Oleh: Hamsina Halik, A. Md.
(Anggota Komunitas Revowriter)
Kembali jagat maya dihebohkan dengan sebuah puisi yang berjudul, “Ibu Indonesia”. Puisi ini dibacakan oleh Sukmawati putri dari Presiden Soekarno di Event Pagelaran Busana 29 tahun Anne Avanti di Jakarta pada hari Kamis, 29 Maret 2018.
Dalam puisi tersebut, dengan ketidaktahuannya tentang syariat Islam. Padahal, ia muslim. Juga, membandingkan konde dengan cadar dan kidung dengan adzan, bahwa sari konde lebih cantik dan indah daripada cadar, suara kidung ibu Indonesia lebih elok dan merdu daripada suara lantunan adzan. Astagfirullah.
Padahal, sejatinya cadar adalah bagian dari ajaran Islam. Meskipun terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama atas hukum memakainya. Seorang muslimah yang taat tentu akan menjalankan perintah Rabb-Nya memenuhi seruan kewajiban menutup aurat (Al Ahzab: 59 dan an Nur: 31). Maka, tak elok disandingkan dengan konde yang merupakan bagian dari adat dan budaya, yang menampakkan aurat wanita. Tentu ini bertentangan dengan syariat Islam.
Demikian pula dengan adzan, juga merupakan bagian dari syariat Islam. Sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Ia adalah panggilan mulia dari Rabb untuk hamba-Nya yang dikumandangkan oleh seorang muadzin, agar umat Islam bersegera memenuhi kewajibannya untuk bersujud beribadah kepada-Nya.
Maka wajar jika puisi ini menuai respon yang banyak dari warganet, menentang dengan sangat puisi tersebut. Membuat balasan berupa puisi, opini ataupun quote . Semata-mata sebagai bentuk ketidakridhoaan mereka atas penistaan dalam puisi ini. Sebab, ini jelas-jelas termasuk bentuk seruan berupa celaan terhadap akidah Islam. Sama saja, itu adalah penistaan.
Melihat respon yang tak terduga tersebut, Sukmawati melalui konferensi persnya memohon permintaan maaf kepada seluruh umat Islam. Dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (4/4), Sukmawati menyatakan “puisi yang saya bacakan…semata-mata adalah pandangan saya sebagai seniman dan budayawati dan murni merupakan karya sastra Indonesia.”
Dia juga mengaku “tidak ada niatan untuk menghina umat Islam Indonesia dengan Puisi Ibu Indonesia” yang ditulisnya dan menjadi bagian dari buku kumpulan puisi ibu Indonesia pada 2006.
“Namun, karena karya sastra dari Puisi Ibu Indonesia ini telah memantik kontroversi di berbagai kalangan baik pro dan kontra khususnya di kalangan umat Islam, dengan ini dari lubuk hati yang paling dalam, saya mohon maaf lahir batin kepada umat Islam Indonesia khususnya bagi yang merasa tersinggung dan berkeberatan dengan Puisi Ibu Indonesia,” sebutnya sebagaimana dilaporkan wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan. (bbc.com)
/Hukum Tebang Pilih/
Masih teringat dengan kasus Rusgiani (44) diakhir tahun 2016 silam? Ia seorang Ibu rumah tangga yang menerima vonis hukuman penjara 14 bulan lantaran menghina agama Hindu. Ibu ini menyebut canang atau tempat menaruh sesaji dalam upacara keagamaan umat Hindu dengan kata-kata najis. Tentu saja, pemeluk Hindu sontak marah dan tak terima agamanya dihina. Hukuman tegas pun diberlakukan.
Beda Rusgiana, beda Bu Sukmawati, karena yang dinistakan saat ini adalah agama Islam maka itu tak dianggap penistaan dan tak ada niat sama sekali untuk menista Islam. Pembelaan pun berdatangan. Dengan dalih kebebasan berekspresi maka pelakunya harus dimaafkan dan tidak perlu diproses hukum.
Standar ganda pun berlaku, umat Islam harusnya diam saja dan membiarkannya dengan alasan demi menjaga tak terjadinya perpecahan di kalangan umat Islam dan demi keutuhan bangsa tetap terjaga. Sebaliknya, jika yang menjadi korban penistaan itu bukan agama Islam, maka hukum akan bertindak tegas atas pelakunya sebagaimana yang dirasakan oleh Ibu Rusgiana sebelumnya.
Padahal, hukum yang berlaku di negeri ini harusnya berlaku adil atas setiap tindakan penistaan. Jika, terbukti melakukan maka harus ditindak tegas. Jangan tebang pilih. Sesuai dengan keinginan. Jika tidak demikian akan muncul lagi pelaku-pelaku penista agama lainnya.
