Oleh: Ayu Chandra K. F.
(Dosen PT Swasta Malang)
Muslimahtimes– Perlakuan rezim komunis Cina yang keji terhadap muslim Uighur sudah menjadi perbincangan global. Bukan lagi sekedar dugaan pelanggaran HAM sebagaimana di tahun lalu ramai diperdebatkan. Bukti-bukti video penyiksaan yang bocor ke publik menggambarkan betapa keji rezim Cina memperlakukan sekitar 1 juta muslim Uighur yang ada di kamp penampungan yang dilabeli program Re-Edukasi. Mereka tidak mengenal rasa manusiawi. Saudara kita, muslim Uighur dicuci otaknya, didoktrin paham komunisme dan dipaksa mengkonsumsi makanan minuman yang haram. Setiap orang diawasi gerak-geriknya sepanjang waktu, agar tidak ada satupun yang melakukan aktifitas ibadah. Jika tak mematuhi instruksi komando di kamp penampungan, maka penyiksaan brutal menanti. Sebagian mereka yang sakit dan berobat akan kehilangan organ dalamnya. Apalagi yang sudah meninggal, pastilah semua organnya diambil untuk dikomersialisasi.
Saudara muslimah kita di Uighur juga tak luput dari siksaan. Disuntik hormon agar mandul dan dipaksa minum pil agar tidak bisa lagi merasakan lapar, haus dan sejenisnya supaya tidak merepotkan pemerintah dalam menyediakan makanan. Tak terkecuali kaum muslimah yang tidak ditawan di kamp re-edukasi. Di rumah mereka tidak ada lagi suami, bapak atau saudara laki-laki. Sebaliknya, para polisi komunis digilir masuk ke rumah mereka untuk mengawasi agar mereka tidak salat, puasa dan berdoa apalagi mengajar Al Qur’an pada anak-anaknya. Sebagian polisi itu leluasa memperkosa mereka agar mereka frustasi atau agar melahirkan anak musuhnya. Sungguh suatu bencana kemanusiaan yang tak bisa ditolerir dengan alasan apapun oleh siapa saja yang mengaku manusia.
Terungkapnya bukti kebengisan rezim Cina di tahun 2018 ini membelalakkan mata dunia. Seperti biasa, bagi pihak Barat bila kasusnya menimpa umat Islam maka mereka akan berhitung apa keuntungan bila mereka berpihak kepada rezim atau mengecam tindakan rezim. Negara-negara berpenduduk mayoritas muslim awalnya menyuarakan dukungan mereka untuk Muslim Uighur dan mengecam Cina. Namun kemudian mereka berhenti melakukannya. Ini diduga karena ancaman Cina terhadap negara-negara Islam jika mereka menyuarakan pertentangan terhadap Cina. Organisasi Kerjasama Islam (OKI) yang sebelumnya mengecam Cina pun berbalik memuji atas perlindungan Cina terhadap Uighur. Ini mengingat banyak anggota OKI yang terlibat dalam proyek infrastruktur Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) atau OBOR Cina. Apa yang dilakukan Negara-negara Islam tersebut belum dianggap sempurna menunjukkan sikap ukhuwah sampai kaum muslim Uighur bisa dibebaskan dari kekejaman Cina dan diberikan otonomi agar bisa menjalankan semua perintah syariat yang mereka yakini. Inilah yang urgen bagi dunia Islam akan adanya komando jihad, untuk membela kehormatan kaum muslim.
