Oleh : Vivin Indriani
#MuslimahTimes — Sepanjang sejarah peradaban Islam, kaum muslimin belum pernah mengalami krisis finansial parah sebagaimana yang terjadi hari ini. Salah satu faktor yang paling berpengaruh adalah adanya pemberlakuan sistem mata uang yang bersandar pada emas(Dinar) dan perak(Dirham). Tidak hanya peradaban Islam, namun mayoritas peradaban-peradaban besar dunia relatif stabil kondisi finansialnya ketika emas dan perak menjadi alat tukar perdagangan.
Sesungguhnya Dinar dan Dirham telah dikenal luas jauh sebelum Islam datang. Mata uang ini juga dicetak oleh imperium Persia dan juga kekaisaran Romawi. Kata Dinar dalam bahasa Romawi menggunakan kata Denarius (bahasa Romawi Timur), dan Dirham menggunakan kata Drachma dalam bahasa Persia. Mata uang ini beredar luas bahkan hingga ke Jazirah Arab, menjadi alat tukar dalam berbagai transaksi perdagangan. Dan sepanjang kehidupannya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah merekomendasikan perubahan apa pun terhadap mata uang. Rasulullah juga tidak melakukan pencetakan mata uang Dinar dan Dirham milik kaum muslimin sendiri. Artinya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat yang menjadi khalifah sesudahnya membenarkan praktek ini.
Dalam perkembangan berikutnya, seiring meluasnya wilayah kekuasaan Islam, mulailah dicetak koin Dinar dan Dirham dalam jumlah banyak, sebagian terdapat beberapa tambahan kalimat. Misalnya pada masa Umar ketika perputaran uang semakin pesat seiring meluasnya kekuasaan Islam hingga ke Eropa. Juga pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Beliau mengubah dengan memberikan gambar tambahan bertuliskan “Alhamdulillah” dan di baliknya bertuliskan “Muhammad Rasulullah”. Setiap 10 Dirham beratnya 4 mitsqal. Beliau sempat mencetaknya sampai akhir masa jabatannya.
Kemudian di masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan juga dicetak mata uang baru Dinar dan Dirham di bawah pengawasan pemerintah. Bentuk serta karakteristik pencetakan islami dalam penggunaan Dinar dan Dirham ini berakhir seiring dengan runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani pada 1924 bersamaan dengan berakhirnya Perang Dunia I.
Dinar dan dirham memang selalu disebut-sebut sebagai alat tukar terbaik yang pernah ada. Alat tukar ini pun menjadi acuan dalam beberapa penerapan syariat Islam seperti membayar had, zakat, fidiyah, dan lainnya. Artinya, dinar dan dirham mendapat rekomendasi dari Allah sebagai alat tukar. Seperti disebutkan oleh Imam al Ghazali, dinar dan dirham merupakan alat tukar yang paling adil dan tentu saja bebas pemalsuan. Dinar dan dirham mendongkrak perekonomian umat Islam hingga 470 tahun sepeninggal Rasulullah, sebelum mata uang ini ditinggalkan.
Dinar sendiri adalah uang koin dari emas 22 karat (91,7 persen) dengan berat 4,25 gram. Takaran 4,25 gram karena merujuk kepada salah satu hadis Rasulullah SAW, “Timbangan adalah timbangan penduduk Makkah dan takaran adalah takaran penduduk Madinah” (HR Abu Daud). Timbangan penduduk Madinah menetapkan satuan mata uang lain di luar emas seperti 1 ‘Uqiyah sama dengan 40 Dirham, 1 Dirham sama dengan 6 Daniq, 1 Dinar sama dengan 20 Qirath dan 10 Dirham sama dengan 7 Mitsqal.
Dinar Dirham Dalam Pusaran Krisis, Solusi?
Hari ini, wacana kembalinya Dinar dan Dirham sebagai alat tukar pengganti uang kertas semakin banyak diserukan. Terakhir Dr. Mahathir Muhammad saat menjabat sebagai perdana menteri(PM) Malaysia 2019 silam mengemukakan ide untuk kembali menggunakan sistem mata uang emas dan perak guna mengantisipasi sanksi ekonomi yang bisa menimpa di masa depan. Gerakan kembali pada mata uang emas dan perak ini sendiri sesungguhnya sudah lama diwacanakan. Namun akhir-akhir ini makin mengemuka terutama di tengah kondisi ketidakpastian ekonomi baik karena krisis yang bersifat siklik maupun akibat pandemi wabah.
Pada hakikatnya, dunia secara keseluruhan telah mempraktikkan sistem uang emas dan perak sejak ditemukannya uang hingga berakhirnya Perang Dunia I. Saat itu belum dikenal sistem lain selain Dinar dan Dirham. Akan tetapi ketika para imperialis membuat tipu daya melalui penjajahan ekonomi moneter, maka salah satu cara yang mereka pergunakan untuk sarana penjajahan adalah menentukan sistem mata uang sendiri. Mereka kemudian mengubah sistem uang emas ke dalam sistem uang lain.
