Oleh: Hana Rahmawati
(Muslimah Pegiat Literasi Tangerang)
#MuslimahTimes — Perebutan kekuasaan ataupun pewarisan kuasa kepada kerabat dan keluarga dalam sistem hari ini terlihat sudah biasa. Sebisa mungkin kekuasaan harus dapat di raih oleh individu ataupun partai tertentu. Kata dinastimenjadi istilah yang sudah tidak asing lagi di telinga kita. Setidaknya akan tergambar sebuah makna dari kata dinasti yaitu pewarisan tahta kekuasaan kepada keluarga ataupun kerabat penguasa.
Mudah kita jumpai fakta politik dinasti yang dilakukan oleh individu ataupun oligarki oleh partai politik. Bisa kita lihat dari Langkah putra sulung presiden Jokowidodo yang maju sebagai wali kota Solo 2020. Gibran Rakabuming Raka yang berpasangan dengan Teguh Prakosa saat ini sudah mendapatkan dukungan resmi dari PDI-P, parpol tempat Jokowi bernaung.
Pengamat politik dari Universitas Al Azhar, Ujang Komarudin berpendapat Presiden Joko Widodo tengah berupaya membangun dinasti politik.
“Bisa dikatakan Jokowi sedang membangun dinasti politik. Mungkin mumpung sedang jadi Presiden, sedang punya kekuasaan, akhirnya dorong anaknya jadi wali kota,” kata Ujang kepada Kompas.com, Sabtu (18/7/2020).
Selain Gibran, menantu presiden, Bobby Nasution juga tengah berupaya mendapatkan dukungan parpol untuk maju di pemilihan wali kota Medan 2020. Hal ini jelas terlihat bagaimana dinasti politik dalam tubuh keluarga pejabat tersebut berlangsung. Ujang berpendapat hal ini justru berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang. Sebab, Presiden memiliki semua sumber daya untuk bisa memenangkan Gibran dan Bobby mulai dari kekuasaan, jaringan, birokrasi, hukum, finansial, dan lain-lain.
“Kemungkinan itu (penyalahgunaan wewenang) bisa terjadi. Penyalahgunaan wewenang itu akan ada. Cuma memang biasanya, akan disiasati,” kata Direktur Eksekutif Indonesian Political Review ini. (kompas.com, 18/7/2020).
Selain Gibran dan Bobby ada pula sejumlah petinggi negara yang berbondong-bondong menempatkan keluarga nya ke dalam barisan anggota dewan demi meraih jabatan. Meski di usung dari partai yang berbeda dengan dirinya, namun mereka menyebutnya ini sebagai bagian dari demokrasi.
Ya tentu saja praktik oligarki yang dibangun partai dan dinasti yang dilakukan individu penguasa sendiri memang tidak akan pernah bisa terlepas dari sistem demokrasi. Hal ini bukan saja sekedar anomali dari praktik demokrasi. Sebab, demokrasi meniscayakan pemenang dengan suara terbanyak bisa diraih dengan dana besar, ketenaran, ataupun pengaruh jabatan yang sedang dimiliki.
//Kekuasaan di Zaman Sahabat//
Rasulullah saw. bersabda:
فَاْلإمَامُ رَاعٍ وَ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Seorang imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Dalam Islam, jabatan dan kekuasaan adalah amanah yang kelak akan dipertanggung jawabkan di hadapan pengadilan Allah yang Maha adil. Hal ini yang diingatkan oleh Rasulullah kepada Abu Dzar Al Ghifari saat Abu Dzar bertanya mengapa Rasulullah tidak memberikan jabatan kepada dirinya.
Abu Dzar al-Ghifari bertanya kepada Nabi. “Ya Rasulullah, mengapa kau tak memberi jabatan apa-apa kepadaku?” Sambil menepuk bahu sahabatnya yang zuhud itu, Nabi menjawab, “Hai Abu Dzar, kau seorang yang lemah, sedangkan jabatan itu adalah amanah.”
Sebagai amanah, sabda Rasulullah, jabatan kelak pada hari kiamat hanya akan menjadi penyesalan dan kehinaan, kecuali bagi orang yang dapat menunaikan kewajiban dan tanggung jawabnya (HR Muslim).
