Oleh: Fath A. Damayanti, S.Si
(Pemerhati Lingkungan dan Politik)
#MuslimahTimes — Unilever menyatakan dukungannya terhadap gerakan Lesbian Gay Biseksual Transgender Queer (LGBTQI+). Sikap Unilever dukung LGBT tersebut langsung disambut kecaman keras dari warganet Indonesia hingga muncul ancaman untuk memboikot produk Unilever. Melalui akun resmi Instagram @unilever pada 19 Juni 2020, Unilever menyatakan dukungannya terhadap gerakan LGBTQI+. Mereka juga mengubah warga logo U menjadi berwarna pelangi seperti logo LGBTQI+. “Kami berkomitmen membuat kolega LGBTQI+ kami bangga dengan kami. Itu sebabnya kami mengambil tindakan bulan Pride ini,” tulis Unilever seperti dikutip Suara.com, Kamis (22/6/2020). Dalam mendukung kampanye tersebut, Unilever telah menandatangani Deklarasi Amsterdam, bergabung dengan Open for Bussiness untuk menunjukkan bahwa Unilever dengan inklusi LGBTQI+ serta meminta Stonewall mengaudit kebijakan dan mengukur tindakan Unilever dalam bidang ini (suara.com, 25/6/2020).
Dukungan UnileverÂIndonesia terhadap lesbian, gay, biseksual, transgender (LGBT) mendapat respon negatif masyarakat. Unilever diminta untuk mencabut dukungannya jika tidak ingin kehilangan konsumennya, terutama dari komunitas muslim.”Unilever harus bersiap-siap apabila produknya tidak lagi digunakan oleh banyak pihak di Indonesia,” kata pemerhati sosial masyarakat, Frans Saragih, saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (30/6).Dia mengatakan dukungan ini tentunya menjadi perhatian dari kalangan semua penganut agama. Dukungan Unilever terhadap LGBT ini, kata dia, cukup menarik perhatian masyarakat serta menimbulkan tanda tanya yang cukup besar.Sebagaimana diketahui Indonesia merupakan salah satu pasar terbesar Unilever. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk tapi sangat menjunjung tinggi norma norma Agama(republika.co.id, 30/6/2020).
Beragam komentar penolakan dan kritik pun menyerbu akun instagram Unilever, bahkan topik tersebut ramai diperbincangkan di sosial media. Para konsumen merasa kecewa karena Unilever mendukung LGBTQI+. Tak sedikit yang menyerukan untuk memboikot produk-produk yang dikeluarkan oleh Unilever dan beralih ke produk lain. Seruan pemboikotan juga datang dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), sebagaimana yang disampaikan Ketua Komisi Ekonomi Majelis Ulama Indonesia (MUI) Azrul Tanjung dalam laman Republika.id (1/7) yang meminta Unilever segera menghentikan kampanye pro-LGBT. Azrul beranggapan, kampanye ini bukan hanya menimbulkan gerakan antipati di masyarakat, melainkan juga kerugian bagi Unilever.Sebagai perusahaan besar, Azrul menjelaskan, Unilever seharusnya dapat lebih bijak dalam mengambil sikap. Dia juga meminta Unilever untuk mengalihfungsikan dana dukungan mereka untuk membantu menyembuhkan penyakit LGBT. Menurut Azrul, jika perusahaan tersebut memberi sokongan dana kepada LGBT, akan berbahaya bagi peradaban kehidupan.
Ternyata pendukung LGBTQI+ tak hanya Unilever, masih ada Strarbucks, Microsoft, Apple, Nike, Walt Disney, Visa, Mastercard, Xerox, Yahoo, termasuk juga deretan sosial media seperti Facebook, Twitter, Instagram, Whatsapp. Tak ketinggalan mesin pencari sejuta umat, Google. Jika mau ditelusuri lebih jauh masih banyak perusahaan-perusahaan yang menunjukkan dukungannya baik terang-terangan maupun secara senyap terhadap LGBT bahkan mendanai setiap kegiatan LGBTQI+. Produk-produk dari perusahaan dan brandtersebut sudah merasuk ke dalam kehidupan sehari-hari bahkan di kalangan kaum muslim. Lantas bagaimana dengan kaum muslim yang menggunakan produk-produk tersebut?.
