Oleh. Salma Banin
(Aktivis Mahasiswi)
Muslimahtimes– Komedian Gusti Muhammad Abdurrohman Bintang Mahaputra atau yang lebih dikenal lewat akun instagramnya @bintangemon sempat mengawali dagelan cerdas atas drama penyiraman air keras terhadap seorang penyidik KPK, Novel Baswedan. Video singkat yang diberi caption “Ga Sengaja” ini mampu menggerakkan animo masyarakat atas tuntutan jaksa yang tak masuk akal dengan dalih yang dianggap tak kalah menggelikan.
Wajar saja jika videonya viral dihampir seluruh platform media sosial, twitter, instagram, facebook bahkan tak sedikit yang membagikannya lewat grup dan status whatsapp. Mayoritas netizen sepakat dan turut memberi apresiasi atas keberanian seorang komediawan mengangkat isu sensitif terkait lembaga yudikatif. Meski tak lama kemudian namanya disasar buzzer untuk dicitra burukkan dengan tuduhan penggunaan narkoba yang tak terbukti kebenarannya.
Saling susul pendapat dari berbagai pihak terhadap kritik sosial yang dilancarkan komika satu ini, sebagian besar membela namun ada juga yang berinisiatif untuk melaporkannya ke Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, seorang yang mengaku mantan caleg Partai Solidaritas Indonesia atas nama Charlie Wijaya. Namun langsung dibantah oleh Ketua DPW DKI Jakarta, Michael Sianipar bahwa Parlemen Remaja 2019 dimana Charlie menjadi calegnya bukanlah gagasan dari PSI (jawapos, 16/06).
Drama seperti ini bukanlah yang pertama dan belum akan menjadi yang terakhir. Hukum bagai topi miring dan ilusi kebebasan berpendapat jauh lebih dominan dipertontonkan dibanding gambaran keadilan sosial yang diidam-idamkan.
Tak lama berselang, seorang warga di Maluku harus bolak-balik kantor polisi hanya karna mengunggah satu quotes dari Presiden RI keempat yang menyinggung tentang kriteria penegak hukum yang jujur. Setelahnya bergaung lagi jargon “tertawalah sebelum tertawa itu dilarang” ala warkop DKI, konyol sekali, lagi-lagi rakyat dibungkam dayanya untuk bersuara padahal undang-undang yang menjamin kebebasannya masih berlaku dan masih jadi pegangan di negara ini.
Cacat penegakkan hukum nyatanya tak hanya terjadi di Indonesia, hampir seluruh negara demokrasi di dunia pernah berurusan dengan ketimpangan antara teori dan praktek atau minimal standar ambigu yang kental dengan isu rasial dan kepentingan golongan.
Wajar, sebab biaya berdemokrasi sangat mahal harganya. Untuk bisa sampai ke posisi saat ini, baik rakyat dan pemerintahnya bertaruh bahkan menggadaikan kedaulatan hakiki untuk bisa mengatur masyarakat dengan aturan yang sesuai fitrah manusia.
Keadilan seolah menjadi utopis, masyarakat hilir sudah kadung tak percaya pada janji-janji manis yang hanya di atas kertas tertulis. Indonesia (masih) gagal menghantarkan bangsanya menjadi kekuatan adidaya yang berdaulat sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Dan selamanya akan begitu, sebab sistem yang menjadi asas bagi negara ini bukan kerakyatan sebagaimana dielu-elukan. Namun corak kapitalis-liberal yang paling menonjol dan mampu kita saksikan.
Beda cerita jika kita menilik bagaimana konsep Islam mengatur terkait keadilan. Hukum tak dibuat berdasar pemikiran manusia yang terbatas dengan berbagai persepsi sehingga cenderung memberi celah bagi pertentangan dan kepentingan sebagian kelompok. Hukum Islam diturunkan dari Pencipta Alam Semesta melalui utusan-Nya yang reputasinya sebagai manusia paling berpengaruh di dunia masih bertahan hingga hari ini. Secara legalitas, sistem hukum syariah teruji ampuh dan mampu diterapkan selama kurang lebih 1300 tahun selama masa kekhilafahan berdiri.
Hukum yang tegas, tak berpandang bulu dengan dua fungsi sekaligus zawajir (mencegah orang lain untuk melakukan kejahatan serupa) dan jawabir (sebagai penebus dosa bagi hisab di akhirat). Adapun bagi kasus Novel Baswedan, hukum qishash yang akan dijatuhkan sebab terkait kerusakan organ. Jika korban memaafkan, maka qishash memungkinkan diganti dengan diyat (denda) yang besarnya dikembalikan pada kebijakan khalifah dan qadhi (hakim pengadilan) dengan memerhatikan kondisi korban dan keluarganya.
Sekiranya negara (khilafah) melakukan kelalaian dan mendapat banyak kritik dari rakyatnya, maka haram hukumnya untuk mengabaikan atau bahkan melakukan penangkapan. Justru ini perlu diapresiasi sebab amar ma’ruf nahyi munkar pada penguasa adalah kewajiban yang bahkan disetarakan dengan penghulu para syuhada.
Khilafah juga akan menyediakan mekanisme pengaduan yang paripurna baik secara langsung, melalui majelis umat, atau kepada mahkamah madzhalim jika perkara yang diadukan menyangkut kemaslahatan rakyat kebanyakan, tanpa memandang agama yang dianut sebab semua warga negara kedudukannya sama didepan hukum.
Rasulullah saw. suatu ketika berkhutbah, “Wahai manusia, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika ada orang yang mulia (memiliki kedudukan) di antara mereka yang mencuri, maka mereka biarkan (tidak dihukum), namun jika yang mencuri adalah orang yang lemah (rakyat biasa), maka mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya” (HR. Bukhari no. 6788 dan Muslim no. 1688).
Begitulah sejatinya hukum harus ditegakkan agar tak menjadi dagelan sebagaimana yang kita saksikan hari ini. Wallaahu’alam.