Oleh: Dina Wachid
Muslimahtimes– Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mendesak pemerintah untuk membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan bagi Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Peserta Bantuan Iuran (PBI) yang berlaku sejak Januari 2020. Hal itu diungkapkan oleh Wakil Ketua Komisi IX Nihayatul Wafiroh saat rapat kerja gabungan (rakergab) mengenai BPJS Kesehatan di ruang Pansus B DPR, Jakarta Selatan bersama sejumlah Menteri Kabinet Indonesia Maju pada Selasa (18/2/2020) lalu.
Menanggapi hal itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa kenaikan iuran BPJS Kesehatan pada 2020 tidak bisa serta merta dicabut begitu saja atau dibatalkan. Hal ini telah ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019. Menurutnya, jika itu dicabut, maka pemerintah harus menarik seluruh dana suntikan yang selama ini telah dikucurkan untuk menambal defisit BPJS Kesehatan. Setidaknya dana yang sudah disuntik pemerintah mencapai Rp13,5 triliun pada 2019 (wartaekonomi.co.id – 18/02/2020).
Sejak dijalankan pada 2014 lalu BPJS selalu mengalami defisit. Badan yang bersulih nama dari PT Askes (Persero) itu tercatat defisit Rp 3,3 triliun pada 2014. Lalu, membengkak menjadi Rp 5,7 triliun pada 2015, dan Rp 9,7 triliun pada 2016. Defisit BPJS terus berlanjut hingga 2017 menjadi sebesar Rp 13,5 triliun. Lalu, pada 2018 menjadi Rp 19 triliun, dan pada 2019 diperkirakan sebesar Rp32 triliun.
Menkeu mengatakan bahwa defisit BPJS Kesehatan sudah dalam tahap yang mengkhawatirkan bahkan sudah sangat kronis, sehingga perlu diselamatkan. Untuk itulah perlu adanya perubahan iuran BPJS Kesehatan untuk semua kelas, baik Kelas 1, Kelas 2 dan Kelas 3 alias harus dinaikkan. Apalagi kata menkeu ini sejak tahun 2014 iuran BPJS Kesehatan tidak pernah naik.
BPJS: Pengalihan Kewajiban Negara Terhadap Rakyat
Respon menkeu ketika anggota DPR meminta penundaan kenaikan BPJS Kesehatan dengan menarik kembali dana yang sudah dicairkan untuk masyarakat sungguh menggelitik nurani. Pantaskah seorang pejabat negara yang tugasnya mengurusi kebutuhan rakyatnya mengeluarkan statement demikian? Bukannya tugas negara itu memenuhi kebutuhan rakyatnya? Terlebih lagi mereka digaji dari peluh keringat rakyat.
Dengan dalih BPJS yang terus defisit, pemerintah menaikkan iuran kesehatan masyarakat ini. BPJS merugi lalu rakyat yang harus menanggungnya? Sebuah solusi pragmatis yang menunjukkan kemalasan negara dalam menyelesaikan masalah kesehatan rakyat. Terbersit di benak bagaimana cara para pejabat itu mengelola kesehatan masyarakat, hingga menjadi amburadul. Kemana uang yang selama ini dibayarkan rakyat dalam berbagai bentuk pungutan dan pajak?
Menjadi sehat adalah kebutuhan dasar rakyat. Sudah sewajarnya rakyat ingin sehat tanpa mengeluarkan biaya, atau setidaknya dengan biaya yang murah. Kesehatan adalah hak sekaligus kebutuhan mendasar rakyat. Kesehatan juga merupakan hak rakyat yang harus dipenuhi oleh negara sebagai kewajibannya.
Namun kini ia menjadi barang yang sangat mahal di era yang serba kapital ini. Rakyat harus merogoh kocek dalam-dalam untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dari negara. Rakyat harus membayar jaminan kesehatan kepada pemerintah setiap bulannya dengan jumlah yang tak sedikit.
Dengan adanya BPJS, hak rakyat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan menjadi hilang. Sebaliknya, rakyat diwajibkan membayar sejumlah iuran tertentu kepada BPJS. Ditambah lagi ada konsekuensi tertentu jika iuran tidak dibayarkan, seperti teguran tertulis; denda; dan/atau; tidak mendapat pelayanan publik tertentu.
BPJS sejatinya bukanlah badan penyelenggara jaminan sosial (termasuk kesehatan), melainkan badan serupa asuransi sosial. Hal ini karena BPJS merupakan amanat dari UU no. 40 th. 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Dalam UU ini disebutkan bahwa BPJS merupakan badan yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial (pasal 1). Menurut pasal ini “Jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak”. Namun, pada poin berikutnya pasal ini menjelaskan bahwa mekanisme jaminan sosial diadakan dengan prinsip asuran sosial. Yaitu dimana; “Asuransi sosial adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas risiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya”.
Dari awal sudah terlihat maksud dari adanya BPJS ini adalah untuk menjadikan kesehatan sebagai kewajiban rakyat, bukan tanggung jawab negara. Yang kemudian diperjelas kembali pada pasal 19 ayat 1, dimana “Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas”.
