Oleh. Rut Sri Wahyuningsih
(Institut Literasi dan Peradaban)
Muslimahtimes – Beberapa media marak memberitakan penemuan terbaru yang selalu disangkal pemerintah selama ini, yaitu Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa pemerintah mengeluarkan dana sangat besar mencapai Rp 90,45 miliar untuk Influencer bahkan bisa lebih.
Data ini merupakan belanja pemerintah antara tahun 2017-2020 yang dikumpulkan ICW dari Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) di 34 kementerian, 5 lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK), serta dua institusi penegak hukum yakni Kepolisian RI dan Kejaksaan Agung yang ditelusuri. Peneliti ICW Egi Primayogha mengatakan terdapat jumlah paket pengadaan mencapai 40 dengan kata kunci influencer dan key opinion leader tersebut dari tahun 2017.
Akhirnya pemerintah mengakui keberadaan influencer ini, melalui pernyataan Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Donny Gahral Adian ketika menanggapi kritik ICW. Dia menyatakan bahwa penggunaan jasa influencer atau pemengaruh oleh lembaga pemerintah adalah sah untuk menyosialisasikan kebijakan. Influencer ini dipilih menurutnya sesuai kompetensi dan tidak untuk menyebarkan informasi yang keliru.
Sedangkan menurut jurubicara Presiden, Fadjroel Rachman, influencer adalah ujung tombak demokrasi digital karena mengambil peran penting dalam komunikasi kebijakan publik.
Kritikan datang dari politisi Demokrat, Taufik Rendusara. Menurutnya, yang dipersoalkan publik saat ini bukanlah keberadaan influencer di era demokrasi, melainkan lebih pada sikap pemerintah yang menggunakan jasa mereka dalam mengatasi pandemi Covid-19 yang tak kunjung berakhir.
“Yang dipersoalkan masyarakat itu adalah melawan wabah virus corona ujung tombaknya pakai influencer. Itu namanya bukan demokrasi digital, tapi ketololan digital, dan yang paling utama dipersoalkan masyarakat adalah pemerintahan Jokowi paling gampang melibatkan influencer untuk hal-hal yang sebenarnya bisa diselesaikan oleh Pak RT,” tandas Taufik (rmol.id,1/9/2020).
Penggunaan influencer, Buser, eksekutor dan istilah lainnya memang bukan sekali ini digunakan pemerintah. Faktanya, pemerintah selalu menggunakan pihak ketiga dalam menjalankan kekuasaanya, tidak hanya dalam mensosialisasikan kebijakan. Termasuk dugaan kuat penggunaan persecutor dalam menghadapi beberapa ormas yang tidak disukai oleh rezim atau setidaknya pemerintah membiarkan mereka menjalankan aksinya.
Tersiar berita bahwa pembina para influencer itu adalah mantan artis Project pop, band asal Bandung, Yosi Project Pop. Artinya memang pemerintah sangat serius terkait peran influencer ini dan tak bisa kita anggap remeh temeh lagi. Namun di negara barat, yang juga asal paham liberalisme dan demokrasi, influencer adalah kepanjangan tangan pemerintah.
Kritikan atas fakta ini, memang tak salah bagi pemerintah membayar jasa influencer. Namun jika digunakan untuk berhadapan dengan rakyat dan kemudian memberangus kebebasan berpendapat dan berkumpul sebagaimana yang sudah dijamin UU di negara ini , artinya pemerintah memposisikan dirinya sebagai pihak yang otoriter.
Setiap yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah maka akan dihadapkan pada eksekusi. Yang sering terjadi adalah jika pendapat itu berasal dari Islam. Terlihat antipatinya, bahkan hingga melupakan bahwa pemerintah pun mayoritas adalah muslim dan bagian dari rakyatnya.
Padahal dalam ajaran Islam sendiri, bermuhasabah ( mengoreksi) pemerintah adalah keharusan. Abu Said al-Khudzri berkata: Rasulullah saw. bersabda, “Jihad yang palig afdhal adalah menyatakan keadilan di hadapan penguasa yang zalim ” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan ad-Dailami).
Sebab, secara alamiah jika penguasa yang salah dalam menetapkan kebijakan maka seluruh rakyat akan menderita. Bahkan jika terus menerus tak ada yang berani mengoreksi, pemerintah akan jatuh dalam sikap semena-mena dan menzalimi. Sungguh dahsyat doa orang yang terzalimi, Allah menjamin tak ada tabir antaraNya dengan orang terzalimi itu. Sanggupkah pemerintah menanggung beban ini di akhirat kelak?
Dan bagaimana mungkin pemerintah memusuhi rakyatnya sendiri, padahal dana anggaran untuk membayar influencer berasal dari pajak. Yang tentunya harus diserap untuk pembiayaan kegiatan yang tidak mubazir. Terlebih hari ini, pandemi menimbulkan kesulitan di berbagai lini masyarakat. Wallahu a’ lam bish showab.