Oleh : Bunda Atiqoh
Muslimahtimes– Sudah tiga bulan berlalu wabah covid-19 melanda negeri ini sejak diumumkan pemerintah awal Maret lalu. Namun belum terlihat tanda-tanda penurunan kasus, bahkan meningkat tajam. Jumlah kasus terkorfirmasi positif per 03 Juni mencapai 28.233 (kompas.com, 4/6/2020).
Jumlah anak yang terpapar virus ini pun tak bisa dikatakan sedikit. Ikatan Dokter Anak Indonesia mencatat, setidaknya ada 3.324 anak yang berstatus pasien dalam pengawasan (PDP) sampai 18 Mei lalu. Dari jumlah itu, 129 anak yang berstatus PDP meninggal dunia, sementara jumlah anak yang sudah terkonfirmasi positif Covid-19 berjumlah 584 anak (Tempo.CO, 3/06/2020).
Data ini menunjukkan bahwa angka anak yang sakit dan kematian anak akibat Covid-19 di Indonesia tinggi. Bahkan tertinggi di Asia Tenggara (Tempo.CO, 03/06/2020).
Data ini juga membuktikan bahwa kelompok usia anak sangat rentan terhadap virus ini. Maka perlindungan terhadap mereka haruslah optimal.Tingginya jumlah anak yang terpapar virus ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain, minimnya edukasi pada orang tua, kesenjangan informasi antara masyarakat perkotaan dan pedesaan terkait perilaku selama masa pandemi, faktor abai dan lengahnya anak-anakpun tak bisa dianggap remeh.
Ditengah tingginya kasus anak terpapar virus Corona, pemerintah berencana membuka kembali sekolah pada kebijakan new normal. Wacana ini membuat resah dan khawatir sebagian besar orang tua. Jika sekolah kembali dibuka, maka akan ada interaksi tatap muka, perkumpulanpun tak bisa dihindari walau ada opsi membatasi jumlah siswa yang masuk dan menerapkan protokol kesehatan.
Anak bukanlah miniatur orang dewasa. Lalai dan lengahnya anak pada protap kesehatan tak bisa diabaikan. Siapa yang bisa menjamin bahwa anak-anak takkan bermain dan bercanda dengan teman-temannya hingga social distancing pun dilanggar? Apakah mereka bisa disiplin ganti masker setiap 4 jam pemakaian? Atau bahkan mereka bergantian mencoba masker teman-temannya karena karakter maskernya lucu? Berbagai kemungkinan bisa saja terjadi. Apalagi anak-anak yang menggunakan transportasi publik menuju sekolah, peluang terpapar virus semakin besar. Ditambah lagi daya tahan tubuh anak berbeda dengan daya tahan tubuh orang dewasa. Sehingga anak digolongkan pada kelompok usia yang rentan.
Menurut epidemiolog dr Dicky Budiman M.Sc.PH, PhD (Cand) Global Health Security, sebaiknya pembukaan sekolah ditunda hingga pandemi betul-betul terkendali (kompas.com, 2/6/2020). Membuka kembali sekolah kala pandemi belum usai akan memicu munculnya gelombang kedua virus corona. Alih-alih virus ini akan enyah, bahkan akan semakin masif. Individu yang imunnya kuat akan bertahan, sedangkan yang imunnya lemah terancam kematian.
Memang menjadi dilematis bagi pengambil kebijakan, terlalu lama di rumah efektifitas belajar rendah dan anak-anak pun jenuh dengan situasi ini. Di sisi lain, dibukanya kembali sekolah memberi peluang semakin menyebarnya virus ini. Namun keselamatan jiwa hendaknya menjadi prioritas utama daripada pertimbangan-pertimbangan yang lain.
Panjangnya masa pandemi dan semakin masifnya serangan virus corona adalah buah dari inkonsistenan pemerintah dalam menetapkan kebijakan. Sejak awal virus ini muncul hanya ditanggapi dengan candaan. Tanpa ada upaya serius untuk mempersiapkan jika sewaktu-waktu wabah melanda. Maka ketika wabah benar-benar melanda, pemerintah gagap dan tidak siap menghadapi pandemi covid-19. Ditambah lagi kebijakan yang tidak sinkron antara pemerintah pusat dan daerah, menjadikan penanganan wabah ini karut marut. Kebijakan lain yang dikeluarkan pun tidak tepat sasaran. Pemerintah setengah hati melayani rakyatnya, rakyat pun setengah mati untuk bertahan hidup. Pertimbangan ekonomi lebih utama daripada nyawa rakyat.