Padahal makna ‘jaminan sosial’ jelas sangat berbeda dengan ‘asuransi sosial’. Jaminan sosial adalah kewajiban negara dan merupakan hak rakyat. Sedangkan dalam asuransi sosial, rakyat sebagai peserta yang harus membayar premi. Itu artinya rakyat harus melindungi dirinya sendiri. Rakyat harus menanggung sendiri bebannya. Sementara negara melepaskan tanggung jawabnya dalam mengurusi kebutuhan rakyatnya.
BPJS sendiri berdiri dengan berlandaskan pada Undang-Undang No. 24 Tahun 2011. Kepesertaan BPJS adalah bersifat wajib. Yaitu prinsip yang mengharuskan setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran untuk menjadi peserta BPJS (pasal 14). Itu artinya dengan UU BPJS ini pemerintah mewajibkan seluruh rakyat untuk menjadi peserta jaminan sosial. Sebagai peserta maka seluruh rakyat harus membayar premi/iuran tiap bulan.
Ini tentunya sangat membebani rakyat, apalagi yang berpenghasilan pas-pasan atau tidak tetap. Rakyat yang sudah dibebani dengan berbagai pajak, kian menderita karena mereka tak mendapatkan jaminan kesehatan yang pasti dari negara. Yang sakit kian bertambah, yang sehat kian susah karena beban biaya kesehatan yang tinggi.
Negara lepas tangan dengan urusan kesehatan rakyatnya. Malah melegitimasi pengabaian kewajibannya dengan membuat UU dan peraturan demi melepas tanggung jawabnya atas rakyat. Urusan kesehatan bukan lagi perkara yang harus dipenuhi oleh negara, melainkan harus ditanggung sendiri oleh masyarakat.
Seperti itulah hidup rakyat, laksana beban bagi negara. Seperti parasite yang harus disingkirkan sesegera mungkin. Karena kalau tidak, akan menggerogoti negara. Begitu susahnya nasib rakyat di alam kapitalisme ini.
Jaminan Kesehatan Dalam Islam
Berbagai permasalahan terkait BPJS tak bisa dilepaskan dari sistem kehidupan yang dijalankan di negeri ini. Sistem ekonomi tidak bisa berdiri sendiri. Ia berkaitan dengan sistem politik yang diterapkan. Ia juga bersinggungan dengan sistem pendidikan dan sistem sosial yang berlaku di tengah masyarakat. Satu dengan yang lainnya saling terkait. Karenanya, untuk menuntaskan masalah kesehatan harus dengan solusi yang bersifat sistemik dan menyeluruh, bukan parsial.
Sistem yang sudah rusak parah seperti sekarang ini haruslah diganti dengan sistem alternative yang sudah terbukti kegemilangannya. Adalah sistem Islam yang telah berabad-abad lamanya mampu menjamin kebutuhan rakyatnya. Mengatur segala urusan rakyat dengan cara yang baik.
Dalam Islam, negara wajib memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan dasar individu (pangan, sandang dan papan) dan kebutuhan dasar masyarakat (pendidikan, kesehatan dan keamanan).
Kebutuhan atas pelayanan kesehatan termasuk kebutuhan dasar masyarakat yang menjadi kewajiban negara. Rumah sakit, klinik dan fasilitas kesehatan lainnya merupakan fasilitas publik yang diperlukan oleh kaum Muslim dalam terapi pengobatan dan berobat. Jadilah pengobatan itu sendiri merupakan kemaslahatan dan fasilitas publik. Kemaslahatan dan fasilitas publik (al-mashâlih wa al-marâfiq) itu wajib disediakan oleh negara secara cuma-cuma sebagai bagian dari pengurusan negara atas rakyatnya. Ini sesuai dengan sabda Rasul Saw:
Pemimpin adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus(HR al-Bukhari).
Salah satu tanggung jawab pemimpin adalah menyediakan layanan kesehatan dan pengobatan bagi rakyatnya secara cuma-cuma. Dari mana dananya? Pertama, dari harta zakat, sebab fakir atau miskin (orang tak mampu) berhak mendapat zakat. Kedua, dari harta milik negara baik fai’, ghanimah, jizyah, ‘usyur, kharaj, khumus rikaz, harta ghulul pejabat dan aparat, dsb. Ketiga, dari harta milik umum seperti hutan, kekayaan alam dan barang tambang, dsb. Jika semua itu belum cukup, barulah Negara boleh memungut pajak (dharibah) hanya dari laki-laki Muslim dewasa yang kaya.
Dengan semua itu, sistem Islam menjadikan jaminan kesejahteraan untuk tiap inidvidu rakyat, baik kaya atau miskin, muslim maupun non muslim, menjadi riil dan tidak lagi mimpi. Bukan lagi mimpi atau angan-angan belaka. Maka sudah sepatutnya kita berjuang mewujudkan dengan menerapkan Sistem Islam dalam bingkai Khilafah. Wallahu ‘alam bish-showab.