BPJS Naik, Demokrasi Kok Tirani?
Oleh: Toreni Yurista
Muslimahtimes – Presiden Jokowi baru saja menaikkan iuran BPJS lewat Perpres No. 64 tahun 2020. Padahal Maret 2020 lalu Mahkamah Agung (MA) sudah menolak kenaikan iuran BPJS (kompas.co.id, 14/05 2020).
Dengan menabrak peraturan MA, rezim secara nyata telah membuktikan dirinya sebagai raja tega yang semena-mena dan tiran.
//Tirani Demokrasi//
Menurut Abraham Lincoln, demokrasi adalah sistem pemerintah dari, untuk, dan oleh rakyat. Sedangkan tirani adalah negara yang diperintah oleh seorang raja atau penguasa yang bertindak sekehendak hatinya (kbbi.web.id, diakses 15/05 2020).
Dengan demikian, demokrasi seharusnya adalah lawan dari tirani.
Namun, mengapa pada negara demokrasi justru terlihat tanda-tanda tirani?
Sekitar 380 tahun sebelum Masehi, dalam bukunya La Republica, Plato sudah berkata, “tirani tumbuh dari demokrasi”. Sebagian orang tidak menyangka adanya hubungan itu. Tapi begitulah faktanya.
Dunia politik modern sekarang menunjukkan bahwa negara demokratis seperti Turki, Inggris, Hungaria, Brasil, dan Amerika Serikat (AS), telah dikuasai segelintir elit. Mereka dapat berkuasa sekehendak hatinya karena berhasil mempengaruhi pendapat mayoritas rakyat dengan mengabaikan kebenaran (Lawrence Torcello, 21/11 2019).
Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Segelintir elit mengeluarkan kebijakan yang seolah-olah didukung suara mayoritas padahal sebenarnya hanya menggunakan buzzer bayaran. Suatu kebijakan yang salah bisa dianggap benar dengan legitimasi ‘suara terbanyak’.
Itulah demokrasi. Kebenaran tidak ditentukan dari fakta. Tetapi dari pendapat mayoritas. Satu ditambah satu bagi demokrasi belum tentu dua. Bisa tiga, empat, atau bahkan nol, tergantung pendapat terbanyak. Maka, segelintir elit yang menguasai pendapat terbanyak, dialah yang akan mengendalikan negara.
//Khilafah Islam Melahirkan Pemimpin Amanah//
Apakah Khilafah Islam tiran? Mereka yang membaca sejarah dengan baik akan menemukan betapa sulitnya pemimpin dalam sistem pemerintahan Islam berbuat semena-mena. Hal ini dikarenakan:
Pertama, dalam Islam kedaulatan adalah milik Allah. Benar dan salah tidak ditentukan oleh suara terbanyak, melainkan oleh hukum syara’ yang telah diturunkan Allah dan dicontohkan Rasulullah Saw.
Kedua, Islam menekankan seorang pemimpin haruslah beriman kepada Allah. Karena menyadari betapa besar hisab Allah terhadap seorang pemimpin di akhirat kelak, Umar bin Abdul Aziz sempat kehilangan nafsu makan berminggu-minggu setelah dipilih menjadi khalifah.
Ketiga, jabatan Khalifah bukanlah warisan. Jabatan Khalifah tidak asal main tunjuk. Siapa yang menjadi Khalifah haruslah diketahui rakyat lewat mekanisme baiat.
Abu Bakar As-Shiddiq diangkat sebagai Khalifah pengganti Rasulullah Saw lewat musyawarah para sahabat. Abu Bakar kemudian dibaiat oleh penduduk Madinah dan Makkah.
Keempat, keberadaan majelis umat. Majelis umat adalah suatu lembaga di mana wakil-wakil rakyat dari berbagai elemen masyarakat, Muslim maupun non-muslim, berkumpul untuk mengoreksi kebijakan Khalifah.
Meski masukan majelis umat tidak bersifat mengikat, Khalifah wajib mendengarkan mereka. Sebagaimana Rasulullah Saw dahulu senantiasa mendengarkan saran dari sekelompok sahabat dalam majelis umat. Di antara mereka adalah Abu Bakar, Umar, Hamzah, Ali, Salman al Farisi, dan
Hudzaifah.
Kelima, Khalifah bisa diturunkan. Lembaga yang berwenang dalam hal ini adalah Mahkamah Madzalim. Mahkamah Madzalim adalah lembaga yang bertugas menyelesaikan persengketaan rakyat dengan pejabat pemerintahan.
Apabila antara majelis umat dan khalifah terjadi perbedaan pendapat, maka majelis umat boleh mengadukannya kepada Mahkamah Madzalim. Jika terbukti bahwa Khalifah telah menyeleweng dari hukum syara’, maka Mahkamah Madzalim berhak memberhentikan Khalifah.
Dengan sederet mekanisme di atas, ditambah sistem sanksi yang bersifat tegas, niscaya akan terlahir pemimpin-pemimpin yang amanah dalam bingkai Khilafah Islamiyah. Mereka menjalankan kekuasaan bukan untuk mengeruk harta melainkan untuk menyejahterakan rakyatnya. []