Inilah akibat diterapkannya sistem sekuler kapitalisme. Sistem yang memisahkan agama dan kehidupan. Penguasa tidak merasa harus mempertanggungjawabkan kepemimpinannya kepada Allah. Sehingga kebijakan yang diambil pun tidak solutif, hanya mempertimbangkan untung rugi. Ujung-ujungnya yang diuntungkan adalah pemilik kapital di lingkaran kekuasaan. Maka hak rakyat terabaikan, rakyat dibiarkan berjuang sendiri untuk bertahan hidup di tengah pandemi. Hukum rimba pun berlaku, yang kuat bisa bertahan, yang lemah akan tumbang. Dengan demikian akan sulit memprediksi kapan pandemi ini akan berakhir.
Pada sistem ini, menyelesaikan satu masalah menimbulkan masalah lain. Menyelesaikan masalah pendidikan dengan membuka kembali sekolah saat pandemi belum berakhir meniscayakan terancamnya jiwa pendidik, tenaga pendidik dan anak didik. Diwacanakannya berbagai opsi yang bisa dilakukan saat kembali ke sekolah, tak menjamin selamatnya jiwa guru dan siswa. Maka pemerintah seharusnya hadir sebagai pelindung rakyat dari wabah ini. Pendidikan yang aman dari ancaman covid-19 adalah hak rakyat yang terabaikan jika pemerintah bersikeras tetap membuka sekolah di tengah wabah.
Andai sejak awal pemerintah mengambil kebijakan penguncian areal wabah (lockdown) wilayah Jabodetabek sebagai epicenter covid-19, niscaya tidak akan ada kegalauan nasional seperti saat ini. Namun, karena alasan ekonomi, pemerintah enggan menerapkannya. Akibatnya, virus semakin tersebar tatkala arus keluar masuk Jabodetabek tak ada pembatasan sedikitpun. Dan saat ini, penyebaran virus menjadi tak terkendali, 32 propinsi di Tanah Air terdampak Covid-19.
Kesemrawutan penanganan wabah ini takkan terjadi jika mencontoh apa yang dilakukan oleh Khalifah Umar Bin Khattab. Dalam mengambil suatu kebijakan Khalifah Umar meminta pendapat orang yang dianggap punya keahlian. Termasuk sahabat Nabi yang terkenal cerdas, yaitu Abdurrahman bin Auf. Abdurrahman bin Auf berkata “Saya tahu tentang masalah ini. Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Jika kalian berada di suatu tempat (yang terserang wabah), maka janganlah kalian keluar darinya. Apabila kalian mendengar wabah itu di suatu tempat, maka janganlah kalian mendatanginya.”
Dalam kondisi merebaknya wabah, Khalifah Umar mengambil keputusan yang tepat. Tujuannya adalah menyelamatkan lebih banyak nyawa kaum muslimin dan manusia secara umum, agar tak binasa karena wabah. Khalifah Umar menyelesaikan merebaknya wabah dengan berpedoman pada hadits Rasul Saw, yang merupakan wahyu dari Allah Swt.
Seandainya solusi Islam yang diterapkan, tentu permasalahan tak akan serunyam hari ini. Karena Islam bersumber dari wahyu Allah Swt yang mencakup aturan yang komprehensif. Islam menawarkan solusi yang tepat untuk menyelesaikan semua persoalan umat manusia. Tak terkecuali masalah-masalah yang timbul akibat adanya wabah, sehingga masa pandemi segera berakhir.
Penguasa pada sistem Islam akan menjadi garda terdepan dalam melindungi rakyatnya, menjamin kesejahteraannya, menjamin kesehatan dan pendidikannya. Tak ada lagi pertimbangan ekonomi jika nyawa rakyat menjadi taruhannya. Dan seorang pemimpin (penguasa) esok akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Sehingga ia takkan gegabah menetapkan kebijakan yang mengorbankan rakyatnya. Pemimpin seperti ini hanya akan terwujud jika sistem Islam diterapkan sebagai sebuah konstitusi dalam bingkai khilafah islamiyah.
Wallahu a’lam bishshawab