Oleh: Rita Yusnita
(Forum Bunda Sholehah)
MuslimahTimes– Ucapan Ketua DPP PDIP Puan Maharani saat pengumuman bakal calon yang di usung pada Pilkada Sumbar menuai kontroversi. Saat itu Puan mengatakan, “Semoga Sumatera Barat menjadi Provinsi yang memang mendukung Negara Pancasila.” (tribunnews, 5/9/2020).
Ungkapan itu juga berbuntut panjang dengan dikembalikannya surat dukungan dari PDIP oleh Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumbar di Pilkada serentak 2020, Mulyadi-Ali Mukhni. Hal itu dipicu dari kekecewaan tokoh masyarakat setempat dengan pernyataan Puan. Sehingga pasangan itu hanya diusung Partai Demokrat dan PAN, dan PDIP pun memutuskan untuk menjadi penonton dalam Pilkada Provinsi Sumbar.
Faktor sejarah dan minimnya dukungan suara bagi PDIP di Sumbar sejak lama disebut menjadi pemicu sentimen di tanah Minang tersebut. Pengamat politik Universitas Andalas Sumbar, Ilham Azre menilai, PDIP akan semakin sulit meraih hati masyarakat Sumbar pasca pernyataan Puan. “Kondisi ini akan semakin menyulitkan bagi PDIP sendiri,” ucap Azre saat dihubungi reporter CNN Nasional, Senin (7/9/2020).
Walaupun banyak pernyataan dari pihak PDIP yang membela Puan, tapi tetap saja banyak orang yang menyayangkan pernyataan tersebut. Salah satunya dari DPW Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sumbar, Irsyad Syafar. “Di Sumbar tidak ada satu partai pun yang menang telak, bergantian pemenangnya, sekarang Gerindra, sebelumnya Golkar, Demokrat, dan PAN. Jadi masyarakat Sumbar sangat independen dan menunjukkan tingginya tingkat demokrasi, tidak ada kaitannya dengan Pancasila,” ujar Irsyad. “Terlebih lagi, kalau ada yang mengatakan di Sumbar terjadi politik identitas, partai-partai yang suaranya besar itu dari partai nasionalis di sini seperti Gerindra, Golkar, bukan PKS atau PPP yang juara di sini,” ujar Irsyad menambahkan, BBC NEWS Indonesia, (8/9/2020).
Sudah menjadi rahasia umum jika Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) selalu ditunggangi oleh kepentingan kelompok politik tertentu. Aroma kecurangan menghiasi ajang pemilihan pemimpin dalam sistem demokrasi yang dianut Negara ini. Dari money politic sampai carut marutnya pendataan calon pemilih menambah pelik proses pemilihan. Sebagian rakyat sudah merasa muak dan merindukan sosok pemimpin yang benar-benar bekerja untuk kemaslahatan umat. Meski melalui cara yang salah karena masih mengandalkan sistem demokrasi dalam proses pemilihannya.
Namun dari sini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa hanya tinggal selangkah lagi umat tuk memahami bahwa sosok pemimpin yang dirindukan itu tidak bisa lahir jika sistem demokrasi masih jadi pilihan. Lalu bagaimana Islam mengatur sistem pemilihan seorang pemimpin?
Islam dan demokrasi sangat berbeda dalam memandang perilaku politik, demikian juga dalam sistem pemilihan. Jika dalam demokrasi seorang pemimpin akan dipilih berdasarkan atas pertimbangan program kerja dan kinerja, maka berbeda dengan Islam. Islam menganggap aqidah sebagai dasar dalam menentukan kelayakan seseorang dipilih menjadi pemimpin. Baik itu pemimpin Negara (Khalifah), pemimpin setingkat Provinsi (Wali), maupun pemimpin setingkat Kabupaten/Kota (Amil).
Dalam sistem politik Islam, syarat menjadi seorang pemimpin terdiri dari dua hal. Pertama, syarat in’iqod, yakni Islam, laki-laki, baligh, berakal, adil (tidak fasik), merdeka, dan mampu. Kedua syarat Afdaliyah (keutamaan), di antaranya seorang mujtahid, ahli di bidang kemiliteran dan sebagainya. Syarat afdaliyah ini tidak wajib, tapi lebih utama jika dimiliki oleh seorang pemimpin.
Ketakwaan pada Allah akan melahirkan seorang pemimpin yang memiliki rasa takut melanggar perintah-Nya. Sehingga akan menjalankan kinerjanya dengan prima dan penuh dengan rasa tanggung jawab, menjauhkan diri dari hal-hal yang dapat merugikan dirinya dan masyarakat. Pemimpin yang bertakwa juga akan menyadari posisinya sebagai pengurus rakyat. Dalam hadits riwayat Muslim dan Ahmad disebutkan, “Imam Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggungjawab terhadap rakyat yang diurusnya.” Pemimpin dalam sistem Islam juga akan bekerja keras dan amanah karena sadar bahwa apa yang dilakukan pasti akan dipertanggungjawabkan di peradilan akhirat. Inilah yang dimaksud dengan Idrok silah billah, sebuah keyakinan yang tidak ada dalam sistem demokrasi.
Wallahua’lam.