Oleh. Dzakiya Fadhilah
Muslimahtimes – Polemik penghentian tunjangan guru non-PNS sempat menghebohkan publik yang bermula dari pengaduan Forum Komunikasi Guru Satuan Pendidikan Kerjasama (SPK) Indonesia (FKGSI) kepada Komisi X DPR RI yang menuntut tunjangan mereka diberikan kembali.
Para guru melalui Forum Komunikasi Guru SPK (Satuan Pendidikan Kerja Sama) mengeluhkan penghentian tunjangan profesi yang tercantum dalam Peraturan Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Nomor 6 Tahun 2020. Pasal 6 dari peraturan tersebut dijelaskan bahwa tunjangan profesi diberikan kepada guru bukan PNS yang memenuhi kriteria penerima tunjangan profesi. Namun, pemberian tunjangan profesi tersebut dikecualikan bagi guru-guru berikut: Guru pendidikan agama yang tunjangan profesinya dibayarkan oleh Kementerian Agama Guru yang bertugas di satuan pendidikan kerja sama Dalam forum bersama DPR, SPK pun mendesak Komisi X DPR RI untuk membantu agar para guru yang kehilangan hak tunjangan profesinya tersebut (Kompas.com).
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) menilai penghentian tunjangan guru di SPK mengganggu rasa keadilan terhadap profesi guru. Ketua Umum PGRI, Unifah Rosyidi, mengatakan tunjangan guru adalah hak semua guru. Menurutnya, jika guru tak mendapat tunjangan lantaran belum memenuhi syarat pemberian tunjangan, semestinya diberitahu hal apa yang belum dipenuhi, bukan langsung menghentikannya (Muslimahnews.com).
Sudah menjadi rahasia umum bahwa untuk menjadi seorang guru harus melewati proses panjang, banyak syarat yang wajib dipenuhi untuk satu profesi sebagai guru: Harus melalui ujian kualifikasi, seleksi kelayakan, hingga dinyatakan menjabat sebagai guru profesional. Tapi sekarang dengan mudahnya tunjangan disisihkan. Dengan alasan tak memenuhi standar dan syarat yang ditetapkan.
Disini kita bisa lihat bahwa pemerintah saat ini kurang peduli dengan kondisi pendidikan dan guru, padahal pendidikan akan menentukan bagaimana output generasi bangsa yang melanjutkan kehidupan bangsa.
Seharusnya jika ingin memotong anggaran jangan memotong anggaran yang urgensinya lebih tinggi, tapi potonglah anggaran yang bisa dipotong saat pandemi. Seperti potongan anggaran perjalanan, memangkas gaji pejabat atau memangkas Program Organisasi Penggerak (POP) Kemendikbud yang dianggarkan hingga Rp567 miliar atau program-program yang memang tidak bisa dijalankan saat pandemi.
Pasti sangat berbeda dengan pengaturan dalam islam, anggaran yang dikeluarkan tentu tidak berasas keuntungan pihak tertentu saja tetapi memang sesuai dengan hukum syara. Baik terkait kesejahteraan pendidik maupun peserta didiknya. Kedua belah pihak akan mendapatkan kesejahterann yang layak. Seperti yang telah terukir dalam sejarah bahwa gaji guru pada masa gaji guru di masa Khalifah Umar bin Khaththab sangat besar nilainya. Gajinya sebesar 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas). Jika dikalkulasi dengan harga emas hari ini bisa mencapai Rp62.730.000. Pemberian gaji ini tak memandang status pegawai negeri atau bukan, bersertifikasi atau tidak. Semua yang berprofesi guru akan diberi hak yang sama.
Menciptakan kesejahteraan bagi guru bukanlah hal mustahil bagi negara Khilafah. Pendidikan gratis di negara Khilafah bukan sesuatu yang utopis. Yang menjadi masalah pendidikan saat ini bukanlah potensi pembiayaannya yang tidak ada, tapi tata kelola negara yang salah. Wallahua’lam bishowab. DzaFa