Oleh: Aya ummu Najwa
#MuslimahTimes — Ketika seseorang memutuskan untuk hidup dalam orientasi dakwah, sesungguhnya ia sedang memilih suatu jalan dengan anak tangga persoalan. Satu demi satu ketika ia meniti anak tangga itu, maka akan muncul persoalan persoalan yang akan dihadapinya, yang sejatinya akan menaikan tingkatannya sebagai pengemban dakwah.
Sebagaimana ketika seseorang menginginkan posisi yang lebih tinggi, tentu harus ada energi dan dorongan yang lebih yang harus dilakukan, karena jika ia tidak melakukannya, tentu hidupnya hanya akan jalan di tempat, tak ada kemajuan.
Sesungguhnya, upaya pengemban dakwah untuk mengatasi setiap persoalannya dalam dakwah, sejatinya adalah untuk menaikkan tingkatan dirinya. Upaya peningkatan kualitas diri bagi pengemban dakwah adalah keharusan. Ini akan berdampak pada eksistensinya dalam medan dakwah.
Dalam peningkatan kualitas ini, setiap pengemban dakwah berbeda kondisinya. Ada yang survive dan berhasil mengupgrade dirinya menjadi pengemban dakwah yang militan. Ada yang terengah-engah dan terseok seok, atau bahkan tenggelam dalam persoalan dan akhirnya meninggalkan jalan dakwah. Padahal sejatinya, setiap ujian yang ada adalah cara Allah untuk meningkatkan level kita untuk menjadi lebih baik.
Ketika ujian datang silih berganti, sudah seyogyanya lah kita meningkatkan militansi kita. Berusaha untuk menjalankan amanah dengan lapang dada dan bersih hati, sehingga tidak timbul prasangka-prasangka negatif dan rasa pesimis yang menghambat gerak dakwah.
Militansi akan muncul dan terlihat ketika kita bersungguh-sungguh dalam menjalankan amanah dakwah. Militansi tak diukur dari seberapa seringnya kita menjadi panitia acara dakwah semata. Tapi militansi akan terukur dalam bagaimana kita menghadapi rintangan-rintangan dakwah yang menghadang.
Ketika seorang pengemban dakwah yang sedang kuliah, tentu dia akan mengalami berbagai benturan aktifitas kuliah dan dakwah, yang seringnya harus dikorbankan salah satu. Belum lagi tuntutan orang tua yang ingin anaknya segera lulus dan bekerja. Ini menuntut militansi yang kuat, bagaimana dia bisa tetap di jalan dakwah dan terus istiqamah, tapi juga dia bisa tetap kuliah dan segera lulus, hingga orang tuanya menjadi bangga.
Begitu juga, seorang pengemban dakwah, yang dia adalah seorang istri, dan juga seorang ibu. Ketika suami yang belum mau mendayung bersama di perahu dakwah, sedang anak anak mulai bertambah, belum lagi kewajiban dakwah yang menuntut militansinya, maka dia akan terus mencari jalan bagaimana tugas utamanya sebagai ummun (ibu) dan rabbatun bait (manager rumah tangga) bisa terlaksana dengan baik, tidak malah meninggalkan dakwah dengan alasan keluarga, anak-anak atau dilarang suami. Di sinilah diperlukannya kebersihan hati dan kesabaran yang tinggi.
Dalam militansi ada Jiddiyah (kesungguhan), totalitas dan loyalitas diri, melakukan segala amanah hanya karena Allah. Inilah bukti kuatnya ideologi yang merasuk ke dalam diri. Maka akan aneh apabila perjuangan dipenuhi dengan alasan dan dalih apalagi keluhan.
Sesungguhnya, kita mempunyai mimpi yang besar, bagaimana mimpi kita yang besar itu akan terwujud jika energi yang kita kerahkan adalah energi yang standard dan biasa saja, tanpa ada dorongan luar biasa yang bersumber dari ideologi.
Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, begitu sungguh-sungguh bermunajat pada Allah Subhanahu Wata’ala hingga diriwayatkan kakinya bengkak-bengkak dan berdarah. Masih melakukan dakwah, walau harus dilempari batu, dicekik dan diinjak-injak oleh kaum musyrik. Beliau, yang telah dijamin syurga oleh Allah, masih terus berjihad sampai terluka dan hampir terbunuh. Abu Bakar, menahan sakit atas gigitan ular kala bersembunyi dengan Rasulullah dari kejaran orang kafir saat hijrah di gua Tsur. Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan begitu gigih dalam membukukan al-Qur’an. Ali bin Abi Thalib menghadapi kemelut politik di zamannya.
