Oleh. Eneng Sarah, S.Pd (Aktivis Dakwah)
Muslimahtimes – Belum lama ini media dihebohkan dengan berita viral “gilang bungkus” yaitu kasus mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya salah satu perguruan tinggi negeri yang melakukan aksi pelecehan seksual dengan membungkus korbannya menggunakan kain jarik seperti ‘pocong’. Aksinya ia lakukan dengan dalih penelitian, Gilang meminta korbannya yang mayoritasnya adalah adik kelasnya untuk membungkus dirinya sendiri dengan lakban dan kain jarik (m.cnnindonesia,30/07/2020).
Tak lama viral juga kasus pelecehan seksual swinger bermodus penelitian yang dilakukan Bambang Arianto (BA) dengan mencatut nama UGM dan NU (m.cnnindonesia, 03/08/2020).
Kedua kasus tersebut juga menjadi trending di twitter. Banyak yang menanggapi kasus ini tak terkecuali kaum feminis dan kelompok pendukung RUU P-KS, mereka kompak bersuara penting untuk mengesahkan RUU P-KS, karena dengannya pelaku pelecehan seksual ini dapat diproses dengan hukuman yang tegas. Anggota Komisi VIII DPR RI dari fraksi PDIP, Diah Pitaloka mengomentari kasus Gilang bungkus, ia menyatakan bahwa kasus dugaan pelecehan seksual ‘bungkus kain jarit’ itu pun menguatkan pentingnya pemerintah DPR Segera Menyelesaikan RUU P-KS (m.cnnindonesia,06/08/2020).
Senada dengan Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, yang berkomentar terkait kasus BA yang juga menyatakan bahwa RUU PKS urgen untuk segera disahkan mengingat meningkatnya kasus kekerasan seksual dan banyaknya kasus yang tidak dapat diproses oleh KUHP (tirto.id, 07/08/2020).
Sejatinya RUU P-KS ini sudah ditarik dari Prolegnas DPR. “Kami menarik RUU Penghapusan kekerasan seksual, karena pembahasannya agak sulit” ujar wakil ketua komisi VIII Marwan Dasopang dalam rapat bersama Baleg DPR selasa 30/06/2020 (kompas.com.02/07/2020).
Ditarik yang dalam artinya bukan berarti ditolak. Melihat isi RUU ini sendiri terdapat pasal-pasal karet yang dapat menuai polemik di tengah masyarakat. Selain itu, RUU P-KS ini sejak kemunculannya memang ditolak oleh banyak kelompok umat Islam, sudah banyak pula aksi yang dilakukan untuk menyuarakan penolakan terhadap RUU ini, dikarenakan diduga kuat RUU P-KS ini berbau feminisme dan liberalisme. Yang mana kedua paham ini sudah sangat jelas lahir dari sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan) yang tentu menyalahi syari’at Islam.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa feminisme bukan hanya sebuah gerakan golongan tertentu atau diusung oleh sekelompok kecil saja, tapi merupakan agenda yang terstruktur dan bersifat Internasional. Kita mengetahui ada konvensi internasional yang menyoroti diskriminasi terhadap perempuan yang disebut CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Agints Women). Konvensi ini merupakan perjanjian internasional yang ditetapkan pada tahun 1979 oleh PBB. Sudah ada sekitar 189 negara yang meratifikasi konvensi ini, dan Indonesia adalah salah satu negara yang ikut meratifikasinya melalui UU RI No.7 Tahun 1984. Salah satu langkah pelaksanaan konvensi ini adalah diadakannya Beijing Platform For Action (BPFA) 1995 yang dilaksanakan setiap 5 tahun sekali dan terakhir belum lama ini yaitu maret 2020. Semua agenda itu adalah bentuk nyata kampanye global mereka untuk mengopinikan ide-ide feminisme, liberalisme dan sekularisme pada dunia tidak kecuali Muslim dan termasuk Muslim Indonesia.
