Oleh: Eva Priyawati, S.Pd.
Muslimahtimes– Siapa yang tak kenal dengan ayam geprek? Makanan yang ngetrend di berbagai kalangan ini memiliki sambal yang khas. Sambal ayam geprek terkenal sebagai sambal dengan level pedas yang tinggi. Wangi bawang putih saat ditumis akan berpadu dengan harum cabai rawit merah menghasilkan rasa yang maknyus dan membuat ketagihan.
Sayangnya bagi anda penggemar ayam geprek harus siap dengan perubahan harga atau komposisi dari sambalnya. Pada medio musim penghujan ini bahan dasar pembuatan sambal ini, cabai dan bawang putih, kompak mengalami kenaikan harga. Bisa jadi sambal ayam geprek tak ‘kan pedas lagi.
Seperti diketahui harga cabai sudah mengalami kenaikan sejak memasuki awal musim penghujan. Bahkan pada pertengahan januari mencapai Rp90.000 per kg. Begitu pula dengan bawang putih telah menyentuh Rp60.000 per kg-nya. Musim penghujan ditengarai menjadi penyebab utama melonjaknya harga. Karena lembab cabai dan bawang mudah membusuk. Ditambah lagi distopnya impor bawang putih dari Cina telah mengganggu stok nasional, menambah parahnya lonjakan harga
Yang sedikit menggelitik adalah lagi-lagi negeri ini gagap menghadapi siklus tahunan musim penghujan. Kenaikan harga dengan alasan musim lagi-lagi dimaklumi. Indonesia pun gagap saat kran impor bawang putih dari Cina distop karena virus Corona. Indonesia seperti negeri tanpa lahan. Diakui atau tidak hal ini menunjukkan buruknya pengelolaan sektor pertanian di Indonesia.
Sudah tak bisa ditunda-tunda lagi Indonesia membutuhkan perbaikan pengelolaan sektor pertanian. Musim penghujan yang siklusnya bisa diprediksi tentu saja masih bisa disiasati. Dalam kaitannya dengan produksi nasional tentunya membutuhkan politik pertanian yang mumpuni.
//Politik Pertanian Islam//
Dalam pertanian meningkatkan produksi tidak akan jauh-jauh dari intensifikasi pertanian dan ekstensifikasi pertanian. Namun ada perbedaan prinsip antara politik pertanian Islam dan politik pertanian kapitalisme yang kini dianut negeri ini. Islam memiliki paradigma yang tidak dimiliki oleh sistem kapitalisme, yaitu paradigma ri’ayah atau melayani urusan masyarakat.
Dalam Islam, politik pertaniannya tak bisa dilepaskan dengan tujuan ekonomi Islam. Tujuan ekonomi Islam adalah terpenuhinya kebutuhan pokok (primer) tiap individu masyarakat secara keseluruhan, beserta jaminan yang memungkinkan tiap individu memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya. Sehingga berdasarkan prinsip ri’ayah atau melayani, pertanian ditujukan bagi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat, bukan kesejahteraan kartel.
Saat prinsip melayani menjiwai setiap kebijakan pertanian maka dalam produksi primer intensifikasi pertanian berupa berbagai cara meningkatkan produksi pertanian dan ekstensifikasi pertanian melalui perluasan lahan pertanian akan berjalan sepenuhnya dengan tujuan swasembada pangan bagi komoditas krusial seperti komoditas bahan makanan pokok, komoditas bahan pakaian, dan komoditas pertanian yang memiliki potensi pasar luar negeri.
Intensifikasi pertanian berupa penggunaan bibit unggul, pupuk, dan obat-obatan akan diupayakan dengan maksimal. Subsidi bagi sarana dan prasarana yang menunjang akan diberikan dengan maksimal bukan malah dicabut. Transfer teknologi pertanian modern yang lebih efisien akan dilakukan secara merata. Semua lapisan petani akan memiliki akses yang sama terhadap modal. Dalam Islam bahkan modal diberikan dalam bentuk hibah bagi petani yang tidak mampu, bukan dengan utang yang bunganya menjerat.
Ekstensifikasi pertanian berupa perluasan lahan pertanian akan dilakukan secara maksimal. Amdal benar-benar akan difungsikan agar tidak ada lagi lahan yang ideal bagi pertanian dijadikan kawasan pemukiman atau kawasan industri. Negara pun akan mendorong Ihya’ul mawat atau menghidupkan tanah mati. Sesiapa saja yang tidak mampu mengelola lahan pertaniannya selama tiga tahun lebih maka wajib memberikannya pada yang mampu mengelolanya.
Tidak berhenti sampai di situ. Dalam industri pertanian pun negara wajib terikat dengan aturan Allah. Yang diijinkan berkembang hanya sektor riil saja. Negara dilarang memberikan hak istimewa pada segelintir pihak. Baik berupa hak monopoli atau fasilitas khusus. Semua kalangan pelaku industri pertanian akan memiliki hak dan kesempatan yang sama. Seleksi pasar akan berjalan dalam mekanisme pasar yang wajar.
Terakhir, dalam perdagangan komoditas pertanian negara memiliki kewajiban untuk menjamin terciptanya mekanisme pasar yang transparan. Manipulasi dan penimbunan akan dilarang keras. Demikian pula kran masuknya komoditas pertanian impor akan ditutup. Tidak akan ada tempat bagi para kartel dan mafia. Suplai akan diperoleh sepenuhnya mengandalkan petani lokal yang telah disupport oleh negara. Pergantian musim yang dapat mengganggu stok suplai nasional akan diatasi dengan suplai dari wilayah lain. Semuanya didukung oleh sarana dan prasarana transportasi dan pasar yang memadai. Sehingga semua hasil pertanian bisa dipasarkan dengan harga yang terjangkau.
Demikianlah, politik pertanian yang mumpuni. Tentunya hanya dimiliki oleh politik pertanian Islam. Politik pertanian yang hanya akan lahir dari sistem pemerintahan yang bersih. Sistem pemerintahan yang memiliki paradigma ri’ayah atau melayani. Yaitu sistem khilafah yang telah dicontohkan oleh baginda Nabi Muhammad Saw, diteruskan secara turun temurun oleh para Khulafa’ur Rasyiddin dan berjaya selama 14 abad lamanya.