Sayonara Bonus Demografi ?
Oleh : Vivin Indriani
Muslimahtimes – Indonesia sempat diprediksi akan mendapatkan bonus demografi pada rentang waktu antara tahun 2020-2030. Jumlah penduduk usia produktif akan meningkat dengan perkiraan mencapai 70% yang didominasi usia angkatan kerja antara 15 hingga 64 tahun. Jika angka 70% ini berdaya, maka mereka bisa menjamin keberlangsungan kehidupan masyarakat yang hidup pada angka 30% sisanya. Yakni usia tidak produktif yang didominasi kelompok usia di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun. Namun jika tidak, dalam artian separuh dari angka 70% penduduk usia produktif atau bahkan mayoritas dari mereka sama sekali tidak bisa berdaya, maka yang terjadi justru bencana demografi.
Pemberdayaan penduduk usia produktif memang salah satu solusi yang bisa diambil untuk mejadikan bonus demografi menjadi keuntungan bagi Indonesia. Sebab keberhasilan sebuah negara dalam memanfaatkan celah kesempatan (window of opportunity) dari ledakan demografi akan membuatnya menjadi negara maju yang layak diperhitungkan. Meskipun tak bisa dipungkiri bahwa gambaran keuntungan yang didapatkan masih didominasi oleh faktor kapital.
Tidak semua negara berhasil memanfaatkan bonus demografi. Jepang dan Korea Selatan termasuk salah satu negara yang berhasil. Jepang misalnya, meski telah melewati periode bonus demografi dan ada penurunan dalam jumlah penduduk yang termasuk dalam angkatan kerja, namun dampak kapitalisasi ekonominya masih bisa dirasakan hingga hari ini. Pertumbuhan ekonomi Jepang memang sempat tumbuh mengagumkan mengalahkan Amerika dan Eropa. Digambarkan satu orang penduduk usia produktif bisa menanggung beban hidup dua orang di usia tidak produktif. Bandingkan dengan Indonesia saat ini, di mana dua orang usia produktif baru mampu menanggung beban hidup 1 orang di usia tidak produktif.
Begitu juga dengan Korea Selatan yang mencatat sukses dalam menghadapi bonus demografi. Di awal tahun 1950-1960, Korea Selatan mulai mengubah strategi pendidikannya dari compulsory primary education menjadi production oriented education yang fokus pada peningkatan pengetahuan dan keahlian guna mendukung program pembangunan ekonomi. Korsel memberi prioritas tinggi bagi pendidikan generasi mereka. Selain memperbanyak sekolah kejuruan, para pemuda juga dikirim untuk belajar ke berbagai negara, termasuk ke Amerika Serikat (AS).
Dari sini mulai terlihat bahwa ekonomi Korsel kian menggeliat karena sektor industri mendapat suntikan SDM yang memiliki semangat belajar, terdidik dan terlatih. Hasilnya, Korsel menjadi salah satu negara di Asia yang mengalami peningkatan pendapatan per kapita tinggi. Berdasarkan data Bank Dunia pada 2014, pendapatan per kapita Korsel sebesar 24.565 dolar AS. Padahal di tahun 1970, angkanya hanya 284 dolar AS. Selama 44 tahun terjadi kenaikan sebesar 24.281 dolar AS. Bandingkan dengan Indonesia yang angkanya di tahun 1970 sebesar 150 dolar AS menjadi 3.492 dolar AS, atau bertambah hanya 3.342 dolar AS. Tahun 1962 merupakan masa peralihan yang penting bagi Korsel. Saat itu, produk dosmetik bruto (PDB) rata-rata 2,7 miliar dolar US. Angka itu melonjak jadi 230 miliar dolar AS pada tahun 1989. Terobosan ekonomi yang dikenal dengan sebutan “Keajaiban di Sungai Han” berbuah kesuksesan bagi Korea.
Bagaimana dengan negara-negara yang gagal memanfaatkan bonus demografi?
Brasil salah satunya. Periode bonus demografi di Brasil dimulai awal 1970-an dan berakhir pada 2018 yang lalu. Namun Brazil dianggap “gagal” mempersiapkan diri sejak awal periode bonus demografi dimulai. Saat resesi ekonomi terjadi di Brasil, pemerintah justru jauh lebih memprioritaskan alokasi sumber daya untuk kebutuhan jaring pengaman sosial dan pensiun. Langkah ini menjadikan Brasil mengalami defisit anggaran dalam jumlah sangat besar. Otomatis anggaran untuk pengembangan sumber daya seperti penyediaan akses pendidikan berkualitas, infrastruktur, kesehatan dan penyediaan lapangan pekerjaan menjadi berkurang.
