Halusinasi Kufur Nikmat: Menanggapi Pertumbuhan Ekonomi Yang Sekarat
Oleh : Henyk Nur Widaryanti S. Si., M. Si.
Muslimahtimes – Apa perasaan Anda jika dibilang kufur nikmat? Marah? Diam? Atau tidak terima? Siapa yang mau dibilang kufur nikmat? Pasti tak ada kan? Pernyataan ini sempat naik ke permukaan, saat Pak Jokowi memberi pernyataan mengenai pertumbuhan ekonomi Indonesia yang stagnan di 5%. Sebagaimana dilansir di Detikfinance (9/2/20), Presiden Jokowi menilai pertumbuhan ekonomi 5,02% perlu disyukuri, jangan kufur nikmat.
Seperti yang telah dilaporkan oleh
Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi tercatat 5,02% sepanjang 2019, lebih rendah dibandingkan 2018 sebesar 5,17%. Bahkan Indonesia belum pernah meraih prestasi dengan pertumbuhan ekonomi 6%.
Berdasarkan data Bank Dunia dan ADB, mereka mampu tumbuh di atas 6 persen pada 2019, yakni Vietnam 6,97 persen, Kamboja 7 persen, Filipina 6,5 persen, Myanmar 6,6 persen, dan Laos 6,5 persen. Hal ini memperlihatkan kondisi ekonomi yang lesu bagi Indonesia.
//Sebab Musabab Pertumbuhan Ekonomi Loyo//
Menurut Direktur Eksekutif Riset Core Indonesia, Piter Abdullah saat dihubungi Detikcom (9/2/2020), penyebab utama dari keloyoan ini adalah adanya pertumbuhan konsumsi yang melambat. Di triwulan IV tahun ini sekitar 4,97%. Padahal sebelumnya 5,06%.
Ada dua hal yang menyebabkan ini terjadi. Pertama, di kalangan menengah ke bawah terjadi penurunan daya beli masyarakat. Naiknya barang-barang kebutuhan pokok, dikuranginya subsidi, banyaknya kejadian PHK, hingga beban pajak yang meningkat membuat beban biaya kehidupan semakin berat. Alhasil mereka lebih memilih mendahulukan kebutuhan pokok dan meminimalisasi pembelian.
Aspek kedua dari sisi orang-orang kaya. Saat ini mereka cenderung menekan dan menahan pembelian. Sehingga konsumsi rumah tangga secara menyeluruh mengalami penurunan.
Selain masalah konsumsi, adanya penurunan di bidang investasi juga menambah derita pertumbuhan ekonomi. Menurut BPS mencatat PMTB atau investasi fisik pada kuartal IV-2019 hanya tumbuh 4,06%. Angka itu lebih rendah dibandingkan kuartal IV-2018 yang tumbuh 6,01% dan kuartal III-2019 4,21%.
//Bahaya Stagnansi Mentok 5%//
Direktur Eksekutif Riset Core Indonesia, Piter Abdullah, menyatakan keadaan ini tidak ada hubungannya dengan kufur nikmat atau tidak. Tapi jika kondisi ini berlarut-larut justru diprediksi akan menyebabkan ancaman bagi ekonomi Indonesia sendiri.
Ada bahaya besar di balik stagnansi pertumbuhan ekonomi. Dia menjelaskan, dengan pertumbuhan ekonomi 5% menyebabkan lapangan kerja yang tercipta tidak cukup menyerap angkatan kerja yang bertambah 3 juta jiwa setiap tahun.
Penjelasannya begini, pertumbuhan ekonomi 1% dapat menciptakan sekitar 250.000 lapangan kerja. Berarti jika pertumbuhan 5% hanya bisa menyerap 1.250.000 jiwa. Artinya jika pertumbuhan ekonomi dibiarkan stagnan 5%, masih 1.750.000 jiwa lagi yang belum dapat pekerjaan.
Bagaimana jika ini berjalan bertahun-tahun? Lima hingga sepuluh tahun saja bangsa ini akan terbebani dengan masalah pengangguran. Bisa dibayangkan apa yang terjadi? Bukannya naik, pertumbuhan ekonomi justru akan anjlok dan jeblok. Rakyat hidup susah, apalagi jika subsidi tak diberi.
//Antara Halusinasi dan Prestasi//
Apa yang diraih dalam roda ekonomi saat ini bukanlah prestasi yang dapat diapresiasi. Tapi sekadar halusinasi prestasi. Bahkan masyarakat harusnya sadar karena selama ini dikibuli. Bagaimana tidak? Kondisi pertumbuhan yang stagnan justru diminta sabar diri. Lebih parah lagi, kalau merasa marah dengan hasil yang ada malah dibilang kufur nikmat. Situ sehat?
Jikalau kita belajar agama, kufur nikmat maknanya mengingkari nikmat. Nikmat di sini berarti segala sesuatu yang diberikan Allah kepada hambaNya. Secara sederhana ya tidak mau bersyukur. Bagaimana cara bersyukur yang benar? Ibaratnya udah diberi kehidupan ya membalasnya dengan ketaatan. Bukan malah mengingkari aturanNya. Kalau begini siapa sebenarnya yang kufur nikmat? Rakyat atau yang lainnya?
Tidak bisa dipungkiri, penyebab utama masalah ini karena bangsa ini memakai sistem ekonomi kapitalis. Dengan sistem berbasis ribawi. Menghalalkan segala cara untuk mendapat keuntungan. Bahkan menjadikan pemerintah sebagai pelayan korporasi, atau bahkan sebagai pelaku korporasi. Bukan urusan umat yang penting, tapi urusan konglomerat yang lebih genting.
Jika kebijakan tak kunjung diambil secara tepat, cermat dan mantap, tak akan mungkin masalah ini teratasi. Maka, perlu adanya tindakan khusus. Mengembalikan peran negara sebagai pelayan umat. Bukan pemalak umat.
Dengan menarik kembali aset sumber daya alam (SDA) yang diambil asing. Dikelola sendiri. Dipakai untuk memberi kebutuhan rakyat. Mulai dari sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan. Sekalian melunasi seluruh utang negara. Dan berhenti menjadi negara pengutang.
Memberhentikan riba dan pengelolaan uang nonriil. Semua usaha berbasis riil. Sehingga kekayaan yang ada adalah kekayaan real. Termasuk memberhentikan segala sistem jual beli atau muamalah yang merugikan dan menumpuk dosa. Sistem seperti ini hanya ditawarkan oleh sistem ekonomi Islam. Dimana dalam perjalanannya sistem ini adalah sistem nonribawi.
Wallahu ‘alam bishowab.