Oleh: Choirin Fitri
MuslimahTimes– Setiap manusia mempunyai garis edar kehidupan. Petani memiliki garis edar untuk bercocok tanam memenuhi kebutuhan perut manusia. Guru berada di garis edar membentuk karakter manusia berpendidikan dan berakhlak mulia. Dokter berada pada garis edar dunia kesehatan mengobati mereka yang diserang penyakit.
Ulama pun memiliki garis edar tersendiri. Garis edar ulama tak sama dengan garis edar yang lainnya. Garis edar ulama ini khusus dan membuatnya memiliki posisi mulia. Mulia di mata manusia juga di mata Rabbnya manusia.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ، إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوادِينَاراً وَلاَ دِرْهَماً إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنَ أَخَذَهُ أَخَذَبِحَظٍّ وَافِرٍ
“Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu. Barang siapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR. al-Imam at-Tirmidzi)
Ya, Allah menggariskan ulama sebagai pewaris para Nabi. Kenapa? Karena setelah Rasulullah Muhammad Saw wafat tidak diturunkan Nabi lagi sesudah beliau. Maka, Allah memposisikan ulama sebagai pewaris para Nabi.
Jika Allah saja memposisikan ulama di posisi mulia. Tentu, kita sebagai seorang muslim pun wajib memberikan posisi mulia pula padanya. Posisi yang tak boleh dinodai dengan tingkah pola yang merusak kemuliaannya. Misalnya menghinanya, memenjarakannya seperti yang terjadi saat ini, atau melakukan upaya pembunuhan seperti yang terjadi beberapa waktu lalu pada salah seorang ulama di negeri +62 ini.
Kita telah banyak kehilangan para ulama yang mencerdaskan umat di negeri ini. Karena, Allah telah menyatakan tugas mereka selesai di dunia dan mengangkat ruhnya ke sisi-Nya. Sehingga, para ulama yang masih memiliki nafas kehidupan saat ini wajib kita jaga dan jangan sampai ternoda.
Diriwayatkan Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash, Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِوَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِعَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَعِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
“Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hamba. Akan tetapi Dia mencabutnya dengan diwafatkannya para ulama sehingga jika Allah tidak menyisakan seorang alim pun, maka orang-orang mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh. Kemudian mereka ditanya, mereka pun berfatwa tanpa dasar ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. al-Bukhari no. 100 dan Muslim no. 2673)
Hadits ini memberikan gambaran ngeri pada kita, jika Allah akan mencabut keberkahan ilmu dengan diwafatkannya para ulama. Akhirnya, kita akan mendapatkan pemimpin yang bodoh. Pemimpin yang memimpin kita tanpa ilmu. Pemimpin yang hanya berkuasa untuk mengikuti syahwat berkuasanya. Pemimpin yang enggan menjadikan Alquran sebagai standar kehidupan.
Rasa-rasanya saat ini hadits ini telah nyata di hadapan kita. Sehingga, kita harus segera bertaubat dan kembali memposisikan ulama di tempatnya yang mulia, sebagai pewaris para Nabi. Agar negeri ini kembali mendapatkan kemuliaan dengan Allah hadirkan ulama yang mampu mendampingi umat meraih Jannah. Agar kita pun mendapatkan pemimpin yang mulia yang mau menerapkan aturan Allah dengan sempurna. Agar para ulama kemuliaannya tak lagi ternoda.