Menanti Religiositas Pengampu Negeri
Oleh: Ashaima Va
Muslimahtimes – Sejak dahulu kala negeri Indonesia yang gemah ripah loh jinawi ini terkenal juga dengan penduduknya yang memiliki tingkat keimanan yang tinggi. Terlebih pada era digital ini gelombang hijrah dari kaum millenial sampai generasi tuanya terbilang tinggi. Geliat masyarakat untuk kembali pada syari’at Islam pun sangat terlihat. Majlis-majlis ilmu juga ramai dihadiri.
Tingkat religiositas masyarakat pada level individu sayangnya belum dibarengi dengan religiositas pada level negara. Penguasa lebih memilih berpaling dari tuntunan Allah dalam pengaturan urusan rakyatnya.
Sebut saja dalam masalah perekonomian. Alih-alih memanfaatkan sumber daya alam untuk membiayai negara, Pemerintah lebih memilih menarik pajak pada rakyat. Kekayaan alam negeri yang berlimpah jumlahnya dikontrakkaryakan pada swasta dan swasta asing. Membuat rakyat harus membayar mahal jika ingin memanfaatkan produknya.
Investasi asing digenjot untuk produk-produk yang menguasai hajat hidup orang banyak. Akibatnya BBM dan Listrik tarifnya mahal, gas dan batu bara pun tak murah, sampai air yang notabene melimpah ruah pun berbiaya. Padahal kesemuanya adalah komoditi yang jumlahnya dan menguasai hajat hidup orang banyak. Yang harus diperoleh dengan mudah dan murah.
Dari Ibnu Abbas RA berkata, bahwa Rasulullah bersabda, “sesungguhnya Nabi saw bersabda; orang muslim berserikat dalam tiga hal yaitu; air, padang rumput (pohon), api dan harganya haram. Abu Said berkata: maksudnya: air yang mengalir” (HR Ibnu Majah).
Dari hadist tersebut sudah bisa dipahami jika air, padang rumput, dan api adalah benda-benda yang manusia berserikat di dalamnya, sehingga benda apa pun yang pada masa kini menguasai hajat hidup orang banyak haram dikomersialisasikan.
Berikutnya dalam pelayanan kebutuhan dasar pendidikan dan kesehatan, Islam menuntun agar penguasa bertanggung jawab menjamin penyelenggaraannya agar bisa diakses oleh masyarakat secara gratis. Sayangnya pemerintah lebih memilih mencabut subsidi, membuat rakyat harus membayar mahal untuk sekolah dan rumah sakit. Jaminan kesehatan berupa BPJS pun tak lebih dari iuran warga jika ingin memperoleh pelayanan kesehatan.
Saat wabah Corona melanda Indonesia, Allah swt menguji kaum muslimin dengan keberadaan virus yang tak kasat mata. Lockdown telah mematikan sendi-sendi perekonomian. Masyarakat yang terdampak harus bersabar dengan hilangnya mata pencaharian dan sulitnya memenuhi kebutuhan hidup. Mereka pun harus bersabar dengan segala kebijakan penguasa yang jauh dari syari’at Islam.
Lockdown yang ditunda-tunda pelaksanaannya telah membuat penyebaran virus jadi masif dan tak terkendali. Saat itu penguasa lebih mementingkan pencitraan bahwa Indonesia bebas virus dan masih bisa dijadikan tempat tujuan wisata. Kesehatan masyarakat dinomorduakan, mempertaruhkan income dengan nyawa.
Selain itu masa Lockdown yang tidak disertai adanya jaminan pemenuhan kebutuhan dasar dari penguasa membuat masyarakat yang kelaparan dan homeless bertambah. Tak hanya mati oleh virus ancaman kelaparan dan homeless sama mematikannya dan telah memakan korban.
Semasa rakyat berjibaku menghadapi pandemi secara mandiri tanpa penguasa terlibat di dalamnya, kebijakan nyeleneh dikeluarkan oleh para pengampu negeri. Ribuan NAPI dibebaskan dengan dalih corona. Membuat kriminalitas jadi ancaman tambahan.
Terakhir moda transportasi yang sempat ditutup kini dibuka kembali padahal penyebaran virus belum jelas surutnya. Lucunya ibadah sholat berjamaah dan sholat jum’at masih begitu ketat dilarang. Masjid sepi, saat ada masyarakat yang ingin menegakkan sholat jum’at segera ada petugas yang menghalau.
Padahal penyelenggaraan sholat jum’at saat wabah adalah fardhu kifayah. Saat di suatu daerah belum ada yang melaksanakan maka menjadi dosa bagi penduduk daerah tersebut. Sekadar ditegakkan sholat berjamaah dengan 3-15 orang makmum saja sudah cukup. Sholat jum’at tak perlu kerumunan orang. Namun tak menjadi pilihan dan prioritas oleh penguasa untuk diadakan.
Maka tak salah jika kita nyatakan jika tingkat religiositas penguasa berada di titik nadir. Masyarakat yang memiliki keimanan yang tinggi tak berpengaruh terhadap penyelesaian wabah jika tidak dibarengi ketakwaan dari para penguasa untuk mau taat pada tuntunan Allah.
Pada sistem demokrasi hampir mustahil dihasilkan pengampu negeri yang memiliki tingkat religiositas yang tinggi. Yang peduli pada rakyatnya sebagaimana dia peduli pada diri dan keluarganya. Sistem demokrasi justru melahirkan penguasa yang pengusaha. Untuk mencapai jabatan dibutuhkan dana yang tak sedikit. Selama berkuasa dia harus memutar otak untuk mengembalikan modal dan mengisi pundi-pundi pribadi lagi.
Hanya penguasa yang lahir dari sistem Illahiah sahaja yang memiliki ketakwaan yang tinggi. Tingkat religiositas yang terbentuk dari keamanahan. Jabatan adalah pertanggungjawaban, bukan hawa nafsu mengumpulkan pundi-pundi pribadi. Sistem yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW, Khilafah Rasyidah ‘ala Minhajin Nubuwwah.[]