Feminisme, liberalisme dan sekularisme ini jelas bertentangan dengan syari’at Islam, yang mana ketiganya menafikan aturan pencipta di dalam hukum-hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban seorang manusia khususnya dalam hal ini perempuan. Sehingga nampak jelas ide feminisme sering kali bertabrakan atau bertolak belakang dengan Islam. Begitu pula RUU P-KS ini, maka tak aneh jika banyak kelompok Islam yang menolak RUU P-KS. Sayangnya, agenda internasional ini telah membungkus ide mereka dengan kemasan yang menarik, seolah-olah benar-benar menjadi cahaya solusi untuk permasalahan kaum perempuan di dunia. Sehingga banyak pula kalangan Muslim yang mendukung ide feminisme termasuk RUU P-KS ini. Padahal jika dihitung sejak kemunculan konvensi internasional itu hingga hari ini sudah berapa tahun-kah ? apakah sudah berhasil menuntaskan permasalahan perempuan di dunia ? nyatanya tidak, justru hari ini semakin kompleks permasalahannya. Begitu pula RUU P-KS ini apakah benar bisa menjadi solusi kasus pelecehan seksual yang marak di Indonesia saat ini ?
Jika ditelaah yang melatarbelakangi banyaknya kasus pelecehan adalah kurangnya akidah, tidak pahamnya bagaimana seharusnya pergaulan antara laki-laki dan perempuan di ranah umum atapun khusus (khas/private), dan tidak paham bagaimana menyalurkan gharizah nau’ (naluri kasih sayang) dengan benar. Apakah RUU P-KS bisa memberikan solusinya ? sedangkan bentuk kekerasan seksual yang dimaksudkan saja masih banyak menuai polemik di tengah masyarakat. Ditambah feminisme dan liberalisme yang menjiwai RUU ini, sudah pasti tata pergaulan, penyaluran gharizah dilakukan tanpa ada aturan yang jelas dalam artian bebas sekehendak individu itu sendiri tanpa memperhatikan aturan Sang Pencipta.
Berbeda dengan Islam yang syamilan wa kamilan, menyuluruh dan sempurna. Maka syariat Islam sudah tentu bisa menjawab permasalahan yang ada ini dengan sempurna. Islam sudah jelas mengatur bagaimana fitrah manusia termasuk menyalurkan gharizah nau’ (naluri kasih sayang) ini dengan benar yaitu adanya aturan pernikahan yang jelas. Kemudian Islam mengatur pergaulan laki-laki dan perempuan baik di ranah umum ataupun khusus secara jelas, hukum terkait mahram dan bukan mahram, hukum dalam rumah tangga (hak-hak dan kewajiban baik istri maupun suami), bahkan baginda Rasul mengajarkan pula bagaimana menahan gharizah nau’ itu bagi mereka yang belum mampu menikah yaitu dengan berpuasa sebagaimana Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai para pemuda, barangsiapa yang sudah sanggup menikah, maka menikahlah. Karena itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu obat pengekang nafsunya” (HR. Bukhari no. 5056, Muslim no. 1400).
Seandainya, negeri ini menerapkan aturan Islam secara kafah, tidak hanya ada hukuman bagi yang melakukan maksiat tapi ada juga upaya pemerintah dalam memperhatikan penanaman akidah dan tsaqofah yang benar pada rakyatnya. Tentu peristiwa pelecehan seperti ini terlebih di lingkungan akademisi tidak mungkin terjadi, pasti sudah tertanam di diri para pelajarnya bahwa perilaku seperti itu adalah perbuatan dosa yang harus dijauhi begitu pula pada masyarakat umum. Sehingga terlahir masyarakat yang harmonis yang saling mengontrol individu didalamnya. Rasulullah saw bersabda “Sesungguhnya Madinah seperti tungku api, membersihkan yang bersifat buruk dan meninggalkan yang baiknya .”(Sahih Bukhari dan Muslim).
Begitulah gambaran harusnya sebuah masyarakat atau negara, rakyatnya ditempa dengan suhu yang sama, Rakyat harus ditempa dengan Akidah, tsaqofah dan syari’at yg sama sehingga terbentuk pribadi yg sama-sama baik. Maka jelas sudah bahwa solusinya adalah menerapkan Islam secara kafah.
Wallahu’alam bishowab