Muncullah tabungan bank dan fiat money(uang kertas) yang tidak disandarkan pada emas atau perak. Barat imperialis kemudian membentuk IMF(International Monetary Fund) dan menjadikan dolar AS sebagai standar moneter(monetary standart) alih-alih menggunakan emas. Kertas-kertas uang ini tidak dijamin dengan cadangan logam dan tidak bisa ditukarkan dengan uang-uang logam baik emas maupun perak. Jadi uang kertas hanya mempunyai nilai menurut undang-undang agar bisa ditetapkan sebagai alat tukar. Kekuatannya hanya pada undang-undang, jika undang-undang tersebut diganti, maka berubah pula nilai uang kertas tersebut, bahkan bisa jadi tak ada nilainya sama sekali. Masyarakat pun terus-menerus menanggung dampak buruk akibat merosotnya nilai alat tukar uang kertas yang diberlakukan saat ini. Kemiskinan menjadi fenomena umum karena inflasi yang tiada henti. Krisis finansial yang bersifat siklik dan berulang tak bisa dihindari, tak lain akibat sistem uang kertas yang sepenuhnya berbasis pada riba.
Dunia membutuhkan perubahan sistemik dalam menanggulangi adanya krisis finansial global yang menghantui secara periodik. Dinar dan Dirham kini dipandang sebagai alternatif pengganti sistem moneter global dan membendung kerusakan akibat sistem perekonomian kapitalisme hari ini. Percetakan Dinar dan Dirham juga telah dilaksanakan di beberapa tempat. Di Indonesia sendiri, sejak tahun 1999 sudah mulai ada gerakan untuk menggunakan dinar dirham sebagai alat tukar dan alat transaksi. Gerakan tersebut di prakarsai oleh beberapa tokoh misalnya Zaim Saidi dan lain-lain yang kemudian meluas dan dikenal berbagai lapisan masyarakat, sehingga pada ahirnya terbentuklah PT. Islamic Mint Nusantara (IMN) yang merupakan lembaga pencetakan Dinar Dirham di Indonesia dengan berbagai macam produknya, misalnya Wakala atau yang disebut Kios DinarFirst dan sebagainya. (Mursid & Muhammad, 2013).
Selain PT. Islamic Mint Nusantara, menurut Hariadi (dalam Zami, 2018), PT. Aneka Tambang TBK juga turut memproduksi kedua logam ini, yang secara teknologi dan penguasaan bahan mampu memproduksi Dinar dan Dirham dengan kadar dan berat yang sesuai dengan standar Dinar dan Dirham di masa awal-awal Islam. Standar kadar dan berat Dinar dan Dirham di Indonesia tidak hanya disertifikasi secara nasional oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN) tetapi juga oleh lembaga sertifikasi logam mulia internasional yang sangat diakui yaitu London Bullion Market Association (LBMA).
Namun keberadaannya sebagai mata uang tentu saja tidak bisa dengan mudah diakui secara nasional, apalagi dalam lingkup internasional. Ada seperangkat undang-undang, kebijakan politik dan tentu saja hegemoni negara-negara kapitalis besar yang tidak mungkin memuluskan langkah perubahan sistem moneter global ini secara menyeluruh. Ada kendala yang bersifat ideologis dan politis dalam penentuan standar moneter internasional hari ini, yang seharusnya bisa dilawan dengan perubahan yang sifatnya juga ideologis dan politis.
Pemberlakuan mata uang tunggal Uni Eropa(Euro) di seluruh Eropa merupakan salah satu bukti bahwa kerja sistem moneter sesungguhnya tetap dipengaruhi oleh kebijakan politik. Penggunaan mata uang tunggal di Uni Eropa pertama kali disepakati pada Perjanjian Maastricht tahun 1992. Pada awalnya penggunaan mata uang bersama adalah bagian dari strategi yang lebih besar, yaitu Uni Ekonomi dan Moneter (EMU). Ada 27 negara Uni Eropa yang menjadi anggota EMU, namun hanya sebagian saja yang memiliki dan memenuhi kriteria terkait kondisi ekonomi dan moneter yang harus dimiliki sebuah negara dalam konvergensi Maastricht tersebut.
Banyak pakar ekonomi memperkirakan bahwa perubahan mata uang tunggal ini tidak akan berjalan baik, sebaliknya Eropa bisa jatuh pada jurang krisis yang amat parah. “Ada uji tuntas yang sangat lemah dalam menilai kesesuaian untuk masuk Uni Eropa dan mengadopsi mata uang Euro. Aplikasi yang sama lemah dari segi beberapa aturan yang seharusnya digunakan untuk mengawasi operasional,” ucap Jason Manolopoulos, seorang manajer dana lindung nilai dalam bukunya Greece’s Odious Debt (2011). Namun kekuatan politik jauh lebih berpengaruh ketimbang pendapat para pakar. Maka disepakatilah penetapan mata uang tunggal Euro sebagai mata uang Uni Eropa.
Di sinilah kita bisa melihat suatu gambaran bahwa keputusan politik menjadi penentu sebuah kebijakan baik dalam lingkup nasional maupun internasional. Begitu juga penerapan Dinar dan Dirham sebagai mata uang bersama masyarakat dunia tentu membutuhkan sebuah keputusan politik global. Meskipun seluruh dunia memandang bahwa sistem emas dan perak terbukti mampu bertahan dari krisis dan memiliki banyak manfaat, namun jika tidak ada kebijakan yang memback-up keputusan untuk menggunakannya sebagai sistem mata uang global, tentu semua akan sia-sia. Inilah pentingnya kaum muslimin mengaruskan perjuangan melalui pemikiran yang bersifat politis agar tercapai segala upaya terbaik kita memperoleh kehidupan bernegara, berpolitik dan berekonomi yang sehat dan tentu saja sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh syariat Islam. Wallahu ‘alam.