Oleh : Shafayasmin Salsabila
“Korupsi di kita sudah sangat-sangat parah. Di seluruh dunia ada korupsi ya, mark-up, mark-up tahu kalian mark-up? Tahu apa arti mark-up? Mark-up penggelembungan. Proyek nilainya Rp200 juta dilaporkan nilainya Rp500 juta. Karena itu jembatan belum dipakai sudah jatuh. Karena itu infrastruktur di Jakarta yang dibangun besar-besaran, belum dipakai sudah jatuh yang akhirnya terpaksa dihentikan daripada memakan korban lain,”
(Prabowo Subianto)
Petikan pidato ketua umum partai Gerindra, seakan menelanjangi fakta. Disampaikan pada saat Prabowo ke Jawa Barat, Jumat 30 Maret 2018. Prabowo menilai bahwa maraknya kecelakaan infrastruktur yang kerap terjadi diakibatkan oleh banyaknya uang rakyat yang dicuri oleh negara.
Tak berhenti sampai di situ. Diberitakan sebelumnya, KPK menetapkan tersangka terhadap 38 orang anggota DPRD Sumatera Utara periode 2009-2014 dan 2014-2019. Ke-38 anggota DPRD Sumut itu diduga terlibat dalam kasus suap interpelasi dan pengesahan APBD Sumut oleh Mantan Gubernur Sumut, Gatot Pudjo Nugroho.
Atas data di atas, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo merasa sedih, prihatin dan terpukul. Tjahjo mengaku selalu mengingatkan pemangku kebijakan, termasuk DPRD, untuk selalu memahami area rawan korupsi. Menurut dia, salah satu lahan yang kerap dijadikan praktik rasuah yakni perencanaan dan penyusunan anggaran. Ia pun bingung masih banyak oknum pemangku kebijakan yang ‘bermain’ pada sektor ini. Padahal, sudah banyak yang ditangkap oleh KPK. (news.okezone.com)
Tak habis pikir mengapa korupsi kian subur bahkan dikatakan sudah menjadi budaya. Satu tertangkap. Berikutnya banyak lagi kasus korupsi yang terungkap. Seperti noda yang membandel, tak mau hilang dan terus melekat. Ada apakah gerangan?
Jika kita menilik akar dari pohon korupsi yang dahan-dahannya kian rindang dan mencakari langit. Kita bisa lihat, bahwa masalah ini tidak berdiri sendiri. Ada keterkaitan satu dengan yang lainnya. Mental korup, tidak serta merta menitis dan menetas secara random. Melainkan ada sebuah lingkungan yang membentuk dan memaksanya untuk menjangkiti siapa saja yang ada di dalamnya.
Setidaknya ada dua hal yang membuat korupsi makin menggurita di Bumi Pertiwi.
Satu : Demokrasi adalah habitat yang kondusif bagi korupsi karena praktiknya berbiaya tinggi. Sebagai sebuah sistem pemerintahan, demokrasi memberikan kekuasaan kepada rakyat untuk mengangkat pemimpinnya agar mengatur kehidupan mereka dengan aturan yang disepakati oleh akal manusia. Namun, rakyat yang jumlahnya sangat banyak tidak mungkin berkumpul di satu tempat secara bersamaan, karenanya ada istilah ‘wakil rakyat’ yang bertugas mewakili aspirasi dari rakyat.
Masalahnya untuk bisa menjadi wakil rakyat, pejabat atau seorang pemimpin butuh modal yang tidak sedikit. Ada biaya untuk kampanye dan ‘mahar’ kepada partai politik.
Biaya kampanye mutlak harus disiapkan oleh para calon pejabat yang mengikuti pemilihan. Untuk menarik simpati rakyat dalam rangka mendulang ‘suara’, banyak cara yang harus di tempuh. Pembuatan spanduk, poster, dan kaos untuk para pendukung. Biaya untuk tim sukses dan pertunjukan ‘kedermawanan’ membutuhkan banyak uang. Jika calon pejabat tidak kuat dari segi finansial, maka digandenglah ‘pemodal’ yang tak lain mereka adalah para pengusaha. Mereka siap menggelontorkan sejumlah rupiah demi ‘pamrih’ yang akan ditagih di kemudian hari.
