Oleh: Ummu Taqillah
(Komunitas Setajam Pena)
#MuslimahTimes — Badan Usaha Milik Negara(BUMN) dahulu dikenal sebagai perusahaan negara, yaitu perusahaan yang dimiliki baik sepenuhnya, sebagian besar, maupun sebagian kecil oleh pemerintah dan pemerintah memberi kontrol terhadapnya. Namun dengan diperbolehkannya BUMN memiliki anak cabang perusahaan, maka banyak dari BUMN yang hingga saat ini sudah memilik anak cabang bahkan bisa disebut cucu, cicit perusahaan BUMN. Ternyata hal ini menjadi keresahan tersendiri bagi pemerintahan sekarang.
Akhir-akhir ini Menteri BUMN membuat gebrakan bersih-bersih dengan menertibkan ratusan anak perusahaan BUMN yang dianggap tidak sehat dan menjadi ladang bisnis kalangan tertentu dari elit BUMN. Mereka baru menyadari bahwa pada kenyataanya anak cucu perusahaan BUMN itu justru menjadi lahan untuk mencari keuntungan pribadi dari Direksi induk perusahaannya.
Dalam situs Media Indonesia, KETUA Koordinator BUMN Watch Naldy N Haroen SH meminta anak cucu perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang tidak sesuai bidang usahanya ditertibkan. Bahkan, jika perlu anak cucu perusahaan itu dibubarkan. Menurut catatannya, saat ini terdapat sekitar 600-700 anak cucu perusahaan milik negara yang tidak sesuai dengan bisnis induknya. Sehingga, kata dia, anak perusahaan inilah yang diduga hanya menggerogoti induk perusahaan dan akhirnya terus merugi. “Saya ambil contoh di PT Krakatau Steel ada 70 an anak perusahaannya. PT Pertamina ada 140 an, PT PLN ada 40an, PT Indonesia Ferry (ASDP) ada juga dan masih banyak anak perusahaan di BUMN lainnya,” kata Naldy, di Depok, Sabtu (14/12/2019).
Dari 142 perusahaan badan usaha milik negara (BUMN) di berbagai sektor, ternyata hanya sebagian kecil (15 perusahaan) yang mampu mengontribusikan keuntungan untuk negara. Sungguh ini merupakan fakta yang sangat merugikan, tidak hanya untuk negara tapi juga rakyat. Karena seharusnya, hasil dari perusahaan BUMN mampu memenuhi segala kebutuhan rakyat. Namun sangat disayangkan ketika anak cucu perusahaan BUMN malah dikuasai asing dan aseng yang akhirnya menggerogoti induk perusahaan BUMN itu sendiri.
Begitulah memang tujuan para kapitalis menguasai anak cucu perusahaan BUMN, mereka mengeruk apa-apa yang seharusnya menjadi kepemilikan negara atau kepemilikan umum, dan menjadikannya sebagai keuntungan segelintir elit semata. Dan hal ini terjadi karena system kapitalisme yang diadopsi pemerintah, sehingga menuntut Negara melakukan bisnis dalam mememenuhi hajat publik dan mengelola harta publik dengan menggandeng asing, aseng namun justru menggerogotinya.
Namun hal ini berbeda dengan Islam. Dalam sistem Islam akan mengklasifikasi harta publik sebagai milkiyah amah dan milkiyyah daulah.
Milkiyah ammah(kepemilikan umum) meliputi sektor yang memenuhi hajat hidup publik dan harta SDA yang tidak terbatas (air, infrastruktur jalan, energy, hutan,tambang minerba) tidak boleh dikelola selain oleh Negara sendiri. Keterlibatan swasta hanya sebagai pekerja dg akad ijarah/kontrak. Maka terlarang ada kontrak karya seperti pada Freeport, superbody seperti BPJS tenaga kerja dan kesehatan, terlarang pemberian hak konsesi hutan, dan Kemitraan Swasta Pemerintah di sektor ini. Negara tidak boleh mengambil untung dari harta milik rakyat ini. Semua dikelola dengan sebaik mungkin oleh negara dan digunakan untuk kemaslahatan rakyat.
Sedang milkiyah daulah(kepemilikan negara) berupa pengelolaan bangunan, tanah dan perkebunan. Kepemilikan ini bisa diberikan kepada rakyat atau dikelola oleh semacam BUMN yg mengedepankan pemberdayaan masyarakat dan tidak berperan sebagai pebisnis ketika berhadapan dengan kemaslahatan publik. Karena Rasulullah pun telah menyampaikan:
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api”. (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Dengan menerapkan dan mengelompokkan kepemilikan sesuai dengan Islam tersebut diatas, insyaAllah negara akan mampu mengatasi permasalahan keuangan seperti saat ini. Dan bahkan dengan kekayaan alam Indonesia yang melimpah, mulai dari tambang emas, batubara, gas dan lain-lain, sampai kekayaan hutan dan juga lautnya, maka dengan ijin Allah kita akan lepas dari jerat hutang ribawi dan mampu menopang perekonomian secara mandiri.
Wallohu’alam bishowab.