Oleh: Deena Noor
#MuslimahTimes — Imam at-Tirmidzi meriwayatkan hadits shahih dalam kitab sunnahnya: Muadz bin Jabal berkata, “Aku mendengar Rosululloh bersabda bahwa Alloh subhanahuwata’ala berfirman, ‘Orang-orang yang saling mencinta di bawah keagungan-Ku untuk mereka akan mendapatkan mimbar-mimbar (tempat yang tinggi) dari cahaya. Para Nabi dan syuhada pun tertarik oleh mereka.”(HR. Tirmidzi)
Hadits ini menunjukkan tentang kedudukan mereka yang mencinta karena Allah semata. Tempat yang indah, yaitu mimbar yang bercahaya mempesona siapa saja yang melihatnya. Bahkan para nabi dan syuhada pun tertarik dengan mereka. Padahal kita tahu bahwa para nabi dan syuhada adalah penuh dengan kemuliaan di sisi Allah.Maka, ini pertanda bahwa cinta yang demikian adalah cinta yang agung.
Tentunya, cinta yang bisa membawa manusianya kelak pada kedudukan yang mulia di akhirat, bukanlah sembarang cinta. Tapi cinta yang luar biasa. Cinta muslim kepada saudaranya sesama muslim siapapun dia, apapun latar belakangnya, serta beragam perbedaan lainnya. Cinta yang dilandasi keimanan pada Sang Khaliq.Cinta yang bersandar pada kecintaan hamba pada Rabbnya.
Cinta yang tak terbatas oleh tampilan fisik, kedudukan, harta maupun atribut duniawi lainnya. Tak pula cinta karena ikatan darah, kesukuan, bangsa, wilayah atau sekat-sekat lainnya. Melainkan cinta tanpa batas ruang dan waktu yang terbangun dengan mengharap karunia dari Sang Maha Agung.
Bukan juga cinta yang melulu untuk meluapkan naluri. Atau cinta karena dorongan nafsu semata.Yang seringkali tak logis dalam mengekspresikannya. Bahkan sampai menabrak norma dan aturan. Menghalalkan segala cara untuk memenuhi hasrat cintanya. Sehingga cinta seringkali kehilangan kesakralannya. Berakhir pada sebuah kemaksiatan dan kehinaan akhirnya. Melainkan, cinta yang bersandar pada ketakwaan kepada Allah. Cinta adalah anugrah suci dari Sang MahaSuci. Karena itulah, ia harusnya diwujudkan dengan cara yang diinginkan olehNya. Bukan dengan jalan yang dibenci-Nya, apalagi dilarang-Nya.
Cinta karena Allah semata, akan membawa para pencintanya untuk selalu taat padaNya. Duduk bersama dalam majelis yang mengagungkan namaNya. Saling mengingatkan dalam kebaikan dan takwa. Mendoakan dengan doa-doa terbaik hingga para malaikat pun turut mendoakannya dengan doa yang sama pula.
Saling memberi hadiah, meskipun harganya tak seberapa. Ini ternyata sangat baik untuk memupuk cinta sesama saudara seiman. Berterima kasih atas pemberiannya dengan mengucap “jazakallahu khairan” yang berarti “semoga Allah membalasmu dengan kebaikan” merupakan balasan yang setimpal.
Disunahkan pula bagi orang yang mencintai saudaranya karena Allah untuk mengabari dan memberitahukan cintanya kepadanya. “Inni uhibbuka fiillah,” ternyata kalimat ini bisa mengantarkan seseorang ke surgaNya. Tentunya dengan tetap memenuhi ketetapan syariat. Jadi tak sembarangan mengucap cinta kepada yang tak semestinya. Hingga memberi pahala bagi yang mengungkapkan cinta kepada saudaranya karena Allah semata.
Bahkan hanya dengan tersenyum kepada saudara, tanpa keluar uang sepeserpun, merupakan sunah yang berpahala. Menampakkan wajah yang berseri-seri di hadapan saudara bernilai sebuah kebaikan dan menjadi shadaqahnya.
Yang ringan saja berpahala. Terlebih lagi jika cinta itu diwujudkan dengan memenuhi kebutuhan saudara kita, menghilangkan kesulitannya, maka Allah akan membalas yang demikian di hari kiamat kelak. Karena yang demikian itu sudah menjadi janji Allah bahwa: “Barang siapa berusaha memenuhi kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memenuhi kebutuhannya. Barang siapa yang menhilangkan kesusahan dari seorang muslim, maka dengan hal itu Allah akan menghilangkan salah satu kesusahannya dari kesusahan-kesusahan di hari kiamat.” (Mutafaq ‘alaih dari Ibnu Umar).