Ini yang nanti akan menjadi masalah. Besarnya nominal dari modal yang telah dikeluarkan (red. jika calon terpilih) tidak akan cukup ditutupi dari gaji selama lima tahun menjabat. Maka praktik korupsi menjadi hal yang dilirik. Baik itu berupa gratifikasi, mark up anggaran, hingga jual beli kebijakan. Semua ditempuh semata-mata demi ‘PR’ yang hampir mendekati ‘Deadline’ nya.
Kedua : Demokrasi lahir dari rahim sekulerisme. Ide menjauhkan agama dari kehidupan, otomatis mensterilkan urusan pemerintahan dari aturan agama. Alhasil jabatan dipandang sebagai profesi yang menjanjikan, lahan basah untuk menumpuk kekayaan hingga tujuh turunan. Peluang emas untuk meraih posisi dan kemuliaan di mata manusia.
Maka lahirlah tikus-tikus berdasi. Tanpa merasa berat hati ataupun takut akan dosa, mencuri uang rakyat. Mengkhianati janji dan sumpah jabatan pun tak segan dilakukan. Karena tak ada Tuhan dalam keseharian. Bebas dengan pemuasan syahwat. Bertindak sesuai hawa nafsu. Gelap mata, yang penting berlimpah harta. Ancaman penjara tak cukup menciutkan nyali. Karena nyatanya, penjara pun bisa dibeli.
Kondisi seperti ini sangat jauh berbeda dengan kondisi ideal saat kehidupan diatur dengan islam. Bagaimana tidak, islam dengan sangat tegas mengharamkan pencurian. Bahkan sistem persanksian dalam islam menjatuhkan hukuman potong tangan bagi para pencuri. Sanksi tegas ini akan memberi efek jera sekaligus penebus dosa.
Muroqobah sebagai prinsip hidup dimana seorang muslim akan senantiasa merasa diawasi oleh Allah mencegahnya dari bermaksiat. Ketakwaannya sejalan dengan ketakutannya melakukan pelanggaran hukum syara, termasuk korupsi.
Sistem Islam memandang jabatan adalah amanah yang tidak sembarangan. Pertanggung jawabannya tidak hanya di dunia tapi hingga di akhirat. Jabatan tidak dijadikan obsesi untuk menumpuk kekayaan. Karena paradigma berpikir seorang muslim adalah menjadikan keridhoan Allah sebagai capaian tertinggi. Jabatan dijadikan alat untuk unjuk gigi di hadapan Allah, membuktikan keimanan dengan memberikan manfaat bagi rakyat. Meringankan, menolong serta memecahkan setiap masalah yang mendera rakyat. Tidak membiarkan ada rakyat yang menderita. Maka satu hal yang mustahil, bagi hamba yang mukhlis melakukan pengkhianatan dengan mencurangi rakyat. Merampas haknya dengan melakukan praktik korupsi dan gratifikasi.
Dalam islam siapapun yang diangkat untuk satu jabatan tertentu tidak memakan biaya yang tinggi. Sangat efisien dan efektif dengan penunjukan secara langsung oleh khalifah (pemimpin negara). Tentunya pertimbangannya dari kapasitas seseorang dan juga ketakwaannya. Sama sekali tidak ada tempat bagi senyuman pencitraan atau bom uang saat kampanye. Jika sudah begitu tidak ada balik modal, tidak ada nafsu menumpuk kekayaan. Semua lillah, hanya karena Allah semata.
Betapa sehat Ibu Pertiwi tanpa jeratan gurita korupsi. Negeri berkah dan rakyat pun sejahtera. Tidakkah kita menghendakinya?