Dalam Islam, ada yang disebut dengan Hadlarah dan Madaniyah. Menurut Syekh Taqiyuddin An Nabhani, Hadlarah merupakan adalah sekumpulan mafahim (ide yang dianut dan mempunyai fakta) tentang kehidupan. Hadharah bersifat khas, sesuai dengan pandangan hidup. Sedangkan Madaniyah adalah bentuk-bentuk fisik dari benda-benda yang terindera yang digunakan dalam berbagai aspek kehidupan. Madaniyah boleh bersifat khas, boleh pula bersifat umum untuk seluruh umat manusia. Bentuk-bentuk madaniyah yang dihasilkan dari hadharah, seperti patung, termasuk madaniyah yang bersifat khas. Sedangkan bentuk-bentuk madaniyah yang dihasilkan oleh kemajuan sains dan perkembangan teknologi/industri tergolong madaniyah yang bersifat umum, milik seluruh umat manusia. Bentuk madaniyah yang terakhir ini tidak dimiliki secara khusus oleh suatu umat tertentu, akan tetapi bersifat universal seperti halnya sains dan teknologi/industri.
Dari penjelasan tersebut maka terkait Hadlarah yang bertentangan dengan Islam maka kita tidak diperkenankan untuk mengambilnya termasuk menerapkannya dalam kehidupan, seperti hadlarah barat yang mengusung sekulerisme. Sedangkan madaniyah yang tidak mengandung hadlarah barat hukumnya mubah, bisa diambil dan bisa tidak diambil.Seperti produk teknologi, transportasi, sosial media, bahan makanan, minuman, alat rumah tangga, furniture, alat elektronik, alat kesehatan, alat kebersihan dan sebagainya. Namun, madaniyah yang berasal dari hadlarah Barat, haram kita gunakan karena bertentangan dengan Islam seperti pohon natal, topi kerucut, patung-patung yang identik dengan agama lain termasuk perayaan tahun baru, hallowen, valentine dan sebagainya yang bertentangan dengan Islam.
Maka, terkait produk-produk yang jenisnya madaniyah tidak khas di sekitar kita saat ini hukumnya mubah. Bagaimana jika brand tersebut pendukung kemaksiatan? Maka kembali ke hukum asal, mubah. Perihal ingin tidak memakai produk tersebut atau beralih ke produk lain juga diperbolehkan. Namun yang menjadi perhatian adalah, dengan memboikot tak akan menyelesaikan permasalahan. Membuat aksi boikot memang akan merugikan produsen, tapi tidak ada jaminan bahwa dukungan terhadap kebobrokan dan kemaksiatan akan dihentikan. Produk-produk tersebut akan terus diproduksi, dan pendanaan mereka akan terus mengalir untuk LGBTQI+. Perlawanan terhadap LGBT harus dilakukan dengan upaya sistematis menghapus faham, sistem dan individu ataupun institusi/lembaga liberal. Diganti dengan dominannya syariat Islam yg melahirkan individu ataupun institusi/lembaga taat dan menebar rahmat.
Islam sebagai agama yang paripurna nyatanya mempunyai solusi yang tuntas untuk menghilangkan kemaksiatan, dengan penerapan sanksi yang tegas dan menimbulkan efek jera sehingga para pelaku tidak akan mengulangi perbuatan maksiat. Ketika Islam menjadi asas atas segala sesuatu maka akan memperkecil peluang untuk melakukan maksiat, kemudian aqidah yang menjadi landasan akan membentuk kepribadian islam sehingga setiap perbuatan manusia sesuai dengan perintah dan laranganNya. Suasana keimanan akan terbangun, masyarakat pun turut beramar ma’ruf nahi munkar. Betapa indahnya jika islam diterapkan secara kaffah, karena individu, masyarakat dan negara akan saling bersatu padu dalam menghapus kemaksiatan. [*]