Pemerintah Indonesia melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, mengatakan akan menempuh jalur diplomasi guna membantu Uighur. Dia menyampaikan Kementerian Luar Negeri sudah melakukan proses sebagai penengah konflik (Jawapos, 19/12/2019). Mahfud juga menyatakan Indonesia punya jalan diplomasi lunak sejak dahulu, menjadi penengah dan mencari jalan yang baik, bukan konfrontasi. Dalam pertemuan Mahfud dengan Duta Besar Cina untuk Indonesia, Xiao Qian, mengenai Uighur, di kantor Kemenko Polhukam beberapa minggu lalu, Xiao menyebut etnis Uighur sebagai separatis karena memiliki agenda di luar kerangka negara Cina. Mahfud lantas meminta semua pihak mempercayakan Menlu Retno L. Marsudi mengatasi polemik etnis Uighur. Sejauh ini, Kemenlu mengedepankan diplomasi lunak (soft diplomacy) terkait dengan hal tersebut. (CNN Indonesia, 20/12/2019)
Selain Pemerintah, organisasi masyarakat sipil juga turun, seperti MUI dan Muhammadiyah yang sudah pergi ke Cina. Pemerintah Cina bahkan membiayai puluhan tokoh petinggi NU, Muhammadiyah, MUI, akademisi, dan sejumlah wartawan Indonesia untuk berkunjung ke Xinjiang. Sampai kemudian pada munculnya laporan dari Wall Street Journal (WSJ) yang menyebut pemerintah Cina merayu ormas Islam di Indonesia agar bersikap lunak terkait isu Uighur. Jusuf Kalla, wapres di periode sebelumnya, menyatakan ungkapan menyakitkan terkait kasus Uighur. Bahwa masalah Uighur adalah urusan dalam negeri Cina, Indonesia tak bisa mencampurinya. Pernyataan ini diamini oleh kebanyakan pejabat negeri ini. Mereka juga turut menduplikasi pernyataan menyesatkan yang menganggap sikap rezim komunis terhadap Uighur adalah kebijakan deradikalisasi dan antiseparatisme. Bukankah menyatakan itu sama dengan mendukung perlakuan keji terhadap sesama muslim. Demikian pula apa yg disampaikan oleh Menko Polhukam bahwa dalam soal ini Indonesia menimbang hubungan diplomatik dengan Cina yang harus dijaga. Karenanya dipilih diplomasi lunak (Soft Diplomacy) untuk merespon desakan publik agar pemerintah Indonesia bereaksi menolong muslim Uighur.
Apa yang bisa dilakukan melalui soft diplomacy? Sang menteri menjelaskan bahwa soft diplomacy berbeda dengan megaphone diplomacy sebagaimana dipraktikkan Donald Trump. Diplomasi lunak adalah mencari jalan keluar dengan mengajak duduk bersama, memberi beberapa masukan dan pertimbangan terkait masalah. Hal ini sudah dilakukan pemerintah dengan mengundang dubes Cina di Indonesia beberapa waktu lalu untuk mengecek kebenaran berita seputar perlakuan pemerintah mereka terhadap Uighur.
Lalu mengapa pemerintah Indonesia memilih soft diplomacy yang nyata-nyata tidak bisa menyelamatkan saudara sesama muslim?
1) Karena sekat nasionalisme begitu kuat. Mantra Negara bangsa telah memisahkan ikatan persaudaraan sesama muslim karena alasan beda Negara. Perasaan sebagai saudara terhadap Uighur tidak ada lagi. Bukankah bisa terlihat bahwa rasa tanggung jawab terhadap saudara itu telah nyata hilang ketika negeri ini lebih tega membiarkan nyawa dan kehormatan saudaranya hilang dibanding kehilangan hubungan diplomatik dengan Cina.
2) Dikte UU dan Hukum internasional. Alasan tidak boleh mencampuri urusan dalam negeri Negara lain adalah pernyataan berulang Negara-negara yang terikat dikte UU internasional terkait noninterference policy (politik noncampurtangan). Padahal telah nyata, justru Negara Barat yang menggagas dikte tersebut lebih sering mencampuri urusan dalam negeri dunia Islam demi mendapatkan kepentingan ekonomi dan politiknya. Politik nonintervensi hanya menjadi alat Negara besar untuk menghalangi sesama muslim bersatu sebagai saudara. Karena bila dunia Islam bersatu, maka Barat akan terancam.
3) Kekhawatiran Indonesia jika mengutak-atik Cina dengan masalah Uighur akan berimbas pada isu internasionalisasi masalah Papua.