Afrika Selatan juga merupakan salah satu negara yang tidak mampu memperoleh keuntungan dari adanya bonus demografi di negaranya. Permasalahan utama yang menjadi problem besar negara emas hitam ini adalah tingginya angka pengangguran. Terdapat kesenjangan antara tingkat pertumbuhan angkatan kerja yang tidak bisa diimbangi oleh tingkat pertumbuhan lapangan pekerjaan.
Ini disebabkan adanya skill mismatch antara apa yang dibutuhkan oleh dunia kerja(perusahaan) dengan apa yang bisa ditawarkan oleh pekerja. Mismatch yang ada disebabkan karena kualitas pendidikan yang kurang baik oleh karena rendahnya alokasi anggaran untuk memperbaiki kualitas mutu pendidikan. Di samping adanya kegagalan pemerintah meng-link-an antara kurikulum pendidikan dengan kebutuhan pasar tenaga kerja. Hal ini menjadikan sekitar 53% generasi milenial di Afrika Selatan menganggur karena tidak terserap pasar tenaga kerja.
Bagaimana Dengan Indonesia?
Jelang tahun 2020 yang merupakan awal terjadinya bonus demografi, Indonesia justru harus berhadapan dengan pandemi global akibat merebaknya virus Severe Acute Respiratory Syndrome-Related Coronavirus 2 atau SARS-CoV-2. Hal ini tentu membawa dampak yang cukup signifikan terutama dalam kaitan dengan sumber daya manusia usia produktif yang merupakan pilar penting dalam ledakan demografi. Ancaman terjangkiti bahkan hingga terbunuh karena virus ini menjadi hal yang sangat mengkhawatirkan meskipun rasio angka kematian di usia produktif tergolong lebih rendah dibandingkan usia non produktif.
Namun rasio angka kematian yang rendah pada usia produktif bukan sesuatu yang patut membuat lengah. Sebab ada banyak faktor yang seharusnya membuat kita khawatir tidak akan mampu melewati masa pandemi ini tanpa harus kehilangan sejumlah sumber daya dalam jumlah besar. Diantara faktor yang harus diwaspadai adalah kemungkinan tetap adanya usia produktif yang terjangkiti atau meninggal karena wabah. Ini merupakan kerugian yang berpengaruh pada angka demografi Indonesia ke depan. Kehilangan seratus pemuda usia produktif sudah cukup membuat perbandingan menjadi tidak signifikan antara usia produktif dan non produktif.
Kita juga harus memperhatikan adanya pergerakan data pada grafik penambahan kasus pasien covid-19 yang masih belum stabil, kadang terjadi lonjakan, esoknya bisa turun drastis dan bisa juga sebaliknya. Meskipun beberapa hari terakhir pemerintah gencar mengkampanyekan gerakan kurva melandai untuk menunjukkan keberhasilan PSBB di beberapa kota di Indonesia. Namun faktanya Tim Peneliti Eijkman-Oxford Clinical Research Unit (EOCRU) menunjukkan bahwa hingga saat ini Indonesia belum menampilkan kurva epidemi COVID-19 yang sesuai dengan standar ilmu epidemiologi. Jadi klaim adanya penurunan jumlah pasien penderita covid-19 patut dipertanyakan keakuratannya.
Lalu jangan lupa untuk menghitung jumlah melonjaknya angka pengangguran akibat terdampak pandemi sekaligus guncangnya perekonomian dunia akibat krisis global yang bersifat periodik. Berdasarkan data dinas ketenagakerjaan sejak Maret 2020 tercatat ada sekitar 2 juta pengangguran baru di Indonesia akibat pemutusan hubungan kerja dan dampak dirumahkannya beberapa karyawan perusahaan. Besarnya jumlah pengangguran akan mengakibatkan bonus demografi yang seharusnya bisa menjadi keuntungan berubah menjadi bencana.
Berkaca dari Brasil dan Afrika Selatan yang terlihat kewalahan dan tidak siap untuk memberdayakan penduduk usia produktif agar mampu menjadi ujung tonggak perekonomian, sehingga mereka gagal mendapatkan keuntungan dari adanya ledakan jumlah penduduk usia produktif yang terjadi di negaranya. Selayaknya Indonesia mulai melihat kepada proyek masa depan Indonesia jelang tahun-tahun bonus demografi dengan belajar dari kesalahan negara-negara yang gagal memanfaatkannya.
Jika kondisi penanganan terhadap wabah dan mereka para penduduk usia produktif yang terdampak pandemi masih seperti hari ini, maka mungkin saja kita hanya bisa pesimis, ledakan demografi tidak akan menjadi keuntungan atau bonus bagi negeri zamrud khatulistiwa ini. Alih-alih yang terjadi justru sebaliknya yakni bencana demografi.