/Ketegasan Islam Terhadap Penista/
Islam adalah agama yang penuh kasih sayang. Saling memaafkan adalah perbuatan mulia. Karena, sejatinya manusia adalah tempatnya berbuat salah. Tak ada manusia yang sempurna. Rasulullah SAW:
“Barangsiapa yg didatangi saudaranya yg hendak meminta maaf, hendaklah memaafkannya, apakah ia berada dipihak yg benar ataukah yg salah, apabila tidak memaafkan, niscaya tidak akan mendatangi telagaku (di akhirat).” (HR Al-Hakim)
Namun, untuk kasus penista agama maaf saja tak cukup. Islam punya aturan yang paripurna, termasuk dalam menyelesaikan kasus penistaan. Dalam negara Islam ( Khilafah Islam), ada ketentuan hukuman bagi pelaku penistaan agama secara terang-terangan.
Islam akan memberikan sanksi yang tegas dan berat untuk para pelaku penista agama. Hukuman mati pun menantinya. Allah SWT berfirman dalam surat At-Taubah : 12,
وَاِنْ نَّكَثُوْۤا اَيْمَانَهُمْ مِّنْۢ بَعْدِ عَهْدِهِمْ وَطَعَنُوْا فِيْ دِيْـنِكُمْ فَقَاتِلُوْۤا اَئِمَّةَ الْـكُفْرِ ۙ اِنَّهُمْ لَاۤ اَيْمَانَ لَهُمْ لَعَلَّهُمْ يَنْتَهُوْنَ
“Dan jika mereka melanggar sumpah setelah ada perjanjian, dan mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin kafir itu. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, mudah-mudahan mereka berhenti.”
Dikisahkan pula dalam hadist, Rasulullah SAW bersabda:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ لِكَعْبِ بْنِ الْأَشْرَفِ فَإِنَّهُ قَدْ آذَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَالَ مُحَمَّدُ بْنُ مَسْلَمَةَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَتُحِبُّ أَنْ أَقْتُلَهُ قَالَ نَعَمْ
Siapakah di antara kalian yg sanggup membunuh Ka’ab bin Al-Ayhraf? Sebab dia telah menyakiti Allah dan Rasul-Nya. Maka Muhammad bin Maslamah berkata, Wahai Rasulullah, setujukah anda jika aku yang akan membunuhnya? beliau bersabda: Ya, setuju… (H.R. Muslim).
Disebutkan pula dalam kitab Nizhâm al-’Uqûbât, karya syeikh Taqiyuddin An-Nabhani dijelaskan beberapa tindakan yang dikategorikan menodai agama Islam beserta sanksi yang dapat diterapkan negara atas pelakuknya:
a) orang yang melakukan propaganda ideologi atau pemikiran kufur diancam hukuman penjara hingga 10 tahun. Jika ia seorang Muslim maka sanksinya adalah sanksi murtad, yakni dibunuh;
b) orang yang menulis atau menyerukan seruan yang mengandung celaan atau tikaman terhadap akidah kaum Muslim diancam 5-10 tahun. Jika celaan tersebut masuk dalam kategori murtad maka pelakunya (jika Muslim) dibunuh;
c) orang yang melakukan seruan pemikiran kufur kepada selain ulama, atau menyebarkan pemikiran kufur melalui berbagai media, dipenjara hingga 5 tahun;
d) orang yang menyerukan seruan pada akidah yang dibangun atas dalil zhann atau pemikiran yang dapat mengakibatkan kemunduran umat Islam dicambuk dan dipenjara hingga 5 tahun;
e) orang yang meninggalkan shalat dipenjara hingga 5 tahun; jika tidak berpuasa tanpa uzur, ia dipenjara dua bulan dikalikan puasa yang ia tinggalkan; dan orang yang menolak menunaikan zakat, selain dipaksa membayar zakat, ia dipenjara hingga 15 tahun.
Puisi Sukmawati secara terang-terangan membandingkan konde dan cadar dengan kidung dan adzan, juga menyebut syariat Islam. Ini terkategori penistaan sebagaimana yang tercantum dalam poin (b) diatas, dimana puisi tersebut mengandung celaan terhadap akidah.
Dengan diterapkannya Islam Kaffah, dengan pemberian sanksi yang tegas atas pelaku penista agama, baik Islam ataupun agama lainnya, maka kasus semacam ini tak akan terulang lagi. Karena, sanksi yang diberikan mampu memberi efek jera yang membuat orang lain berpikir beribu kali untuk melakukannya. Maka, tidakkah ingin akidah umat Islam terjaga di bawah naungan sistem Islam?.
Wallahu a’lam.