Tentu saja hal tersebut bukanlah hanya ditujukan untuk Abu Dzar. Melainkan juga hal tersebut merupakan bentuk kewaspadaan Rasulullah kepada ummatnya. Tengok saja saat Rasulullah memberikan jabatan pimpinan militer untuk Khalid bin Walid dan ‘Amr bin Ash yang baru masuk Islam, padahal ilmu keislaman mereka berdua belum mamadai. Namun, ternyata keduanya dianggap kuat bekerja dan mampu menjaga amanah. Sebaliknya, orang sealim Abu Hurairah yang sangat kuat hafalan hadisnya dan banyak mendampingi Rasulullah tidak diberi jabatan apa-apa.
Ini menandakan bahwa kepemimpinan merupakan amanah yang berat yang harus dipikul oleh mereka yang mampu untuk bekerja dan menunaikannya dengan baik. Bukan sekedar hanya untuk meraih jabatan serta kekuasaan semata. Cukuplah hadits-hadits Rasul berikut menjadi pengingat dan kehati-hatian dalam memikul amanah kepemimpinan,
Rasulullah saw. pun bersabda:
مَا مِنْ عَبْدٍ اسْتَرْعَاهُ اللَّهُ رَعِيَّةً فَلَمْ يَحُطْهَا بِنَصِيحَةٍ إِلَّا لَمْ يَجِدْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ
“Tidak seorang hamba pun yang diserahi oleh Allah untuk memelihara urusan rakyat, lalu dia tidak melingkupi rakyat dengan nasihat (kebaikan), kecuali ia tidak akan mencium bau surga.” (HR al-Bukhari).
Rasulullah saw. juga bersabda:
مَا مِنْ وَالٍ يَلِي رَعِيَّةً مِنْ الْمُسْلِمِينَ فَيَمُوتُ و َهُوَ غَاشٌّ لَهُمْ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
“Tidaklah seorang penguasa diserahi urusan kaum Muslim, kemudian ia mati, sedangkan ia menelantarkan urusan mereka, kecuali Allah mengharamkan surga untuk dirinya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Untuk itulah, di zaman para sahabat serta salafus salih pada masa lalu umumnya khawatir bahkan takut dengan amanah kepemimpinan (kekuasaan). Apalagi mereka sangat memahami sabda Nabi saw.:
إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الْإِمَارَةِ وَإِنَّهَا سَتَكُونُ نَدَامَةً وَحَسْرَةً
“Kalian begitu berhasrat atas kekuasaan, sementara kekuasaan itu pada Hari Kiamat kelak bisa berubah menjadi penyesalan dan kerugian.” (HR Nasa’i dan Ahmad).
//Islam Memberikan contoh Teladan Untuk Kepemimpinan//
Dalam Islam, kekuasaan serta sebuah jabatan bukanlah hal yang dilarang. Sebab, Islam bisa menguasai 2/3 belahan dunia di masa kejayaan nya karena Islam berkuasa dengan keadilan dan kebijaksanaannya. Kepemimpinan Islam bukanlah soalan perebutan kekuasaan semata, ada yang lebih dahsyat dari itu yakni penjagaan Aqidah umat serta periayahan pemimpin kepada rakyatnya.
Islam memandang bahwa pemimpin bukanlah hanya mereka yang mementingkan kedudukan saja. Islam bahkan sangat mendorong agar para pemimpin —penguasa maupun pejabat negara—selalu bersikap adil. Inilah yang diterapkan oleh para khalifah di masa mereka. Banyak sabda Rasulullah tentang kepemimpinan yang selalu terngiang di telinga dan membekas di hati mereka. Sehingga tidaklah jabatan serta kekuasaan mereka emban melainkan sebagai amanah yang harus ditunaikan. Bukan untuk di perebutkan.
Karena itu, sistem demokrasi hari ini tidak akan mampu menghapus praktik dinasti kekuasaan serta oligarki dari partai politik. Harus ada perubahan sistem menuju keadilan dan kesejahteraan umat. Hingga akhirnya pemimpin menyadari tanggung jawabnya kepada rakyat. Hal ini hanya akan terwujud dalam sistem Islam. Sistem yang terbukti memimpin umat manusia dengan sangat baik selama lebih dari 14 abad.
Wallahu A’lam. []
Sumber Foto : Kompasiana