Oleh: Sherly Agustina, M.Ag.
(Member Revowriter dan WCWH)
Muslimahtimes – “Selalu ada polemik dan kontroversi, beginikah demokrasi? Di tengah pandemi tiba-tiba merancang sebuah RUU, yang isinya tak ada relevansinya dengan pandemi”
Di dalam sebuah naskah akademik dijelaskan kalau RUU HIP dibuat “sebagai pedoman bagi Penyelenggara negara dalam menyusun dan menetapkan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi terhadap kebijakan pembangunan nasional, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah yang berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila.” (Hal. 59). RUU HIP juga dianggap layak dirancang karena “hingga saat ini belum ada peraturan perundang-undangan sebagai landasan hukum yang mengatur Haluan Ideologi Pancasila untuk menjadi pedoman kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.” (Hal. 96) (Tirto.id, 16/06/20).
Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) memicu penolakan banyak pihak, mulai dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), GP Ansor, hingga para purnawirawan. Tudingan mereka terhadap peraturan ini beragam, dari mulai yang spekulatif seperti membangkitkan komunisme, hingga dianggap terlalu sekuler atau bahkan tidak ada urgensinya sama sekali di tengah pandemi saat ini. Awalnya RUU ini akan dibahas, karena banyak penolakan akhirnya ditunda. Mahfud MD mengatakan Presiden Joko Widodo tidak akan mengirimkan surat presiden pembahasan RUU kepada DPR.
Dilansir dari BBCNews, Majelis Ulama Indonesia bahkan menyebut RUU tersebut ‘pencurian di saat senyap’ ideologi negara karena pembahasannya tidak melibatkan berbagai kalangan masyarakat. Dan hanya dalam waktu singkat telah disahkan menjadi program legislasi nasional (prolegnas) tahun 2020 ( 17/06/20). RUU HIP dianggap tak penting selain banyak ditentang ormas Islam, banyak akademisi mengkritisi rancangan peraturan tersebut terutama terkait hal-hal substantif.
Pengajar hukum tata negara di Sekolah Tinggi Hukum, Jentera Bivitri Susanti, mengatakan RUU HIP banyak mengandung pasal-pasal yang tidak lazim, yaitu hanya bersifat pernyataan, definisi, hingga political statement. “Norma hukum biasanya mengatur perilaku dan juga kelembagaan”. Di dalam UU, ada pasal ‘siapa melakukan apa’ dan bukan pernyataan-pernyataan. Memang biasanya ada pasal definisi dan asas, namun setelahnya ada pasal-pasal mengatur perilaku. Ini tidak lazim, ungkapnya.
Lalu, apa relevansinya RUU HIP ini di tengah pandemi? Publik tahu, masalah urgen saat ini adalah bagaimana menghadapi pandemi agar segera berakhir. Dengan melakukan berbagai upaya pencegahan terus-menerus dan mendorong serta memfasilitasi ahli medis untuk segera menemukan vaksin. Ini dari sisi usaha manusia, bukan dari sisi kehendak Allah kapan berakhir. Sementara kasus masih terus meningkat setiap hari.
Di sisi lain, dunia mengalami resesi di bidang ekonomi. Indonesia pun terkena imbas krisis di bidang ekonomi. Hal ini yang seharusnya menjadi pusat perhatian pemerintah dan para anggota DPR yang katanya mewakili rakyat, bagaimana caranya bisa keluar dari masalah ini. Jika yakin bahwa semua ini berjalan atas kehendakNya, wabah ini dariNya maka seharusnya menjadi pengingat agar manusia segera menggunakan aturanNya.
Ahli hukum tata negara Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar, juga mempermasalahkan isi RUU itu. Ia menilai banyak pasal yang isinya multitafsir dan akhirnya mubazir. “Misalnya pasal tujuh yang menjelaskan Pancasila bisa diperas jadi tiga sila dan diperas lagi jadi satu sila, yakni gotong royong. Buat apa isi pidato Soekarno dijadikan bunyi pasal? Zainal juga menyoroti bagian pendirian Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang menurutnya sama seperti Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) di era Soeharto.
Menurutnya, “Kalaupun Jokowi dianggap orang baik, siapa yang menjamin Pancasila enggak akan dimonopoli sama presiden selanjutnya? Tafsiran pembina utama kalau di tangan presiden macam Soeharto bisa jadi alat macam-macam.” Oleh karena itu, dirangkum Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati, RUU HIP tak mendesak sama sekali. “Ini berpotensi mengendalikan hak kebebasan berekspresi. Persis seperti Orba. Karena terlihat sekali ada upaya memonopoli tafsir Pancasila.” (Tirto.id, 16/09/20).
Di sana para tenaga medis sedang berjuang melawan wabah, dengan segenap jiwa dan raga apapun mereka korbankan. Tidakkah pemerintah dan DPR melihat itu, bahkan seharusnya pemerintah dan anggota dewan berada di barisan terdepan dalam menangani wabah bersama tenaga medis. Bukan merancang sesuatu yang tidak urgen dan tidak ada relevansinya di tengah pandemi saat ini. Bagaimana rakyat akan percaya pada pemerintah dan anggota dewan, jika kenyataanya tidak peduli terhadap rakyat dan tidak sibuk mengurus rakyat.
Beginilah ketika dunia saat ini belum menerapkan aturan Allah Swt. Salah dalam menentukan skala prioritas mana yang harus didahulukan. Bukan segera kembali pada Allah, malah ada upaya untuk memarginalkan peran agama dalam kehidupan terutama dalam berpolitik dan bernegara. Diuji dengan musibah dan wabah bukannya mendekat, taat dan mohon ampunan-Nya tapi malah semakin jauh dari Allah Swt. dan jumawa. Umat harus segera taubat, dan taubat nasuha kolektif adalah dengan segera menerapkan aturan-Nya agar selamat dunia dan akhirat.
Firman-Nya: “Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali ‘Imran: 133)
Allahu A’lam Bi Ash-Ashawab