Bagaimana dengan mewujudkan cinta karena Allah di masa sekarang ini? Kita tahu bahwa kondisi umat muslim sekarang ini tengah tercerai-berai oleh sistem kufur. Sehingga menjadikan kita kesulitan untuk menolong saudara sesama muslim dikarenakan batas-batas artifisial buatan manusia.
Tak mudah bagi kaum muslim untuk memberikan pertolongan kepada saudaranya yang berada di negara lain. Bahkan untuk sekedar memberinya makanan dan tempat berlindung dari harta sendiri pun seringkali terhalang dengan macam-macam aturan administrasi dan birokrasi.
Terpecah-pecah dalam nation state menjadikan muslim tak mampu berbuat banyak. Lihatlah bagaimana menderitanya saudara-saudara kita di Palestina, Suriah, Xinjiang, Myanmar, India dan di berbagai belahan bumi lainnya. Kita tak kuasa untuk menolong mereka yang tengah terdzalimi oleh rezim kufur karena terhalang tembok nasionalisme. Hingga akhirnya hanya sanggup mendoakan semoga Allah melindungi dan menolong mereka. Sungguh pedih.
Bagaimana sedihnya hati melihat muslim Rohingya yang terusir dari tanahnya sendiri. Terombang-ambing merana di lautan. Padahal saudara-saudara seiman tinggal di sekeliling mereka. Begitu sulitnya untuk mengungkapkan rasa cinta sebagai sesama saudara seaqidah dengan memberi bantuan yang mampu ringankan kesusahan mereka. Begitu pula nasib muslim di negara lainnya, masih tetap tertindas tanpa kita mampu menolongnya.
Inilah realita umat muslim sekarang ini. Tertimpa beragam kesulitan, dari segala sisi kehidupan. Akibat dari penerapan sistem yang tak sesuai tuntunan Illahi. Begitu rupa terhinakan. Namun, di tengah kondisi yang makin sulit ini, kita tak boleh menyerah dan berputus asa. Mumpung masih diberi waktu dan kesempatan, maka gunakan sebaik-baiknya. Kita perjuangkan apa yang menjadi ridhoNya. Menegakkan kalimat suci yang akan menolong saudara muslim semuanya.
Sekaligus mewujudkan cinta yang kokoh berlandaskan keridhoan Illahi. Cinta yang mampu menghilangkan semua penghalang. Cinta yang mampu menyingkirkan kegelapan dan membawa pada cahaya terang.
Cinta karenaNya akan memberi kemuliaan bagi manusia, tidak hanya di dunia tetapi juga di akhirat. Dimana kelak, mimbar-mimbar cahaya akan mereka dapat. Mimbar penuh cahaya yang sungguh indah terlihat. Hingga para nabi dan syuhada pun terpikat. Menunjukkan betapa cinta yang demikian sungguh memikat.
“Di sekitar Arsy ada menara-menara dari cahaya, didalamnya ada orang-orang yang pakaiannya dari cahaya, dari wajah-wajah mereka bercahaya, mereka bukan para Nabi ataupun Syuhada. Para Nabi dan syuhada iri kepada mereka. Ketika ditanya para sahabat, “Siapakah mereka ya Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai karena Allah saling bersahabat karena Allah dan saling berkunjung karena Allah.” (HR Tirmidzi)
Dalam hadits lain dari Umar bin al-Khathab, diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Bar dalam at-Tahmid, Rasululullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Allah mempunyaihamba-hamba yang bukan nabi dan bukan syuhada, tapi para nabi dan syuhada tertarik oleh kedudukan mereka di sisi Allah. Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, siapa mereka dan bagaimana amal mereka? Semoga saja kami bisa mencintai mereka.”Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Mereka adalah suatu kaum yang saling mencintai dengan karunia dari Allah. Mereka tidak memiliki hubungan nasab dan tidak memiliki harta yang mereka kelola bersama. Demi Allah keberadaan mereka adalah cahaya dan mereka kelak akan ada di atas mimbar-mimbar dari cahaya. Mereka tidak merasa takut ketika banyak manusia merasa takut. Mereka tidak bersedih ketika banyak manusia bersedih,” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membacakan firman Allah: “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati (TQS Yunus: 62).”
Sungguh tingginya posisi muslim yang melandaskan cintanya karena Allah semata. Allah sudah janjikan kemuliaannya dan rasulullah pun juga telah mengabarkannya. Tidakkah kita ingin mendapatkannya? Wallahu a’lam bish-shawab[]