Oleh. Siti Masliha, S.Pd
(Aktivis Muslimah Peduli Gererasi)
#MuslimahTimes — Bulan september mendatang pemerintah hendak menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkda) serentak di seluruh daerah di Indonesia. Ada yang spesial pada Pilkada tahun ini. Pasalnya pesta lima tahunan untuk memilih Kepala Daerah ini diselenggarakan pada saat pandemi corona. Pandemi saat ini belum bisa diprediksi kapan akan mereda. Saat ini pemerintah telah menggodok segala aturan untuk menyambut pesta tersebut. Protokoler kesehatan pun ditetapkan agar Pilkada dapat berjalan lancar.
Hal ini sebagaimana disampaikan Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo meminta penyelenggaran Pilkada 2020 benar-benar paham daerah mana yang masuk zona hijau, kuning dan merah Covid-19. Hal tersebut menurut Doni penting untuk menghindari penyebaran virus corona.Berdasar data Gugus Tugas, terdapat 43 daerah yang tidak terdampak Covid-19, 72 daerah risiko ringan, 99 daerah risiko sedang, dan 40 daerah risiko tinggi. “Data ini akan berkembang terus setiap minggu, besar harapan kami seluruh penyelenggara ikuti perkembangan yang ada,” ujarnya.Gugus Tugas menurut Doni telah merekomendasikan agar penyelenggaraan Pilkada benar-benar menerapkan protokol kesehatan secara ketat. (Liputan6.com 11/06/2020)
Jika kita tarik benang merah maka Pilkada tahun ini tidaklah efektif. Ketidakefektifan tersebut dapat dilihat. Pertama, mahalnya biaya pesta demokrasi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Pilkada menelan dana yang tak murah. Dana ini bersumber dari negara maupun dari calon Kepala Daerah yang akan naik ke panggung perebutan pemimpin daerah. Menurut Menteri Dalam Negeri (Mendagri) ada sebanyak 204 pemerintah daerah yang memerlukan tambahan biaya dari APBN. “204 daerah sudah komunikasi, total yang memerlukan tambahan APBN yaitu Rp 1,02 triliun,” kata Tito dalam rapat dengan Komisi II, Kamis (11/6/2020). Rincian Rp 1,02 triliun itu adalah untuk KPUD Rp 908,44 miliar, Bawaslu daerah Rp 76,36 miliar, pengamanan Rp 35,78 miliar. (Liputan6.com 11/06/2020)
Kondisi ini sangatlah kontra produktif dengan fakta yang kita indera saat ini. Di tengah pandemi corona yang masih tinggi penyebaraannya, pemerintah rela menggelontor dana yang cukup besar untuk membiayai Pilkada. Sedangkan penanganan pandemi corona masih membutuhkan dana yang cukup besar.Hal ini berimbas pada minimnya dana penanganan pandemi. bisa dilihat dari berbagai hal misalnya minimnya fasilitas yang ada di Rumah Sakit untuk menangani pasien Corona. Banyak RS yang fasilitasnya sangat minim sehingga banyak pasien yang terlantar dan para tenaga kesehatan kesulitan dalam menangani pasien corona.
Selain minimnya fasilitas di RS, APD (Alat Pelindung Diri) bagi NaKes juga sangat kurang. Padahal APD adalah alat yang wajib dipakai oleh dokter maupun NaKes untuk memproteksi diri dari penyebaran virus corona. Namun cerita NaKes yang kekurangan APD santer kita dengar di berbagai daerah di Indonesia. Mereka banyak yang menerima sumbangan APD baik dari perorangan maupun dari perusahaan. Jeritan mereka seolah tak di dengar oleh pemerintah.
Selain APD, Tunjangan NaKes banyak yang belum diberikan. Banyak NaKes yang menggadaikan barang-barangnya untuk menyambung hidup keluarganya. Miris sekali kondisi kondisi ini, NaKes adalah pahlawan ditengah pandemi namun kesejahteraannya tidak dipenuhi. Banyak cerita NaKes yang tidak diberikan tunjangan atau tunjangannya telat sehingga mereka harus memutar otak untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Dari sini pemerintah harus introspeksi diri. Jangan sampai uang rakyat digunakan untuk pesta demokrasi, namun faktarnya rakyat mati di lumbung padi. Prioritaskan keselamatan dan kesejahteraan rakyat jangan sampai rakyat nyawanya terenggut kembali.
Kedua, pilkada berpotensi menjadi cluster baru penyebaran virus corona. Virus corona grafiknya masih tinggi, belum bisa deprediksi kapan akan berakhir. Namun jika pemerintah bersikeras untuk menyelenggarakan pilkada hal ini akan berpotensi menjadi cluster baru penyebaran virus corona. Meskipun pemerintah telah menggodok protokoler kesehatan. Namun hal ini tidak menjamin virus ini tidak berkembang. Kerena jika kita mengikuti Pilkada dari tahun ke tahun selalu terjadi kerumunan manusia yang cukup besar. Kita harus belajar dari apa yang dilakukan oleh Korea Selatan (Korsel). Gara-gara sekolah di buka lonjakan penderita corona semakin meningkat. Padahal kurva corona di Korsel pada saat itu sudah menurun. Lantas bagaimana dengan negara kita? Tanda-tanda melandai saja belum kelihatan. Dari sini pemerintah harus tegas menentukan sikapnya. Jangan sampai memaksakan melaksanakan pesta demokrasi lagi-lagi nyawa rakyat yang dikorbankan.
