Oleh. Rut Sri Wahyuningsih
(Institut Literasi dan Peradaban)
MuslimahTimes– Sekitar pukul 09.30 sepeda motor sudah kuparkir di depan sebuah warung pangsit langganan. Warung ini tepat di depan sebuah sekolah TK dan dari sinilah bermula cerita. Sekelompok ibu pengantar anak, 16 tahun lalu, sepakat membentuk arisan. Selain untuk membunuh jenuh karena menunggu juga bisa dapat tambahan uang belanja. Modus? Banget. Yang jelas aku jadi salah satu pesertanya. Ternyata kini punya fungsi lain, saat sudah alumni dari TK, arisan ini jadi ajang lepas kangen yang efektif.
Bedanya, kita kini tak direcoki anak-anak, mereka sudah punya jam terbang sendiri. Raut wajah kamipun sudah ada sedikit garis usia, mereka yang dulu tampil dengan rambut terurai ala mama muda kini tertutup kain kerudung aneka warna dan model.
Satu persatu peserta arisan berdatangan, rata-rata seperti aku, pesan bakwan dan segelas es teh sambil menunggu yang lain. Saat sudah lengkap, kami pun mulai melakukan undian. Saat itulah tiba-tiba menyeruak seorang gadis diantara pembeli yang sedang antre di depan penjual. Yang membuat kami melongo adalah penampilan si gadis!
Kulit hitam, wajah biasa tak berbedak, rambut ikal, perawakan tak terlalu tinggi, bersandal jepit, sepertinya usianya sekitar 20 tahunan. Dan ia masuk ke area warung dengan hanya mengenakan Hem atasan putih tanpa celana atau rok bawahan. Tak pelak tak hanya pandangan kami yang teralihkan, tapi semua orang yang ada yang di warung tersebut. Apalagi setelah selesai transaksi di warung bakwan ia bergeser ke warung sebelah untuk beli es.
Napasku seakan berhenti saat melihat si gadis tak sungkan melangkah, padahal aurat yang semestinya ia tutup melambai gemulai memecah perhatian semua orang. ” Orang ini gila atau waras ya?” batinku dalam hati.
Teman-teman yang lain pun saling berbisik, semua bertanya dengan pertanyaan yang sama. Malah salah satu teman dengan berani mengambil foto si gadis secara tersembunyi. Sedetik berikutnya foto itu sudah bisa kami lihat di WA grup. Bertambah malu lah hati. Dengan apa kami memberitahu dan bagaimana cara mengingatkannya? itu yang berkecamuk dalam pikiranku.
Tiba-tiba dengan suara lantang, si gadis berpaling ke arah kami dan berteriak keras, “Apa lihat-lihat? Kalian sedang ngomongin aku kan? Gak tahu diri, munafik! Penampilan aja pakai kerudung tapi suka ngomongin orang!”
Sontak semua mata tertuju pada kami, kamipun terdiam. Sama sekali di luar dugaan, seketika teman yang mengambil foto menjawab, ” Apa seh mbak, kamu koh tersinggung sih, kalau gak salah gak usah ngegas dong”.
” Kalian tuh ya, harusnya malu dengan kerudung yang kalian pakai, dandan sok alim sok suci gak tahunya sirik juga lihat orang lain” sahut di gadis masih dengan nada tinggi. Teman perempuan yang sedari awal bersamanya seketika menarik tangannya dan mengajak keluar dari warung.
Begitu gadis itu pergi, berganti dengan suara riuh para pembeli bersahutan. ” Lha diler, piye gak ndelok (lha dibuka bebas gimana gak lihat)?”, “Simpenane sopo rek kui ( simpanannya siapa itu)?” dan masih banyak lagi, rata-rata diucapkan pembeli pria. Astaghfirullah..
Sebagai sesama perempuan, wajah serasa tergores silet. Kemuliaan kami yang begitu dilindungi oleh syariat dilecehkan dengan mudahnya. Hal demikian memang wajar, sebab masing-masing memiliki naluri berkasih sayang pun baqa’. Memang bukan salah pria namun juga tak sepenuhnya salah perempuan jika pergesekan itu terjadi. Namun inilah fakta, makin jauhnya kami dari ilmu agama yang benar menciptakan bencana yang dianggap sebagai gaya hidup.
Aurat putus urat terjadi bukan karena satu sebab dan juga bukan terjadi begitu saja. Ini akibat sebuah proses yang panjang, di mana satu kesalahan tidak segera diperbaiki, akhirnya dimaafkan dan seakan-akan berubah hukum jadi baik. Saat dimana baik menjadi buruk dan buruk menjadi baik adalah karena standarnya sudah bergeser. Bukan lagi disandarkan pada pendapat syariat, namun lebih kepada manusia. Makhluk lemah dan kikir.
Apa yang mesti kita lakukan? Tentu tak cukup menasehati gadis itu, jika bisa bicara baik-baik dengan yang bersangkutan, namun lebih afdol adalah mengajak umat untuk segera memiliki kesadaran bahwa racun sekulerisme ini justru makin menjauhkan kita dari status sebagai hambaNya yang baik.
Islam yang kita genggam ini semestinya tak hanya mengatur ibadah harian kita namun juga menjadi solusi dari setiap persoalan yang muncul. Dan ini harus jadi urgensitas kita semua, siapapun kita dan apapun profesi kita, sebab, di luar sana lebih banyak lagi nasib perempuan yang tak beruntung, terjebak dalam kepalsuan sekulerisme. Menjadi budaknya dan mati sia-sia. Wallahu a’lam bish showab.