Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
(Institut Literasi dan Peradaban)
Muslimahtimes – Berita akan ada pembagian uang tunai sejumlah Rp600.000,- bagi pekerja dengan gaji di bawah Rp5.000.000,- sempat merebak dan setidaknya mampu menghangatkan harapan mereka yang memang membutuhkan . Meskipun jumlah itu tak bisa untuk menutupi biaya hidup yang beragam dan tak murah. Tetap saja menjadi angin segar, meskipun pula berita yang mengikuti berikutnya bahwa ada sejumlah prasyarat agar bisa menerima uang Rp600.000,- itu.
Berita terbaru sebagaimana dilansir CNN Indonesia, 25 Agustus 2020, Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziah, meminta maaf kepada pekerja bergaji di bawah Rp5.000.000,- . Pasalnya, janjinya untuk bisa mencairkan bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp600.000,- kepada pekerja golongan tersebut yang sedianya akan dibagi mulai Selasa, 25 Agustus secara simbolik oleh Presiden Joko Widodo, ini gagal terwujud.
Ia mengatakan kegagalan tersebut disebabkan oleh proses validasi calon pekerja penerima BLT yang belum selesai. Ia mengatakan sebenarnya Kementerian Ketenagakerjaan sudah memegang 2,5 juta rekening calon penerima bantuan dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BP Jamsostek).
Hal ini terasa kontra dengan pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yaitu Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) BLT tersebut sudah terbit sehingga sudah bisa mulai disalurkan Senin, 24 Agustus 2020 kemarin.
Segala kerumitan ini memang sudah menjadi tabiat kapitalisme. Selalu yang jadi akar persoalannya adalah data. Logiskah jika lembaga sebesar negara seringnya malah keteteran perkara data? Antara satu departemen dengan departemen lainnya seringkali terjadi pertentangan. Sebab data dipandang sebagai komoditas. Sebuah investasi yang berharga ketika nanti pada satu moment jadi point penentu bagi pihak yang memanfaatkan.
Kita bisa sedikit flashback dari peristiwa bercecerannya e-KTP di satu wilayah Bogor. Semua data aktif, dimana nama-nama yang tercantum masih hidup namun fotonya saja yang diganti. Begitu pula dengan data penerima Bansos yang sempat ricuh karena nama penerima sudah meninggal dunia namun masih terdaftar sebagai warga hidup dan berhak menerima bantuan.
Berulangnya kasus kacaunya database sepertinya tak menjadikan pemerintah berbenah, Badan Pusat Statistik yang dimiliki negara inipun seakan mati kutu sebab seringnya menampilkan fenomena data gunung es. Nampak di permukaan sedikit namun nyatanya yang tak terdata jauh lebih banyak. Artinya, fokus pemerintah memang bukan pada pengurusan rakyat sehingga muncul sikap abai terhadap keakuratan data.
Di sisi lain, kapitalisme memang tak pernah memberikan pelayanan sepenuh hati, semua dilandaskan pada manfaat materi semata. Sekalipun itu yang disebut bantuan. Birokrasinya panjang dan berbelit, sehingga menciptakan celah terjadinya KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Hal ini tak akan ditemui dalam sebuah sistem yang berdasarkan syariat Islam. Sebabnya yang pertama adalah bahwa negara berfungsi sebagai ra’in atau pengurus umat, sebagaimana hadist berikut:
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR.Al-Bukhari)
Maka, negara berkewajiban menjalankan fungsinya sebagaimana yang dimaksud dalam hadist di atas. Sebagai wakil kaum Muslimin dalam menerapkan hukum syara, maka tak ada celah untuk mempermainkan amanah. Pemimpin yang telah berkomitmen tunduk kepada hukum Allah akan takut mendapati di hari akhir ia termasuk orang yang dimurkai Allah karena lalai terhadap rakyatnya ketika Allah mengizinkan ia menjadi penguasa.
Hubungan penguasa dengan rakyat tidak sekadar memberikan subsidi, bansos atau bantuan yang lainnya. Namun benar-benar menjamin individu perindividu rakyat mampu mengakses faktor-faktor ekonomi guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Dari aspek ekonomi, mudahnya mencari nafkah, luasnya lapangan pekerjaan, murahnya berbagai kebutuhan pokok. Dari sisi pendidikanpun tak beda, demikian pula kesehatan, keamanan, terjaganya akal, hak milik, nyawa dan lain sebagainya.
Maka negara juga wajib memiliki data yang akurat, dengan tujuan tak ada yang terlewat satupun individu dari periayahan negara. Rakyat tak akan bak pengemis yang menanti-nanti ukuran pemerintah. Apalagi terpaksa menerima kenyataan kebijakan yang seringkali diralat tak jelas direalisirnya kapan. Jelas harus ada yang dirubah, terutama sistem yang menaungi kebijakan pemerintah dalam menjamin seluruh kebutuhan rakyat. Wallahu a’ lam bish showab.