Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
Muslimahtimes – Sebuah notifikasi berbahasa Inggris muncul dilayar messenger Nita (bukan nama sebenarnya), “Hi friend ,How are you ,So nice to meet you friend ,Where are you from?”. Terlihat wajah pria perlente separo baya dengan pakaian rapi tersenyum di foto profil. Tak lama, Anita membalas,” Fine Thank you, I am from Indonesia”. Selanjutnya obrolan menghangat, tak hanya bertanya kabar, namun juga status, pekerjaan dan lainnya.
Hari itu berlalu dengan kebanggaan, ada bule yang menjadi temannya menambah koleksi teman FB yang kesekian ribu. ” Lumayan, percakapan dengan bule itu bisa sekaligus latihan conversation, sudah lama sejak lulus kuliah tak lagi aktif berbahasa Inggris” begitu pikir Nita.
Pada hari itu pula Nita mengijinkan no Whatsappnya diakses Ronald, bule asal Manchester, London. Nita menerima begitu saja alasan sang bule bahwa ia jarang aktif di Facebook.
Keesokan harinya, muncul nomor kontak baru di layar WA Nita, ternyata Ronald. Membuncah perasaan Nita, merasa dihargai dan ia menikmati rasa yang sudah lama hilang, meskipun ia adalah wanita bersuami. Namun ia merasa suaminya tak sesopan dan selembut Ronald ketika berbicara. Ternyata hal itu hanya berlangsung sekejab, setan telah menyiapkan seperangkat jeratan lainnya.
Berbagai foto dan video mengalir membuai perasaan Nita, tak apalah sedikit membuka hati untuk pria ini, toh kami hanya berbincang di media sosial tanpa ada kontak fisik. Begitu terus pikiran Nita guna meyakinkan batinnya yang berontak dan menggugat dirinya yang sudah tak berada di jalan yang lurus. Percakapan dengan suami terasa hambar, begitupun canda tawa dengan anak-anak berkurang. Tak ada yang lebih penting di hari-harinya saat itu selain Ronald, duda dengan dua anak yang punya show room mobil di belahan dunia yang lain.
Bahkan postingan teman di Facebook yang memperingatkan kaum hawa untuk tidak chatting dengan pria asing selain suaminya tak lagi ia anggap sebagai hidayah Allah, pengingat sebelum ia benar-benar jauh. Dan benarlah, tak butuh waktu lama untuk memulai sebuah teror dalam hidupnya. Neraka itu telah dibuka.
Suatu pagi, Ronald memberi kabar bahwa ia sedang berbelanja dengan kedua anaknya dalam rangka memberinya hadiah, ini atas inisiatif kedua anaknya yang senang ayahnya punya teman wanita yang mereka anggap sebagai ibu baru. Ronald juga mengabarkan bahwa hadiah itu akan segera dikirimkan ke Indonesia, bersiap-siap saja. Rasa cinta telah menutup akal sehatnya. Sehari setelahnya pihak ekspedisi menghubungi Nita dan memastikan kelengkapan identitas Nita agar barang bisa dikirim ke alamat.
Tak terkira kegembiraan Nita, membayangkan betapa banyaknya hadiah yang akan ia terima, namun Ronald memberi khabar , ia memasukkan uang senilai 5500 Poundsterling dalam paket. Yang jika dirupiahkan senilai dengan ratusan juta rupiah. Dan lebih mengejutkan, Ronal mengungkapkan uang itu nanti untuk pembelian rumah dan mobil ketika Ronald dan anak-anak berkunjung ke Indonesia.
Untuk itu Ronald berharap Nita bisa segera menerima paket ini sebelum ada scanner dari pihak bandara . Suasana berikutnya sungguh menjadi neraka bagi Nita sebab ia hilir mudik ATM dan rumah untuk transfer berbagai pembayaran denda dan pinalti akibat paketan itu. Sementara paket yang dijanjikan tak kunjung datang.
Hingga suatu saat Nita tersadar, ketika pihak ekspedisi dan Ronald mendesak dirinya untuk kembali mentransfer sejumlah uang . Bahkan Ronald mengancam akan bunuh diri karena Nita dinilai sudah mengecewakan kedua anaknya, tak serius melakukan sejumlah pembayaran.
Ingatannya pulih dan ia tersadar telah menjadi korban penipuan. Segebok bukti ketidak normalan syarat pembayaran baru tampak kasad mata detik itu, namun sayang uang senilai Rp 32 juta telah raib terbawa sosok cinta abal-abal. Apa dikata, nasi sudah menjadi bubur. Ternyata ia telah menjadi korban penipuan online internasional. Bagaimana cara mencari pembelaan dan keadilan?
Sistem hari ini tak mendukung, yang ada pembuatan berita acara karena pelaporan malah buntung. Mengapa kejahatan online yang memanfaatkan hubungan perasaan marak dan tak terlacak? Sebab peran negara minim, terkait hubungan internasional yang semestinya pengaturannya hanya dilakukan oleh negara ini beralih kepada individu atau malah mafia borju yang mampu menekuk, menebas dan mematikan hukum internasional.
Tak pelak, rakyat butuh sistem pengaturan hubungan luar negri , komunikasi dan transaksi yang menjamin sebuah muamalah syar’i. Kapitalisme Sekuler tak menyediakan itu sebab landasan ketika mereka berbuat adalah manfaat. Ketakwaan hanya berhenti pada tataran individu makin membuat para penjahat tak gentar. Itupun berada pada titik terlemah. Butuh pula sistem hukum dan sanksi yang benar-benar memberikan keadilan. Dan itu mutlak butuh sistem pengaturan Islam. Wallahu a’ lam bish showab.