Tidaklah mereka sedemikian berjuang, kecuali dengan bersungguh-sungguh. Dan tidaklah mereka bersungguh-sungguh, melainkan karena adanya militansi keimanan yang telah terinternalisasi secara benar dalam diri mereka.
Bukankah semakin besar ujian yang kita dapat, maka semakin tinggi pula level kasih sayang Allah kepada kita (QS. 29:2-3)?
أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتۡرَكُوٓاْ أَن يَقُولُوٓاْ ءَامَنَّا وَهُمۡ لَا يُفۡتَنُونَ
وَلَقَدۡ فَتَنَّا ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡۖ فَلَيَعۡلَمَنَّ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ صَدَقُواْ وَلَيَعۡلَمَنَّ ٱلۡكَٰذِبِينَ
“Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, “Kami telah beriman,” dan mereka tidak diuji? Dan sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta.” (Surat Al-Ankabut, Ayat 2-3)
Bukankah kita yakin selalu akan ada pertolongan dari Allah (QS. 47:7)?
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِن تَنصُرُواْ ٱللَّهَ يَنصُرۡكُمۡ وَيُثَبِّتۡ أَقۡدَامَكُمۡ
“Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (Surat Muhammad, Ayat 7)
Bukankah Allah tidak menguji kita di luar kesanggupan kita (QS. 2:286)?
لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۚ لَهَا مَا كَسَبَتۡ وَعَلَيۡهَا مَا ٱكۡتَسَبَتۡۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذۡنَآ إِن نَّسِينَآ أَوۡ أَخۡطَأۡنَاۚ رَبَّنَا وَلَا تَحۡمِلۡ عَلَيۡنَآ إِصۡرٗا كَمَا حَمَلۡتَهُۥ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِنَاۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلۡنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِۦۖ وَٱعۡفُ عَنَّا وَٱغۡفِرۡ لَنَا وَٱرۡحَمۡنَآۚ أَنتَ مَوۡلَىٰنَا فَٱنصُرۡنَا عَلَى ٱلۡقَوۡمِ ٱلۡكَٰفِرِينَ
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya. (Mereka berdoa), “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah pelindung kami, maka tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir.” (Surat Al-Baqarah, Ayat 286)
Bukankah kita telah paham, bahwa muara perjuangan ini akan berakhir kepada surga Allah(QS. 9:111)?
۞إِنَّ ٱللَّهَ ٱشۡتَرَىٰ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ أَنفُسَهُمۡ وَأَمۡوَٰلَهُم بِأَنَّ لَهُمُ ٱلۡجَنَّةَۚ يُقَٰتِلُونَ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ فَيَقۡتُلُونَ وَيُقۡتَلُونَۖ وَعۡدًا عَلَيۡهِ حَقّٗا فِي ٱلتَّوۡرَىٰةِ وَٱلۡإِنجِيلِ وَٱلۡقُرۡءَانِۚ وَمَنۡ أَوۡفَىٰ بِعَهۡدِهِۦ مِنَ ٱللَّهِۚ فَٱسۡتَبۡشِرُواْ بِبَيۡعِكُمُ ٱلَّذِي بَايَعۡتُم بِهِۦۚ وَذَٰلِكَ هُوَ ٱلۡفَوۡزُ ٱلۡعَظِيمُ
“Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin, baik diri mau-pun harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah; sehingga mereka membunuh atau terbunuh, (sebagai) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya selain Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan demikian itulah kemenangan yang agung.” (Surat At-Taubah, Ayat 111)
Saudaraku, hidup ini terlalu singkat untuk keluh kesah. Hidup ini terlalu pendek untuk menampung semua alasan dan kemalasan kita. Hanya celaan orang-orang yang mencela, hanya pandangan sinis orang yang sinis, nyinyiran orang-orang yang nyinyir, hanya ancaman orang-orang yang panik, itu semua hanya jalan Allah menguji untuk kita meningkatkan jiwa militansi kita dalam perjuangan, untuk menaikkan derajat kita di hadapan Allah, agar kita kelak layak untuk ditolong oleh-Nya.
Teruslah bergerak wahai pejuang Islam. Tumbuhkan militansi dan jiddiyah kita dalam mengarungi terjalnya dunia dakwah. Karena janji Allah itu dekat, karena syurga itu nyata.
wallahu a’lam.