Oleh : Hana Annisa Afriliani, S.S.
Penulis Buku
Muslimahtimes– Wajah dunia tampak semakin kelam. Berbagai kerusakan terjadi di semua lini kehidupan. Dan ini berlangsung sistemik, bukan semata kesalahan orang per orang. Betapa tidak, sekian lama kita hidup dalam dekapan sistem sekular liberal. Yang menjadikan agama sebatas konsumsi di ranah privat individu saja. Sementara dalam urusan publik, agama dijauhkan seolah-olah dengan kehadiran agama manusia akan mundur.
Namun lihatlah dampaknya, sekularisme membuat manusia terombang-ambing dalam kehidupan yang suka-suka. Tak terarah, kecuali atas insting dan kepentingan masing-masing. Padahal Allah Swt, Sang Pencipta manusia telah menurunkan Islam dengan seperangkat aturan kehidupan yang lengkap bagi manusia. Cukuplah ikuti petunjuknya, maka manusia akan selamat dunia akhirat.
Sebaliknya, tidak menjadikan Islam sebagai sistem hidup, manusia akan diselimuti kesengsaraan dan kesempitan.
Allah swt telah berfirman:
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit” (QS. Ath-Thaha: 124).
Sudah selayaknya Islam diterapkan secara keseluruhan dalam kehidupan, baik dalam skala individu, masyarakat, maupun negara. Karena Islam adalah rahmat bagi semesta alam. Jalan keselamatan dan kemuliaan.
Sejarah telah merekam kegemilangan sistem Islam ketika menjadi lentera dalam kegelapan. Peradaban Islam tegak dengan gagah selama lebih dari 1400 tahun lamanya. Dan ketika itu, manusia, baik Muslim maupun non muslim hidup penuh kelayakan dan keadilan di bawah kepemimpinan sistem Islam yang agung.
Ingatkah ketika peradilan dalam sistem Islam lebih memenangkan seorang Yahudi daripada Amirul Mukminin Ali Bin Abi Thalib dalam kasus pencurian baju besi? Hal tersebut karena hakim mendapati 2 orang saksi yang dihadirkan tak memenuhi syarat syari, yakni mereka belum mencapai usia baligh. Begitulah Islam, tegak di atas keadilan berlandaskan pada wahyu. Tak memihak, tak juga pandang bulu. Akan tetapi, siapa mengira jika keadilan yang ditampakkan tersebut justru memancarkan keindahan dan kebenaran Islam kepada kaum nonmuslim. Hingga akhirnya banyak yang masuk Islam secara berbondong-bondong.
Kisah lain tentang perlakuan Islam terhadap warga nonmuslim tercatat dalam buku The Preaching of Islam karya T.W. Arnold. Beliau menuliskan: “Perlakuan pada warga Kristen oleh pemerintahan Ottoman -selama kurang lebih dua abad setelah penaklukkan Yunani- telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa. Kaum Kalvinis Hungaria dan Transilvania, serta negara Unitaris (kesatuan) yang kemudian menggantikan kedua negara tersebut juga lebih suka tunduk pada pemerintahan Turki daripada berada di bawah pemerintahan Hapsburg yang fanatik; kaum protestan Silesia pun sangat menghormati pemerintah Turki, dan bersedia membayar kemerdekaan mereka dengan tunduk pada hukum Islam… kaum Cossack yang merupakan penganut kepercayaan kuno dan selalu ditindas oleh Gereja Rusia, menghirup suasana toleransi dengan kaum Kristen di bawah pemerintahan Sultan.”
Bukankah itu menjadi gambaran yang sangat menakjubkan?
Sungguh jelaslah betapa Islam dihadirkan Allah sebagai pelita bagi peradaban. Tanpanya, kegelapan menyergap. Manusia dilanda kesengsaraan demi kesengsaraan. Maka, patutlah kita bermuhasabah, apakah segala musibah yang menyelimuti kita diakibatkan karena kita sudah terlalu jauh berpaling dari syariat Islam yang agung?
Saatnya kita kembali kepada fitrah. Menjadi hamba-hamba Allah yang taat. Menjadi manusia-manusia yang berakal. Sehingga mampu membedakan antara yang hak dan yang batil. Mampu membedakan yang original dan yang artifisial. Sejatinya sistem Islam adalah sistem yang original berasal dari Allah Sang Maha Pencipta. Lantas, tunggu apa lagi? Saatnya kita kembali kembali ke pangkuan Islam kaffah, menjadi pejuangnya, demi peradaban yang terang benderang oleh naungan ridaNya. Wallahu’alam.