biaya produksi ringan, sehingga keuntungan yang mereka peroleh juga besar.
Selain itu harus ditunjang dengan manajemen logistik, sepenuhnya dikendalikan oleh pemerintah yaitu dengan memperbanyak cadangan saat produksi berlimpah dan mendistribusikannya secara selektif pada saat ketersediaan mulai berkurang. Di sini teknologi pasca panen menjadi penting. Pemerintah juga harus bisa menganalisis kemungkinan terjadinya perubahan iklim dan cuaca ekstrim yang dapat mempengaruhi hasil produksi.
Tentu semua kebijakan yang diambil oleh negara tersebut didasari oleh pemahaman bahwa tugas negara adalah memenuhi kebutuhan pokok masyarakat secara mudah dan murah. Bukan untuk melihat dari untung dan rugi. Hal ini tidak akan terjadi kecuali dalam sistem islam. Wallahu a’lam