Ketiga, tidak semua rakyat bisa naik ke panggung Pilkada. Banyak cerita rakyat yang ingin naik ke panggung Pemilihan Kepala Daerah namun cita-cita mereka harus berhenti karena tidak mempunyai biaya. Benar, untuk masuk menjadi calon Kepala Daerah membutuhkan biaya yang tidak murah. Pasangan calon (Paslon) Kepala Daerah harus menyediakan uang jutaan bahkan milyaran untuk membiayai pemilihan tersebut. Menurut Kementerian Dalam Negeri menyebutkan, calon bupati atau wali kota butuh dana Rp 20 hingga Rp 100 miliar untuk memenangi Pilkada.
Biaya ini digunakan untuk tim sukses menyelenggarakan berbagai even. Misalnya konser musik, bagi-bagi kaos, untuk baliho, bahkan untuk menyuap rakyat agar memilih salah satu Paslon. Hal ini membuka lahan untuk melakukan korupsi ketika Paslon menjadi Kepala Daerah.
Keempat, buruknya sistem demokrasi. Demokrasi adalah pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Sebelum tahun 2005, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pilkada. Kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dimaksud mencakup: Gubernur dan wakil gubernur untuk provinsi. Bupati dan wakil bupati untuk kabupaten. Wali kota dan wakil wali kota untuk kota (Wikipedia)
Tujuan pilkada langsung adalah agar masyarakat dapat secara langsung menyalurkan aspirasinya. Namun tujuan ini jauh panggang dari api. Mulai dari masalah teknis sampai masalah esensi. Banyak masyarakat yang tidak mengerti terkait dengan teknis pencoblosan. Banyaknya gambar yang terpampang di kertas suara membuat rakyat bingung dalam memilih. Maka tak sedikit dari mereka yang mencoblos gambar yang ada di dalam kertas suara. Selain itu banyak rakyat yang tidak kenal dari Paslon yang akan dipilih. Hal ini sesuai dengan pepatah memilih kucing di dalam karung, yang penting memilih tanpa tau visi misi paslon yang di coblos.
Kelima,rakyat hanya dimanfaatkan suaranya saja. Pada saat Pilkada Paslon turun ke desa-desa menyapa rakyat, memberikan penyuluhan kepada rakyat. Setelah naik ke singgasana kekuasaan mereka rahib bak di telan bumi. Rakyat membutuhkan pengurusan dari kepala daerah namun faktanya banyak yang tak kunjung datang. Selain itu faktanya pilkada langsung tidak merubah nasib rakyat. Banyak rakyat yang konsisinya tidak berubah sebelum dan sesudah pilkada.
Keenam, Mewakili sejumlah orang. Tak ada makan siang yang gratis. Untuk naik ke Pilkda membutuhkan biaya yang fantastis. Biaya ini tidak mungkin dicover hanya dari Paslon dan timsesnya. Mereka butuh bakingan dana yang cukup besar. Para penyokong dana adalah para pengusaha atau para konglomerat. Hal ini membuat para penyokong dana meminta imbalan atau balas jasa setelah paslon naik menjadi pejabat daerah. Tak ayal banyak proyek-proyek yang sukses atau di goolkan di daerah karena ini sebagai balas budi dari para penyokong dana.
Jelas teori demokrasi untuk rakyat hanyalah omong kosong belaka. Sejatinya demokrasi hanya untuk penguasa dan pengusaha yang punya modal raksasa. Sedangkan rakyat hanya dimanfaatkan suaranya saja. Inilah sejatinya demokrasi buatan manusia. Sistem yang cacat dari teorinya sehingga melahirkan peraturan yang tidak sempurna. Saatnya kini kita campakkan demokrasi, kita beralih kepada sistem buatan Allah yang maha kuasa.
Dalam sistem Islam tidak ada pemilihan kepala daerah. Kepemimpinan dalam Islam bersifat terpusat. Kepala daerah dipilih langsung oleh Khalifah sebagai kepala negara. Khalifah bertanggung jawab untuk mengontrolnya. Khalifah mengangkat Wali yang akan ditempatkan di beberapa daerah untuk membantu tugasnya. Wali adalah amir atau pemimpin di suatu wilayah. Khalifah wajib mengontrol aktivitas-aktivitas para wali, Khalifah juga harus senantiasa melakukan pengawasan secara ketat terhadap para wali. Pengontrolan ini bisa dilakukan oleh Khalifah itu sendiri atau Khalifah menunjuk orang yang akan mewakilinya. Dalam mengambil setiap kebijakan Khalifah senantiasa menyampaikan kepada Wali, hal ini dimaksudkan agar kebijakan tersebut sampai pada daerah yang menjadi tanggung jawab Wali.
Khalifah juga harus senantiasa mengontrol urusan para Wali dan memonitor urusan-urusan mereka. Sebagaimana Khalifah juga wajib mengumpulkan para Wali untuk mendengarkan keluhan-keluhan yang dirasakan oleh masyarakat. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Umar Bin Khaththab sangat ketat mengontrol para Wali. Beliau menunjuk Muhammad bin Maslamah untuk menyelidiki kondisi para Wali dan mengaudit mereka. Umar mengumpulkan para Wali di musim haji untuk melihat apa yang mereka lakukan, beliau juga mendengarkan apa yang menjadi keluhan-keluhan rakyat, mengingatkan mereka tentang tentang urusan kepemimpinan, dan menyampaikan kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Umar.
Jelas terjadi perbedaan yang amat mencolok pemilihan Kepala Daerah dalam sistem demokrasi dengan sistem Islam. Dalam Islam siapa saja boleh menjadi Kepala Daerah asal dia mampu dan amanah dalam menjalankan tugasnya. Sebagai Kepala Daerah harus berdasarkan Al quran dan Sunnah. Selain itu pemilihan Kepala Daerah tidak membutuhkan modal yang besar.Â