Oleh: Afifah Demolisher (Pemerhati Politik di Surabaya)
Muslimahtimes – Dilansir dari kompas.com, pihak Istana Kepresidenan buka suara soal tuntutan ringan bagi dua terdakwa pelaku penyiraman air keras terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan. Jaksa penuntut umum menjatuhkan tuntutan satu tahun penjara bagi dua terdakwa yang merupakan anggota Polri. Tuntutan ringan yang dijatuhkan pada Kamis (11/6/2020) itu langsung ramai dibicarakan oleh publik karena dianggap tak memenuhi rasa keadilan bagi korban.
Inilah contoh bahwa hukum buatan manusia sungguh tidak adil. Hukuman yang dijatuhkan tidak bisa membuat hati tenang dikarenakan hukuman tidak sepadan atau setimpal terhadap korban yang telah kehilangan anggota badan yakni hilangnya penglihatan mata korban sebelah kanan dan berkurangnya penglihatan mata sebelah kiri (cacat permanen).
Berbeda dengan sistem hukum pidana Islam yang disyariatkan untuk mencegah manusia dari tindak kejahatan. Allah SWT berfirman dalam surah al Baqarah [2]: 179 “Dalam hukum qishash itu ada (jaminan keberlangsungan) hidup bagi kalian, hai orang-orang yang berakal supaya kalian bertakwa”. Maksudnya, terdapat hikmah yang sangat besar dalam hukum Qishash, yaitu menjaga jiwa. Artinya orang yang berakal sehat sadar, jika ia melakukan pembunuhan, dia akan terancam diberi sanksi berupa hukuman mati, maka dia tidak akan berani melakukan pembunuhan. Di sinilah fungsi pencegahan (zawajir), yakni mencegah manusia dari tindak kejahatan.
Islam memiliki metode untuk menjaga dan memelihara syariat Islam dengan hukum Islam yang bisa menjamin tegaknya mabda Islam yang sebelumnya telah berhasil ditegakkan. Segala bentuk kemaksiatan adalah kriminalitas yang harus dijatuhi sanksi.
Jelas kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan adalah sebuah bentuk kejahatan. Dan kejahatan adalah perbuatan tercela (al qabih) sedangkan yang tercela (al qabih) adalah apa saja yang dicela oleh sang pembuat hukum yakni Allah SWT. Ketika syariah telah menetapkan suatu perbuatan tercela, maka sudah pasti perbuatan itu disebut kejahatan, tanpa memandang lagi tingkat tercelanya. Artinya tidak lagi dilihat besar kecilnya kejahatan. Syariah telah menetapkan suatu perbuatan sebagai dosa (dzunub) yang harus dikenai sanksi. Jadi dosa itu substansinya adalah kejahatan.
“Kami telah menetapkan terhadap mereka didalamnya (taurat) bahwa jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qishashnya(balasan yang sama). Barang siapa yang melepaskan (hak qishash)nya, maka itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang dzalim.” (QS Al Maidah [5]: 45)
Jelas, pelaku harus menerima hukum jinayah yang ditujukan atas penganiayaan terhadap badan, yang mewajibkan qishash (balasan setimpal) atau diyat (denda). Maksud dari jinayah di sini adalah sanksi-sanksi yang dijatuhkan atas penganiayaan. Dalam sanksi-sanksi ini terdapat hak manusia. Selama berkaitan dengan hak manusia, paka pemilik hak boleh memberikan ampunan atau permaafan.
Dorongan dan motivasi untuk memberi maaf diuraikan dalam beberapa hadis Rasulullah saw. diantaranya beiau bersabda, “Tidaklah suatu perkara yang didalamnya terdapat qishash diajukan kepada Rasulullah saw. kecuali beliau memerintahkan untuk memberi maaf.”
Setiap orang akan berfikir berjuta kali untuk melakukan penganiayaan dan pembunuhan karena ancaman pidananya sangat berat , yaitu qishash, atau diyat yang nilainya, sebagaimana riwayat Abdullah bin Amru bin al-Ash, “Untuk pembunuhan seperti sengaja sebesar 100 unta yang 40 ekor adalah unta yang sedang bunting.” Jika diuangkan diyat tersebut dapat mencapai milyaran rupiah.
//Keteladanan dalam Peradilan//
Dalam hal penegakan hukum, Rasulullah Saw. telah memberikan teladan sebagai seorang pemimpin yang menegakkan hukum dengan adil. Penegakan hukum tanpa pandang bulu. Asiyah ra. menceritakan : Sungguh orang-orang Quraisy menghawatirkan keadaan (nasib) wanita dari Bani Makhzumiyah yang (kedapatan) mencuri. Mereka berkata, “Siapa yang bisa melobi Rasulullah saw.? Mereka menjawab tidak ada yang berani kecuali Usamah bin Zaid yang dicintai Rasulullah saw.” Usamah pun melobi Rasulullah saw. (untuk meringankan atau membebaskan si wanita tersebut dari hukuman potong tangan). Rasulullah saw. kemudian bersabda, “Apakah engkau akan memberi pertolongan berkaitan dengan hukum Allah ?” Beliau lalu berdiri dan berkhutbah, “Wahai manusia, sungguh yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika ada orang yang mulia (memiliki kedudukan) diantara mereka yang mencuri, maka mereka biarkan (tidak dihukum). Namun jika yang mencuri adalah orang yang lemah (rakyat biasa), maka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri akan memotong tangannya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Sungguh adil ketika syariat Islam hadir dalam penerapan di dalam bentuk Negara. Hadirnya Khilafah Islamiyah tidak bisa ditolak lagi. Al Qadhi Abu Ya’la al-Farra menyatakan: “Imam diwajibkan untuk mengurus urusan umat ini. Yaitu sepuluh urusan. Pertama, menjaga agama berkenan dengan ushul yang telah disepakati oleh umat terdahulu. Jika orang yang bersekongkol mempunyai kesalahan terhadapnya, dia bertanggung jawab untuk menerangkan hujjah dan menyampaikan kebenaran kepadanya. Dia juga yang bertanggung jawab untuk melaksanakan hak dan sanksi, terpelihara dari kesalahan. Dan umat ini akan tetap terjaga dari ketergelinciran.”
Imam Ali bin Abi Thalib berkata: “Dengan adanya kepemimpinan itu hukum-hukum Allah akan bisa ditegakkan, jalan-jalan akan terjaga keamanannya, musuh-musuh akan tetap dapat dihadapi dan juga hartta fa’i akan tetap bisa dibagikan.”
Wallahu a’lam