4) Soal jerat utang. Perlu untuk diketahui, menurut data rilisan Kemenlu RI, Cina adalah mitra dagang terbesar Indonesia dengan total nilai perdagangan kedua negara pada 2018 mencapai 72,6 miliar dolar AS. Cina juga merupakan investor asing ketiga terbesar dengan total nilai investasi pada 2018 mencapai 2,3 miliar dolar AS. Angka investasi yang fantastis. Alhasil, para penguasa negeri ini tak bertaring untuk menyinggung mitra dagang “terbaiknya”. Termasuk bagaimana Cina sudah menyogok dan membungkam suara ormas Islam agar menutupi kekejaman pemerintah dengan beragam bantuan dan beasiswa.
Dari soft diplomacy ini, apakah akan ada perubahan kebijakan Cina terhadap Uighur? Jelas tidak. Dan pemerintah Indonesia sudah tahu sejak awal akan hal ini. Lalu apa yang bisa merubah kebijakan rezim brutal Cina? Perubahan kebijakan dimungkinkan terjadi bila rezim Cina merasa banyak kepentingannya yang terancam bila tidak menuruti keinginan Negara tertentu. Dan hal itu hanya bisa dilakukan oleh AS, seandainya Trump memutuskan meningkatkan eskalasi perang dagangnya dengan Cina bila tidak segera menghentikan kebrutalannya terhadap Uighur. Dimungkinkan ada perubahan bila ada kekuatan setingkat Negara yang disegani mendesak Cina membebaskan Uighur dari segala bentuk program atas nama re-edukasi. Bila tidak, maka Negara tersebut akan menurunkan sejumlah pasukan yang akan membela muslim dimanapun berada. Negara inilah yang melaksanakan perintah Allah untuk membela muslim yang meminta pertolongan dalam urusan agama. Sebagaimana firman Allah: “..jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan,”, (QS Al Anfal: 72).
Kasus Uighur menambah daftar panjang betapa besar penderitaan umat Islam sekarang. Sebab Uighur tak sendirian. Nasib serupa juga dialami oleh Muslim Rohingya-Myanmar, Pattani-Thailand, Moro-Philipina, Palestina, Suriah, dan lain-lain. Semua penderitaan kaum Muslim ini semakin meneguhkan kesimpulan tentang betapa butuhnya umat terhadap Khilafah.
Mengapa Khilafah? Tentu karena umat Islam di berbagai wilayah mengetahui bahwa keselamatan mereka hanya ada pada Islam, juga pada kekuasaan Islam (Khilafah). Sebab Khilafah adalah perisai/pelindung sejati umat Islam. Ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam : Sungguh Imam (Khalifah) itu laksana perisai. Kaum Muslim akan berperang dan berlindung di belakang dia (HR al-Bukhari dan Muslim).
Menjadi junnah (perisai) bagi umat Islam khususnya dan rakyat umumnya meniscayakan Imam/Khalifah harus kuat, berani dan terdepan. Bukan orang yang pengecut dan lemah. Kekuatan ini bukan hanya pada pribadi sang pemimpin, tetapi pada institusi negaranya, yakni Khilafah. Kekuatan ini dibangun karena pondasi pribadi (Khalifah) dan negara (Khilafah)-nya sama, yaitu akidah Islam. Inilah yang ada pada diri kepala Negara Islam pada masa lalu, baik Nabi shallallahu’alaihi wa sallam maupun para khalifah setelahnya.
Maka, setiap hubungan diplomatik dengan Negara manapun yang memusuhi muslim secara nyata akan diputus. Seperti halnya terhadap Cina yang sudah menyerang Uighur, Khilafah dilarang ada hubungan diplomatik, dilarang ada negosiasi dan harus disikapi dengan jihad fi sabilillah membebaskan Uighur dari tangan Cina komunis. Hanya khilafah yang mampu membebaskan negeri-negeri Islam yang kini tengah terjajah oleh rezim represif dan diktator. Wallahu ‘alam bish-showab. []