
Oleh. Helmiyatul Hidayati
(Blogger Profesional dan Member Revowriter)
#MuslimahTimes — Sebenarnya ada banyak drama memanjakan mata saat ini. Terutama dengan perkembangan K-Drama yang mendunia. Namun selain dari negeri ginseng. Rupanya dari Turki, negeri muslim nun jauh di sana juga memiliki produksi drama keren yang bisa dijadikan “konsumsi”. Sayangnya drama ini memiliki durasi panjang yang akhirnya membuat cerita bertele-tele. Sesuatu yang jarang ada di K-Drama.
Salah satu contoh film yang populer dan banyak di tonton oleh orang dari berbagai belahan dunia adalah Dirilis Ertugrul (Kebangkitan Ertugrul). Drama mengenai bapak pendiri kekhilafahan Turki Ustmaniyah ini memiliki 5 session, dan tiap sessionnya memiliki ratusan episode, dengan durasi tiap episode rata-rata 2 (dua) jam. Panjangnya episode drama akan menjadikan banyak ‘tercipta’ tokoh fiksi. Misalnya dalam sejarah, musuh Ertugrul hanya 1 (satu), tapi dalam drama bisa dibuat banyak dsb.
Tapi terlepas dari hal tersebut, Dirilis Ertugrul dan Kurulus Osman (drama lanjutan setelah Dirilis Ertugrul) adalah drama yang bisa bikin hati deg-degan sekaligus tersenyum, bukan karena adegan romantis, tapi karena hampir setiap dialog selalu menggema nama-Nya.
Penggambaran Jihad begitu kentara dalam banyak adegan, setiap kali pedang ditempa, atau ketika pedang keluar dari sarungnya untuk bertarung melawan musuh, selalu diteriakkan Allah Maha Kekal (Haydir Allah) dan Allah Maha Benar (Haytir Allah). Para Bey (pemimpin) memikirkan ummat tidak hanya untuk jangka pendek, karena itu mereka selalu mencari kawasan aman dimana suku Kayi bisa tinggal dengan sejahtera. Termasuk memastikan kesejahteraan adalah menjauhkan dari bahaya penjajah kafir tentara salib dan tentara mongols. Para Bey menyadari pula bahwa bila dunia Islam runtuh, maka itu adalah akhir dari hidup mereka. Karena itu visi mereka juga adalah membangun dunia Islam.
Dalam drama ini juga, bahkan karakter antagonis pun tidak lupa mengucapkan basmallah sebelum melakukan kegiatannya dan meletakkan tangan di dada setiap kali nama Allah dan Rasullnya disebut, sebagai bentuk penghormatan, serta menjawab shalawat atas nabi yang mulia.
Salah satu karakter antagonis yang diceritakan sebagai pengkhianat, bekerja sama dengan Mongols (penjajah) demi mendapatkan kekuasaan dan kawasan suku Kayi bahkan tidak rela ulamanya diancam oleh jenderal Mongols. Salah satu dialognya, “Aku memang bekerjasama dengan kalian (Mongols), tapi Alhamdulillah, dibanding kalian. Setidaknya aku adalah Muslim.”
Karena drama ini berdasarkan sejarah kebangkitan Turki Ustmani yang artinya pada masa itu Khilafah masih berdiri (sekalipun mulai lemah) masyarakat Islami masih memiliki “sandarannya” sehingga penggambaran karakternya dekat dengan kepribadian Islam. Bahkan pada masa itu jangankan muslim, non-muslim pun memiliki pemikiran Islam. Orang kafir lebih memilih berada di Sogut, di bawah kepemimpinan Ertugrul daripada kaisar mereka sendiri. Bahkan mereka “berdemo” ketika pemimpin pemberontak merebut posisi Ertugrul dan membuat kebijakan yang tidak sama dengan Ertugrul.
Sangat jauh dibandingkan sekarang, ketika Khilafah itu runtuh. Kepribadian Islam itu tak tampak bahkan di diri seorang muslim. Jangankan lawan, kawan sendiri kadang disikut, dibubarkan kajiannya, diusir dari negerinya, dilarang berdakwah. Hingga lebih parahnya lagi penista agama dan penista nabi adalah orang muslim sendiri. Miris!
Bahkan yang lebih mencengangkan lagi, kementerian agama, salah satu lembaga pemerintahan yang seharusnya paling getol untuk menegakkan syariat Islam justru menghapus pelajaran Khilafah dan Jihad dari kurikulum pendidikan. Berbeda dengan para Bey suku Kayi, yang justru tidak takut berangkat jihad. Tak heran, bila dari merekalah kemudian lahir sebaik-baik pemimpin seperti yang pernah disebutkan dalam bisyarah Rasulullah SAW. Visi mereka adalah membangun dunia Islam, bukan mempertahankan kekuasaan untuk diri sendiri seperti kebanyakan penguasa zaman sekarang.
Maka, benarlah bila ada yang mengatakan, “Seburuk-buruknya pemerintahan di masa Khilafah, masih jauh lebih baik daripada sebaik-baik pemerintahan pasca Khilafah runtuh (zaman sekarang – demokrasi).”
Wallahu a’lam.